Mata kami bertabrakan. Seketika ia tersenyum ramah. Aku memandang lurus tanpa ekspresi.
“Bisa minta waktumu sebentar, Dik?” Perlahan ia mendekat, menatapku penuh takjim.
“Ada apa, Kak?” Mataku menelisik ke luar ruangan.
“Aku sendirian.” Sepertinya ia paham. “Kita keluar sebentar yuk … warung terdekat saja.”
“Tapi aku sedang sibuk, Kak.”
“Hanya beberapa menit. Aku janji.” Aku menarik napas lebih panjang, meletakkan tumpukan koran ke samping meja.
Kami berjalan beriringan tanpa kata, menuju sebuah warung makan yang terletak beberapa meter dari kantor. Ia memintaku memesan apa pun yang aku suka. “Es teh saja,” ucapku datar. Dia sendiri memesan segelas jus alpukat.
“Bagaimana kabarmu, Dik?”
“Langsung saja, Kak!”
“Aku datang ke sini sungguh atas inisiatif sendiri.”
“Oh.” Aku menyeruput segelas es teh manis yang baru saja datang, tanpa menoleh sedikit pun padanya. Kuedarkan pandangan ke halaman warung. Masih sepi, hanya beberapa sepeda motor terparkir. Mungkin karyawan dari warung ini. Sungguh, aku tidak tertarik sama sekali membicarakan apa pun dengan wanita ini, apalagi kalau itu berkenaan dengan lelakinya.
“Kami sudah menikah.”
“Oh, selamat.” Tidak ada ekspresi kekecewaan, kegembiraan atau apa pan sejenisnya yang aku gambarkan. Biasa saja. Yah, wanita di depanku ini adalah Kak Maya. Tidak habis pikir sebenarnya apa tujuan dia kemari? Menegaskan statusnya sekarang? Aku sungguh tidak peduli mereka telah menikah, bahkan bila bulan madu di atas gunung yang sedang meletus pun sebenarnya apa urusanku?
“Sesungguhnya dia tidak pernah mengharapkan ini semua, Dik.”
Aku mengedarkan pandangan tepat di matanya. Kak Maya terlihat pasrah.
“Armand tidak benar-benar menikahiku.” Sebenarnya apa yang Kak Maya maksud, dan aku sungguh tidak ingin tahu perihal apapun. Apakah Armand hanya melakukan nikah pura-pura, nikah kontrak seperti di film-film atau apa pun, aku tidak peduli.