Ruangan ini terasa pengap. Sarang laba-laba memenuhi plapon. Debu-debu tebal menyelimuti beberapa perkakas. Sebuah cermin di atas meja jati terlihat retak dan buram. Hening, tak ada suara deru kendaraan yang melintas. Hanya beberapa binatang entah. Sesekali melengking memekikkan gendang telinga. Dari kisi-kisi jendela cahaya masuk berpendar, menandakan hari masih siang.
Aku terbaring di atas dipan tanpa kasur. Hanya beralaskan anyaman tikar usang. Ekor punggungku terasa perih. Laki-laki ini ternyata jauh lebih gila dari apa yang pernah aku bayangkan.
Ia membantuku duduk. Aku menangis tiada henti. “Sssttt … aku tidak akan menyakitimu, Za. Aku sangat menyayangimu. Kamu tahu itu.” Ia meraih tubuhku dengan paksa hingga tenggelam dalam pelukannya.
“Aku mau pulang.”
Baru beberapa hari yang lalu teman-teman memberitakan tentang seorang perempuan yang meninggal di sebuah hotel di dalam kamar mandi dengan kondisi tubuh sangat mengenaskan. Mungkin kah besok teman-teman akan menulis berita tentang diriku? Dalam kondisi seperti apa? Isakku kian jadi. Tubuhku bergetar hebat.
“Tempatmu di sisiku, Za. Jangan pergi lagi. Aku akan melakukan apa pun yang kamu minta. Tapi berjanjilah padaku kamu tidak akan pernah meninggalkanku. Aku tak pernah bisa hidup tanpamu, Za,” Armand memeluk semakin erat membuat napasku kian himpit.
“Ar-mand … a-ku tidak bi-sa na-pas.” Seketika Armand melonggarkan pelukannya.
“Maaf, Za. Aku terlalu merindukanmu. Rasanya bertahun-tahun lamanya kita terpisah.” Ia bangkit, melangkah menuju sebuah ransel hitam yang tergeletak di samping meja cermin.
“Lihat, Za. Aku punya uang banyak sekarang. Kita bisa menikah, ingin semegah apa pernikahan yang kamu inginkan? Kita juga akan berbulan madu. Kemana pun yang kamu inginkan, Za. Kemana pun.” Armand membuka ransel. Tampak tumpukan uang kertas lima puluhan ribu dan ratusan ribu memenuhi isi tas tersebut. Entah berapa jumlahnya, yang pasti banyak dan sangat banyak.
Dari mana Armand mendapatkan uang itu? Apa dia baru saja menjual warisan ayahnya, atau mungkin merampok. Atau mungkin semua uang itu memang benar dari ayahnya?
“Kita akan segera menikah, benar kan, Za?” Jemarinya mengusap air mataku lembut. Aku hanya bisa menatapnya dengan pandangan kosong. Aku sudah melupakan segala pernikahan apalagi untuk hidup bersamanya. Rasa kecewaku teramat besar, sakit hati yang bersarang dalam dada ini masih terlalu dalam. Mana mungkin aku menerimanya kembali. Aku bukan barang yang bisa dia tukar sesuka hati. Namun, ia bisa senekat ini, mungkin juga bisa lebih nekat lagi memperlakukanku.
Beberapa minggu seatap dengan para kuli tinta membuatku lebih banyak mengetahui kondisi kriminal kota. Masih basah rasanya diingatan berita tentang seorang perempuan belia, diperkosa beramai-ramai di sebuah hutan oleh bekas pacarnya yang diputuskan secara sepihak. Juga seorang siswi yang dijatuhkan ke sumur karena menolak cinta Sang Lelaki. Ngeri. Perih. Berita-berita itu seketika berkelebatan, membuatku semakin ngilu.
Armand kembali bangkit, mengambil sebuah bungkusan di atas meja cermin. “Kamu lapar bukan? Teman-temanku bilang kamu sedang mencari makan. Dan semua makananmu tercecer di jalan.” Ia membuka bungkusan. Tercium aroma bumbu masakan khas kota Padang. Entah kenapa kali ini membuatku mual.
Armand berusaha menyuapi.
Aku bergeming.
Nasi itu sungguh tidak membuatku berselera bahkan terasa jijik.
“Makanlah, Za!”
Aku menggeleng.
“Aku mohon, sedikit saja. Kamu harus sehat.”
Aku masih bungkam.
“Kamu tidak menyukai makanan ini?”
Aku diam.