“Apa kamu baik-baik saja?” Kuedarkan pandangan ke arah jemarinya yang memegang pundakku lembut. Aku bergeming.
“Di mana rumahmu?” ia bertanya kembali. Kutatap matanya mengais kebaikan dan rasa iba di dalam sana. Sungguhkan dia manusia sepertiku?
“Aku antar ke rumah sakit, ya?” Ia kembali menawarkan bantuan. Aku menggeleng. Mengusap jejak-jejak basah yang masih tertinggal di pipi.
“A-ku … mau pulang.” Suaraku terdengar lemah. Ia membantu berdiri, melepaskan jaket kulit berwarna hitam dari tubuhnya kemudian menyelimuti punggungku. Haruskah aku memercayai orang yang baru pertama kali kutemui? Masih adakah orang yang berbuat baik dengan setulus hati?
Sejenak keraguan merayapi hati. Masih terlalu membekas, kebaikan Armand, tuturnya yang manis, hingga berakhir di belantara hutan entah berantah seperti ini.
“Di mana rumahmu?” Sorot matanya cerlang. Rambut jagung bergelombang tergerai hingga nyaris menyentuh bahu. Kulitnya putih kemerahan. Bahunya begitu bidang. Tingginya mungkin 20 centimeter di atasku. Untuk ukuran seorang pria, ia masuk kategori rupawan. Wajah yang sangat menawan kutemui di alam nyata. apa yang dia lakukan di daerah ini?
Setelah memberi tahu alamat, motor besar berwarna merah yang ia kendarai melaju membelah jalan sempit beraspal. Sepanjang jalan tampak hamparan padi yang mulai menguning. Beberapa orang seolah baru pulang dari ladang. Motor menelikung memasuki halaman sebuah masjid berukuran cukup besar.
“Masjid?” Aku bertanya kaku saat motor berhenti tepat di halaman Masjid Al-Hidayah.
Ia tersenyum dan memandangku teduh. “Mampir sebentar, aku belum solat asar. Kamu sebaiknya cuci muka juga, kusut sekali. Aku takut orang rumahmu menyangka yang tidak-tidak.” Ia mengerlingkan sebelah matanya. Kemudian melangkah dengan penuh wibawa menuju teras masjid setelah memarkir motor pada sisi halaman.
Tempat peribadatan umat muslim yang tidak terlalu besar, tapi cukup megah, mengingat letaknya yang terpencil. Mungkin hanya bisa menampung 300-an jamaah. Kubahnya berwana emas. Dari samping pintu masuk terdapat beduk yang sangat besar, seukuran perut kerbau berusia dewasa. Seorang laki-laki tua terlihat sibuk membaca sebuah kitab tebal, bersandar tidak jauh dari sana.
Aku menuju samping bangunan, tempat wudu wanita. Mengguyur wajah, kaki dan tangan. Sangat dingin. Di bagian pergelangan terasa perih. Kulitnya terkelupas. Kubenahi rambut yang berantakan dan menyisir dengan jemari. Laki-laki itu masih berada di dalam sendirian, begitu khusu dalam doa yang entah apa ia panjatkan. Sesuatu seakan menelusup dalam kalbu membentuk sebuah gumpalan kristal, kemudian menyesak keluar dari kelopak mata, membuat pipi kembali menghangat. Rasanya, sudah terlalu lama aku jauh dari-Mu. Aku ingin pulang. Masih adakah tempat untukku?
“Maaf, lama ya?” ia memakai kembali sepatu ketsnya yang berwarna putih. Aku menggeleng, berusaha tersenyum. Kami kembali menyusuri jalanan yang mengarah ke jalan lebih besar. Hingga tiba di depan halaman kantor.
“Kamu kerja di sini?” matanya memindai papan nama yang terpasang tepat di depan pintu rumah.
Aku mengangguk. “Terima kasih,” ucapku pelan dan melepaskan jaketnya dari bahu.
“Kamu yakin baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja. Terima kasih sekali sudah mengantarku.” Aku melangkah masuk.
“Namaku Jedy. Siapa namamu?”
“Zahara. Namaku Zahara.”
Ia tersenyum, kemudian berlalu dengan kuda besinya.