DIA, AZHARKU

Nina Nola Boang Manalu
Chapter #1

First Time

Teleponku berdering. Ku lirik sling bagku yang berada di atas meja. Setelah menghapus sisa salmon teriyaki di ujung bibirku yang lembab, aku meraih ponsel itu dari dalam tas. Sebenarnya ini bukan tipeku, mengangkat telepon di waktu makan. Namun, ini adalah kewajiban untuk mengangkat telepon yang berdering tersebut. Ayah menghubungiku.

Akmal memandangku. Tatapannya sungguh tajam, seperti sedang menatap seorang tawanan perang. Apa dia sedang mencurigaiku sekarang? Ah, biarkan saja dia. Toh, apapun yang terjadi dalam hidupku bukan urusannya. Dia tidak berhak mengetahui semua kegiatan dan seluk beluk kehidupanku. Dia hanya teman yang kadang kala bisa menjadi sahabat terdekatku di kota ini.

"Halo, Ayah..." sapaku saat telepon itu mengalun dengan nada khas yang ku tujukan pada nomor ponsel ayah.

"Kau jadi pulang lebaran kali ini, kan?" tanya Ayah tanpa basa-basi, langsung pada pokok pembicaraan.

"Erm..." jawabku sedikit terbata. Bukan ingin menimbulkan keraguan pada ayah, tetapi aku sedang menguji rindu ayah yang sudah bersarang dalam hatinya selama 2 tahun belakangan ini.

"Apa? Kau tidak pulang? Ini sudah tahun ketiga kau tidak akan pulang juga, Raya?" Suara beliau meledak di telingaku saat mendengar jawabanku barusan.

"Haha... Aku kan tidak bilang tidak akan pulang, Ayah. Aku pasti pulang. Ayah tenang saja..." jawabku kemudian sambil tertawa kecil.

"Jangan bohongi Ayah lagi, Nak!" seru Ayah dengan nada memohon.

Aku tersenyum dan menjawabnya, "Tidak bohong! Aku tidak bohong pada Ayah."

"Kau janji, kan?" tanya Ayah lagi.

"Janji, Ayah. Selama ini Raya selalu mengatakan semuanya pada Ayah jika Raya bisa ataupun tidak bisa. Kali ini, Raya akan pulang. Ayah tenang saja..." jelasku sekali lagi saat beliau mulai meragukan kepulanganku tahun ini. Beliau pasti sudah sangat merindukanku.

"Ayah akan menunggumu, Nak!" Suara Ayah mengalun dengan lembut. Sepertinya beliau sudah tidak kecewa lagi.

"Terima kasih, Ayah. Sampaikan salamku pada ibu ya, Yah?" ujarku sebelum menutup telepon.

"Oke."

Telepon itu terputus. Ku masukkan kembali ponsel itu ke dalam sling bag yang masih berada di atas meja. Makan siang bersama Akmal kali ini sedikit berbeda, padahal biasanya tidak seperti ini. Entahlah, mungkin aku yang menganggapnya biasa saja, tetapi tidak untuk Akmal. Seorang pria dewasa yang ku anggap sahabat sedang menantikan jawabanku untuk menjadi kekasihnya. Sudah hampir 3 bulan lamanya, Akmal terus menguntitku dimanapun aku berada. Pria ini tidak mengenal putus asa dan entah mengapa aku juga belum bisa memberikan jawaban apapun padanya. Entahlah! Sepertinya Akmal lebih pantas untuk dijadikan sahabat daripada seorang kekasih. Dia memang selalu ada untukku, kapanpun aku butuhkan. Sejak kami bertemu di perusahaan Perbankan tempatku bekerja sekarang, sejak itu pula Akmal menjadi satu-satunya orang yang memperhatikanku lebih dari sekadar teman. Bahagia? Tentu saja aku bahagia. Akan tetapi, masih ada sebuah keganjalan dalam hatiku untuk menerima perlakuan manisnya itu. Apakah dia tidak tampan? Wah, dia benar-benar tampan. Layaknya seorang aktor laga yang sering berseliweran di televisi. Tubuhnya kekar karena dia seorang pecinta gym. Aku selalu memuji otot-ototnya bak bunga mekar setiap kali dia selesai latihan di malam Minggu. Namun, rasa itu tidak muncul. Rasa ingin memiliki dan takut kehilangan.

"Bagaimana?" tanyanya saat aku mulai menyuapkan makanan ke dalam mulut.

"Apanya yang bagaimana?" tanyaku kembali dan menahan suapan itu. Aku tahu apa maksud pertanyaannya, tetapi aku tidak ingin terlalu serius menanggapi hal itu. Apalagi Akmal akan terus menerus menanyakan hal ini setiap kami bertemu. Bagiku, ini akan menjadi bahan obrolan kami yang tiada hentinya. Dengan begitu, aku juga tidak akan merasa bosan setiap bersamanya.

"Kau ini memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu sih? Come on, Ray!" Matanya melotot ke arahku. Matanya yang seperti burung elang itu. Matanya yang sangat luar biasa hebatnya. Dia selalu tahu dimanapun aku berada dan apa yang sedang terjadi padaku. 

"Aku memang tidak tahu. Seharusnya pertanyaanmu lebih gamblang lagi, Mal... Supaya aku paham apa yang kau maksud," jawabku mencoba mengalihkan semuanya.

Lihat selengkapnya