DIA, AZHARKU

Nina Nola Boang Manalu
Chapter #2

Aku Pulang, Ayah

Masa cutiku akhirnya tiba juga. Sebentar lagi, aku akan menghirup udara kampung halaman yang begitu sejuk dan asri. Walaupun masih berada di kota besar, kota Metropolis, tempat tinggalku masih jarang diketahui banyak orang. Pemandangan sawah yang hijau dan kucuran air sungai masih sedap dipandang mata. Namun, apakah persawahan di daerah rumahku masih ada? Atau sudah berubah menjadi gedung-gedung bertingkat? Aku sangat penasaran akan hal itu. Semoga saja aku masih bisa menikmatinya nanti. Kumasukkan beberapa pakaian yang akan ku kenakan di sana ke dalam koper pink kesayanganku. Sambil beberapa kali mengecek lemari, apakah aku harus membawa banyak pakaian atau secukupnya saja? Aku mulai bingung. Aku mulai bingung harus berdandan seperti apa nanti di sana. Hal yang paling ku takutkan adalah saat dia melihatku dalam keadaan tidak secantik ini. Setidaknya dia akan heran dengan penampilan seorang Naraya Prameswari sekarang. Dia? Ya, dia di sana. Seseorang yang namanya selalu ku jaga di dalam hatiku. Entah bagaimana kabarnya sekarang, akupun tak tahu. Informasi yang ku dapat terakhir kali adalah bahwa pria itu masih berada di sana, di kota kenangan kami.

Aku kembali mengenang masa itu. Masa kecil yang indah untuk anak usia 10 tahun. Dia baru saja tiba di kotaku saat kami masih duduk di kelas 4 SD. Dia sangat tampan, itu yang selalu ku gumamkan di dalam hati. Muhammad Azhar Brigham, pria yang memiliki kulit berwarna putih, hidung mancung, dan tubuh yang tinggi. Sangat atletis bukan? Untuk anak lelaki yang menjadi idola di sekolah memang harus berpaerawakan seperti itu, kan? Aku mengenal Azhar dengan sangat baik. Sifatnya yang begitu peduli terhadap sesama pasti akan gampang disukai banyak orang. Namun, sepertinya rasa suka yang ku miliki untuknya berbeda. Selain menyukai wajahnya yang tampan (maklum saja, dia itu blasteran Inggris-Jawa), aku juga sering tersenyum sendiri setiap melihatnya datang ke rumahku. Selain itu, Azhar juga salah satu anak yang sholeh dan sangat pintar mengaji. Tak salah, kalau dia selalu memenangkan lomba MTQ kategori anak SD di kota kami. Namun, saat kami beranjak dewasa tepatnya setelah lulus SMU, Azhar harus kembali ke negara asal ayahnya, London. Dia pergi bersama ibu dan ayahnya yang notabene adalah seorang pengusaha Inggris yang menikah dengan wanita Indonesia. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi bertemu dengannya sampai hari ini. Aku sangat merindukan kebersamaan kami selama 9 tahun lamanya. Apakah dia juga sedang merindukanku? Setelah lulus kuliah, aku berharap akan bertemu lagi dengannya setiap pulang ke kampung halaman. Namun, sampai hari ini sampai aku menemukan banyak hal di kota perantauan ini, aku sama sekali tak pernah bertemu dengannya lagi. Aku selalu menganggap bahwa dia masih berada di kota itu bersama kenangan kami, bersama cita-cita yang sempat kami ucapkan, bersama keindahan alam tempat tinggal kami, dan bersama cintaku yang tak pernah dia tahu. Banyak hal yang selalu ku ingat dari seorang Azhar. Dia sangat pandai melukis dan selalu bermimpi menjadi seorang pelukis terkenal. Lalu, aku akan menggodanya setiap dia mengatakan hal itu padaku.

"Aku rasa kalau kau mencoba melukis diriku, impianmu itu akan tercapai," godaku saat itu sambil mengulum permen karet bak si Lupus yang sedang menggoda wanita impiannya.

"Tidak ah! Aku tidak mau," bantahnya sambil menggeleng tanpa menatap wajahku.

Aku cemberut. "Memangnya kenapa? Aku tidak pantas untuk dilukis?"

"Bukan!" bantah Azhar sambil memutar tubuhnya dan memandangku.

Aku masih cemberut.

"Kalau aku harus melukismu, maka aku akan semakin sulit melupakanmu nanti..." jawabnya sembari mencubit pipiku dan tertawa kecil. Azhar memang seperti itu. Ada kalanya sisi romantisme terkuak dari seorang Azhar dan ada kalanya juga sifat cueknya terkesan mengabaikanku.

"Huh! Jangan suka menggombal! Kau tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya tertusuk gombalan yang berakhir dengan perasaan!" seruku dan mendorong tangannya dari wajahku.

"Aku tidak sedang menggombalimu!" bantah Azhar sembari menggeleng.

"Lalu apa?" tantangku yang ingin tahu sebenarnya.

"Aku sungguh-sungguh..." jawab Azhar dengan sangat tegas.

Lihat selengkapnya