Perjalanan ini terasa singkat, tidak banyak memakan waktu lama karena sekarang maskapai penerbangan Indonesia benar-benar memberikan pelayanan yang luar biasa terhadap penumpangnya. Aku hanya perlu waktu ± 2 jam 20 menit duduk manis di dalam pesawat kemudian mendarat dengan selamat di kota kelahiranku, Medan. Senyum mengembang saat aku merasakan kembali hawa panas kota ini. Ku langkahkan kaki keluar dari Bandara dengan menggeret dua koper besar, tas kecil di pundak, dan kantong kresek berisi ole-ole untuk ayah dan ibu. Sembari menunggu taksi online yang sudah ku pesan dan sekarang sudah booming di negaraku, aku menyempatkan diri untuk membeli beberapa cemilan lagi yang akan ku bawa pulang ke rumah. Ayah pasti sangat terkejut saat melihat anak gadisnya ini sudah sampai di rumah setelah hampir 3 tahun tak pernah pulang merayakan Hari Raya Idul Fitri karena jadwal kerjanya yang super sibuk bak seorang bos besar di tanah perantauan. Haha... Namun, beruntungnya aku memiliki orang tua seperti mereka yang sangat mengerti dengan kehidupan pekerjaanku di kota besar. Aku masuk ke dalam taksi setelah drivernya menghubungiku beberapa menit yang lalu. Rasa haru bercampur bahagia menantikanku sampai di rumah.
Aku kembali menghirup udara panas nan sejuk kota ini yang sangat berbeda dengan Jakarta. Pandanganku berkali-kali tak lepas dari megahnya kota yang sudah ku tinggal beberapa tahun lamanya. Banyak bangunan menjulang tinggi dan letak tata kotanya juga sudah berubah. Sepertinya hampir setengah dari kota ini telah berubah. Bahkan, hampir semuanya. Namun, aku berharap perubahan kota ini tak serta merta merubah ingatanku akan Azhar, begitupun sebaliknya. Aku tersenyum sendiri saat membandingkan keadaan kota Medan yang telah banyak berubah dengan hatiku yang masih saja dipenuhi dengan kenangan bersama Azhar. Lagi-lagi, pria itu menyita waktuku untuk menikmati keindahan kota ini. Dia memang tak bisa ku hilangkan dari ingatanku. Apakah dia sudah ada di sini? Aku semakin tak sabar ingin bertemu dengannya.
"Ayah!!!!" seruku begitu sampai di depan pagar rumah yang sudah berubah catnya.
Ayah yang sedang duduk di teras ditemani korannya melongo ke luar pagar saat mendengar teriakanku. Raut wajahnya tampak bingung dan heran.
"Ayah, Raya pulang!" seruku sekali lagi. Aku pikir beliau pasti masih shock saat mendengar suara yang mirip dengan suara anak gadisnya itu melengking syahdu di seputaran rumah yang masih bermodel rumah zaman Belanda. Maklumlah, rumah ini adalah warisan opung dan nenekku untuk ayah yang menjadi satu-satunya anak lelaki di dalam keluarga mereka. Bahagia sekali sepertinya menjadi ayah. Begitulah.
Ayah membuang korannya ke lantai dan berjalan cepat menuju pagar. Beliau membuka gembok pagar dan tersenyum lebar menatap gadis kesayangannya ini sudah berada di hadapannya. Sembari memelukku, beliau terus menerus bergumam tak jelas. Aku hanya bisa menenangkannya sambil tertawa kecil. Aku tahu kerinduannya yang mendalam untukku tidak bisa digantikan dengan apapun selain kehadiranku di sini.
"Ayah sudah menunggumu, Nak!" serunya masih tetap dalam pelukanku.
Aku tersenyum. Ku biarkan beliau menikmati rindu membuncah yang kini terbayarkan sudah. Kapan lagi aku akan merasakan kehangatan kasih sayangnya kalau tidak saat ini?
Setelah saling melepas rindu, kami masuk ke dalam rumah. Aku meletakkan tas kecil dan koperku ke dalam kamar tidur yang bercorak eksotis seperti di negara India karena aku adalah gadis penggemar tanah Taj Mahal itu sejak kecil. Kecintaanku menonton film-film Bollywood membuat India seperti mendarah daging di jiwaku. Ayah juga tidak pernah marah saat aku menghias sendiri kamar tidur ini bak istana kerajaan di India. Dia tak akan bisa menghalangi setiap keinginan putri bungsu dan satu-satunya di dalam keluarga kecil kami. Aku kembali ke ruang tamu. Tak banyak yang berubah dari isi rumah. Semuanya masih tetap sama seperti 3 tahun yang lalu setelah ku tinggal pergi. Hanya saja warna yang berubah mulai dari depan sampai belakang membuatku sedikit bingung saat berada di dalam taksi. Aku berjalan menuju dapur mencari ibu. Dimana wanita kesayanganku itu? Apakah ibu tidak tahu kalau aku sudah tiba? Atau beliau juga sedang menyambut kedatanganku ini?
"Ibu, Raya pulang! Ibu dimana?" seruku sambil terus mencarinya ke dapur dan halaman belakang rumah.
"Ibumu sedang pergi," sahut Ayah yang berada di belakangku.
"Kemana, Yah?" tanyaku dan memutar badanku ke belakang.