Ku peluk boneka Teddy Bear yang sudah bertahun-tahun usianya sejak berada di tanganku. Boneka ini adalah hadiah istimewa yang pernah diberikan oleh Azhar pada saat hari ulang tahunku. Boneka ini juga menjadi saksi antara kami berdua malam itu saat dia datang menemuiku di cafe. Dengan membawa sebuah kotak berukuran sedang, Azhar menghampiriku yang sudah menunggunya. Tanpa basa-basi lagi, dia bernyanyi kecil di telingaku. Sayup-sayup suaranya terdengar mengalun merdu dan sempat membuatku meneteskan air mata. Rasa haru yang luar biasa saat orang yang ku suka menyanyikan lagu itu di malam yang akan menjadi akhir dari kebersamaan kami.
"Selamat Ulang Tahun ya, Raya..." Bisikan Azhar membuat tersentak.
Aku hanya bisa tersenyum menerima ucapannya. Bahagia menyelimutiku. Sangat bahagia. Azhar begitu penuh dengan kejutan. Dia juga sangat pandai membuat pipiku merah merona dan mataku berkaca-kaca. Padahal, kami hanyalah sepasang sahabat yang saling melengkapi. Namun, di balik itu tidak ada yang tahu bahwa aku telah menyelipkan doa-doa untuknya, kecuali Marsha.
"Ini hadiah dariku," ujarnya lagi sembari memberikan kotak berbalut pita berwarna merah jambu padaku.
Aku menerimanya sambil tersenyum manis. "Terima kasih..." ucapku.
"Kau akan mentraktirku makan malam ini, kan?" tanya Azhar saat melihat hanya ada sebuah gelas berisi air putih di atas meja.
Aku mengangguk sembari memandang meja yang ada di depanku. "Aku tidak menyangka kau akan datang di malam ulang tahunku."
"Kenapa tidak? Kau adalah sahabat terbaik yang pernah ku miliki dan setiap peristiwa yang bermakna dalam hidupmu harus kita rayakan bersama! Memangnya kau tidak ingin melihatku di malam-malam terakhir sebelum aku berangkat ke London?" serunya dan kemudian menarik kursi kosong yang ada di sebelahku.
Aku terdiam. Azhar mulai mengingatkanku akan perpisahan itu. Hah, dia tidak akan mengerti bagaimana hancurnya perasaanku saat ini. Namun, begitulah Azhar selalu mengatakan bahwa kami adalah teman baik. Kami adalah sahabat yang saling melengkapi. Kami adalah dua orang yang tak pernah bertemu dalam satu titik, tetapi dapat digambarkan melalui titik lainnya. Itulah kami yang selalu dikatakan Azhar. Namun, banyak hal yang membuatku lupa bahwa perasaanku tak boleh bercampur dalam persahabatan ini. Mungkin inilah yang membuatku tak ingin melupakan Azhar. Setiap gerak-geriknya membuatku merasa terlindungi dan menunjukkan kalau dia bukan sekadar teman baikku.
"Oya, kapan kau akan berangkat ke London?" tanyaku saat makan malam berlangsung.
"Seminggu lagi..." jawabnya tanpa melihat wajahku.
Aku mengulum bibir ini. Seminggu lagi? Bukan waktu yang lama. Jika bersamanya, setiap waktu terasa cepat bagiku.
"Papa sudah membeli tiket untukku. Setelah mengambil surat kelulusan nanti, aku akan segera berangkat bersama Mama," Azhar masih terus menjelaskan keberangkatannya padaku, sementara aku terdiam dan hanya memandangnya.
"Apa kau akan tetap mengingatku kalau sudah sampai di sana?" Pertanyaan ini terlihat biasa memang, tetapi bagiku ini adalah pertanyaan yang paling ku tunggu-tunggu jawabannya.
Azhar berhenti mengunyah. Dia menatapku dengan tajam.
"Hah?" tanyaku dan membalas tatapan tajam itu.
"Mengingatmu? Untuk apa?" ledeknya dengan tersenyum kecil setelah tatapanku mengalahkan sorot matanya.
"Untuk apa? Barusan kau katakan, aku adalah teman baikmu. Apa kau akan melupakan teman baikmu ini begitu saja?" Emosiku naik seketika.
"Haha... Tenanglah, Raya! Aku tidak akan melupakanmu sampai kapanpun. Kau adalah sahabat yang selalu ku ingat di dalam sini, di hatiku," ucap Azhar sambil menunjuk ke arah dadanya.
Aku mengalihkan pandanganku.
"Kau tidak percaya?" tanyanya dan memperhatikan raut wajahku.
Aku tersenyum dan kembali memandangnya. "Kau janji tidak akan melupakanku?"
Dia mengangguk. "Aku janji. Kita akan bertemu lagi di lain waktu..." jawabnya dan mencubit pipiku dengan pelan.