Dia Bukan Anakku

Endah Puspitasari
Chapter #1

Kelahiran Dua Bayi

Hujan turun dengan deras di malam Rabu kliwon, membasahi desa yang berbatasan dengan perkebunan sawit, di desa Penarik, Kota Mukomuko, Provinsi Bengkulu. Angin pantai pun bertiup kencang, menggoncang ranting pohon mangga yang bersandar di rumah bersalin. Ketika itu lahir dua bayi perempuan dengan jarak waktu yang berdekatan. Bu Yayuk, seorang bidan senior, dan dua asistennya terlihat sibuk sebab mereka harus membantu dua pasien sekaligus. Keluar-masuk kamar yang bersebelahan.

Bu Yayuk mendadak pucat ketika melihat bayi perempuan pertama yang lahir. Bayi itu sudah berhenti menangis, sekarang matanya terbuka lebar dan menatap lekat pada sosok renta yang menggendongnya. Lekas ia bungkus bayi itu dengan kain bedung lalu dibawa ke ruang bayi. Sedang bayi perempuan lainnya menangis tanpa suara. Dua bayi ini disatukan sejenak dalam sebuah ruang yang hangat.

Ayah dari bayi yang dilahirkan tengah menggenggam erat jemari istrinya yang masih terbaring lemah dan sedang dibersihkan oleh asisten bidan. Sudah lima tahun mereka menanti keturunan, akhirnya lahir juga generasi penerus keluarga pemilik kebun sawit ratusan hektar itu.

"Bagaimana rupanya, Mas?" tanya wanita pemilik lesung pipi.

"Cantik, sama kayak kamu." Sebuah jawaban yang tentu saja berbohong sebab ia belum melihat bagaimana wujud si bayi. Lelaki itu tersenyum, dia memang biasa melakukan kebohongan. Dibelainya lembut rambut sang istri yang basah karena keringat saat mengejan. Sebuah kecupan kemudian mendarat ke kening wanita yang berusia 30 tahun itu.

Di saat sepasang suami istri itu terlihat sangat bahagia, wanita yang juga baru melahirkan bayi perempuan di kamar sebelah menangis pilu. Kenangan akan janji manis seorang lelaki terngiang kembali. Ratusan saraf yang putus setelah mengejan dan luka yang sedang dijahit tidak terlalu pedih ketimbang perasaan yang tercabik-cabik karena ditinggalkan. Tiada yang mau menerimanya setelah ia hamil di luar nikah, termasuk keluarganya sendiri.

"Ana ... minum air tehnya, Nduk ... biar punya tenaga. Kamu harus kuat demi anakmu," nasihat Bu Yayuk. Wanita paruh baya itu cepat sekali bergerak. Urusan bayi sudah ditangani asistennya.

Wanita itu bergeming. Dia mengabaikan sosok yang mengelus lembut bahunya. Sibuk bertengkar dengan pikirannya sendiri.

"Ibu akan berjaga di luar. Kalau kamu ada perlu, panggil saja. Jangan sungkan," imbuh Bu Yayuk. Dia tahu Meliana mendengarkan, meskipun terlihat tidak mengindahkan.

Lihat selengkapnya