Dia Datang,.,

Dinda Puspitasari
Chapter #3

I'M IN LOVE

Karin selalu tahu akan jadwal anaknya pulang terlambat, sehingga setiap hari Rabu dan Sabtu selalu membuat bekal lebih untuk Karin. Bagi Karin, Mamanya adalah orang yang super duper cerewet. Suka mengatur ini dan itu, sering menceramahi Karin, tetapi Mamanya selalu tak tertinggal membuatkan bekal untuk sang anak. Melati sebenarnya bukanlah seorang yang cerewet seperti dikatakan Karin. Hanya saja bentuk perhatian seoarang Ibu dalam bentuk lain.

“Karin, ini Mama bawain bekal lebih ya. Kamu ada jadwal rapat kan hari ini?” teriak Melati mengoleskan selai choco hazelnut ke beberapa roti tawar.

Karin mulai menuruni anak tangga menuju meja makan bersama Papanya. “Iya Ma. Mang Udin kapan baliknya Ma?”

“Katanya, kira-kira Mang Udin bisa kerja lagi dua mingguan. Kamu bisa kan naik taksi sementara waktu ini. Nanti uang saku kamu Papa tambahin.” sahut Roy yang asyik sarapan makanan favoritnya, nasi goreng.

Setelah mendengar ucapan Papanya, Karin mulai bergumam. “Kenapa sih minggu-minggu ini kok pada enggak bisa semua nemenin Karin.” Karin duduk disebelah Papanya mengambil telor dan nasi goreng.

Sahut mamanya, “Nanti Mama sama Papa mau jenguk Istri Mang Udin, mungkin jam 11 malam baru nyampe rumah. Kamu nanti jangan keluyuran ya, jaga rumah.”

“Imbalannya donggg.” Tak lupa mengadah tangan ke arah Papanya dengan nada dan gaya sok manja.

Papanya mengeluarkan dua lembar 100 ribuan. “Ini, tapi ingat jangan jaga lupa rumah.”

Salah satu makanan terenak yang bisa membuat Roy jatuh cinta dengan Melati adalah nasi goreng teri medannya. Karena dulu waktu jaman kuliah, bekal Roy dan Melati tertukar saat di perpustakaan. Lewat masakan nasi goreng teri medan lah yang bisa menyatukan mereka dan muncul sesosok gadis periang, smart, dan manjanya tidak tertolong.

“Siap Pak booss.” Karin langsung mencium pipi Papanya cukup lama membuat Roy tertawa melihat tingkah laku anaknya.

Tiba tiba Melati mencubit kecil lengan Karin yang mungil karena tingkahnya yang hanya manja dengan Roy saja. ”Dasar ya anak nakal.”

Xxxxxxxxxx

Tiiiing toong tiiiinggg tonggg ting tong ting tongggggg……. Tingg.. Ting.. Ting

Keunikan tersendiri bagi SMA BAKTI MULIA karena jam yang digunakan terhitung jam lawas. Model jam yang digukanan adalah jam tahun 70’an. Modelnya seperti jam kotak dari kayu jati yang kokoh besar dengan ciri khas setiap jamnya berdenting sebanyak jam berapa yang sedang ditunjukkan. Bagi para siswa hal yang paling menjengkelkan ketika berada jam 12, karena dentingannya berdenting selama 12 kali. Padahal jam 12 adalah surganya para murid-murid, surga tidur di siang bolong. Siapa sih yang betah mendengarkan di waktu terik matahari di titik maksimal? apalagi kalo udah didongegin, siap-siap tergeletak pulas.

Dentingnya bergerak tiga kali , jam 3 menunjukkan waktunya pulang untuk semua siswa. Namun khusus panitia lomba basket dan cheerleaders diperbolehkan pulang jam 16.30 wib.

“Selamat sore semuanya…. disini saya akan menjelaskan denah ruangan dan sistem peraturan yang akan digunakan dalam lomba kedepan. Pertama mengenai denah ruangan, parkiran atas akan digunakan sebagai stand-stand yang disewakan untuk berjualan makanan dan minuman. Jadi untuk semua motor akan dialihkan ke parkiran bawah dengan penjaga parkiran bawah adalah Bambang dan Tora.” Ketua divisi koordinasi lapangan menjelaskan berbagai denah dan system.

Saat ini Karin yang bergantian menjelaskan berbagai macam informasi mengenai tentang sponsor. Sebelum Karin akan berdiri tepat di depan whiteboard, kedua bola matanya sempat melirik Rangga yang sedang asyik berdiskusi dengan Ricko, Ketua koordinasi lapangan. Sebenarnya ia tahu, mungkin hanya dirinya yang merasakan perilaku aneh Rangga saat itu. Sadar pikirannya tiba-tiba terfokus kepada Rangga, Karin mengenyahkan semua pikiran itu dan berjalan dengan tegap menuju whiteboard tanpa melirik kembali Wakil Koordinasi lapangan itu. Tanpa sadar, Rangga sebenarnya tahu bahwa Karin sempat melirik kearahnya. Hanya dia tak ingin mengacaukan semua pikiran Karin jika dia membalas pandangannya tadi. Rangga hanya ingin yang terbaik bagi Karin.

“Terima kasih sebelumnya, saya Karin bagian sponsor. Disini ada 7 perusahaan yang akan kita bagi proposal untuk mendapatkan sponsor. Proposal akan kita sebarkan perlu persetujuan dari Ketua Pelaksana dan Kepala Sekolah. Sebelumnya disini saya akan menjelaskan siapa sajakah yang akan menyebarkan proposal kepada 7 perusahaan yang akan kita tujukan.” jelasnya dengan luwes dan santai.

Karin tidak lagi fokus terhadap Rangga. Saat ini baginya yang terpenting adalah keberhasilan dirinya menjadi panitia di status yang baru. Mungkin hanya dia yang merasakan terlalu ge-er. Cowok SMA berbeda sekali dengan cowok di SMP, cowok SMA lebih perhatiaan dan ramah terhadap semua cewek meskipun baru saja berkenalan. Sedangkan cowok SMP lebih cuek. Kemungkinan kedua mungkin juga memang ini sudah menjadi sikap Rangga terhadap semua cewek, pikirannya mengenai Rangga mungkin dan mungkin sirna begitu saja.

Selama Ketua Koordinasi dan semua anggota rapat menjelaskan, Rangga tak konsen mendengarkan semua penjelasannya. Kedua bola matanya hanya tertuju pada satu wanita yang sejak tadi ditatapnya. Karin, dialah wanita yang membuat dia tak menghiraukan apa yang seharusnya dilakukannya. Senyumnya, tawanya mengubah sebagian kecil sikap Rangga.

“Cukup sampai disini bahasan kita, sebelumnya apa ada pertanyaan? jika tidak ada, terimakasih dan sampai jumpa Sabtu besok.”

“Karin, nanti lo yang bagian persetujuan dari Ketua Pelaksana sama pembuatan id card, biar gue yang nyerahin persetujuan kepsek.” seru Devi, anggota sponsor yang keluar kelas dan diskusi bersama Karin.

“Okelah, ntar gue juga koordinasi bareng Tari juga kok, lo mau pulang sekarang Dev?” Karin dan Devi duduk di pinggir lapangan basket. Karin menawarkan bekal makanan dari Mamanya.

Karin sangat membanggakan sekali roti buatan mamanya. Memang roti buatan mama Karin sudah diacungi jempol oleh kedua sahabatnya. Meskipun simple, namun ada rasa yang berbeda kalo Mama Karin yang membuatnya. Karena memang selai kesukaan Karin tidak bisa ditemukan di seluruh toko di negri ini. Melati khusus meracik sendiri dari resep Ibunya. Tetapi meskipun Poppy dan Tari sangat menyukai roti buatan Mama Karin, ada saatnya mereka sudah tidak sanggup lagi melahap ketika Karin menawarkan. Hampir setiap hari selama 3 tahun menjadi sahabatnya Karin, mereka selalu disodorkan saat istirahat.

“Yah makasih Rin, iya gue mau pulang. 5 menit lagi mungkin angkot gue dateng. Eh angkot gue udah nyampe gue pulang dulu ya.”

“Ati-ati Dev.” Ia melambaikan tangan ke Devi sambil menggigit bekalnya, namun saat ia menengok ada seorang cowok yang menghampirinya dengan senyum yang terbingkai indah. Sayangnya saat ini ia tak mengharapkan kedatangan cowok itu.

“Boleh duduk?” tanya Rangga dengan menggenggam 2 botol minuman teh.

“Boleh.” kemudian Karin menggeser tempat duduknya, dalam hatinya dia mulai deg deg an. Batinnya,  “Apa yang bakal dia lakuin ke gue ntar, apa hari ini jantung gue copot beneran gara-gara sikapnya”.

“Mau? Ini satu buat lo. Tari mana kok enggak masuk.” Rangga membukakan tutup botolnya dan memberikannya ke Karin.

Thanks, lo mau Rangga? Tari lagi jaga Kakeknya di ICU, kayaknya minggu depan baru bisa masuk sekolah.”

“Kasian juga Tari, dia harus bagi waktu antara Kakenya sama ngurus lomba 3 minggu depan. Lo enggak pulang Rin?”

Tatapannya kini beralih kepada wanita disebelah. Mata hitamnya memenuhi sesosok gadis yang tak menyadari pandangan Rangga. Dilihatnya lekat-lekat, karena ini pertama kalinya Rangga dapat menatap mata gadis yang telah lama dinantinya.

“Lagi males pulang, di rumah nyokap sama bokap lagi jenguk Istri supir gue, Mang Udin. Bentar lagi aja deh, disini udara nya lagi sejuk banget.” Udara sepoi-sepoi, membuat pohon-pohon menari bersama-sama yang terlihat sebentar lagi akan turun hujan.

“Supir lo enggak jemput lo lagi? mau bareng gue lagi, dijamin aman kok.” Rangga menawarkan tumpangannya dengan gaya genitnya menggoda Karin.

“Apaan sih,” balasnya meleparkan tawa kecil. “Enggak gue cari taksi aja, makasih udah nawarin.”

JEEEEDDAAARRRRRRRRRR…..

Klitikkk…klitikk……

Byurrrrrrrrrr…..byurrrrr

Dengan sigap Rangga bergegas melapaskan jaket kulitnya dan meletakkan di atas kepalanya dan Karin, dia menyeret Karin dengan begitu mudah ke arah mobil Juke merahnya. Dia tak peduli meskipun Karin tak setuju jika dia kembali mengantar ke rumahnya. Rangga mendekapnya agar Karin tak basah, namun dia tak sadar bahwa wanita yang didekapnya sekarang jantungnya sudah tampak ingin copot.

Sadar kini tangannya “kembali” dipaksakan masuk ke dalam sebuah mobil yang tak pernah ia kenal. Kedua alisnya naik begitu saja. Matanya semakin terbuka lebar seiring tarikan Rangga yang semakin kuat. Karin sadar kodratnya sebagai seorang wanita. Sekuat-kuatnya seorang wanita akan lebih kuat tenaga fisiknya lelaki. Mencoba mengelak, namun apa daya tidak ada pegangan kuat untuk menahan tarikan ini. Terpaksa, Karin “kembali” mengiyakan ajakan Rangga karena hujan semakin lebat.

Sambil membenarkan rambutnya yang kusut, didalam mobil Karin bertanya dengan spontan “Ini mobil siapa? lo kan biasanya naik motor.”

Matanya kini tak berani menghadap Rangga. Kakinya terus berhentak saling bergantian. Jemarinya saling bertaut. Tak ada gerakan lain yang bisa dilakukan, hanya gerakan itu yang tidak bisa memperlihatkan betapa saltingnya Karin saat ini.

“Ini mobil gue, gue feeling kalo hari ini hujan. Makanya bawa mobil biar lo enggak kehujanan,” Sayangnya saat Rangga berkata begitu , Karin tidak memperhatikan. Rangga mengambil jaket cadangannya di kursi belakang dan memberikan kepada Karin. “Lo pake jaket gue, biar enggak masuk angin.”

Thanks, gue boleh tanya enggak?”

“Boleh, tanya aja.”

“Hmmm..”

“Tanya apa emang kok pake mikir segala.”

“Kenapa sih rasanya lo baik n perhatian banget sama gue, padahal ketemu aja baru banget.” Dia ingin meluapkan rasa keingiintahuannya selama ini. Ternyata Rangga cukup terkejut apa yang ingin Karin tanyakan.

Selama perjalanan Rangga masih tak menjawab pertanyaan dari Karin, dia hanya konsen menyetir dikala petir berbenturan terus. Suasana menjadi dingin dan tak ada pembicaraan selama perjalanan. Sengaja Rangga memutar radio untuk memecah keheningan, namun lagu yang tak sengaja dipilih membuat mereka menjadi semakin hening. Lagu itu adalah lagu dari HiVi, siapkah tuk jatuh cinta lagi dan Yovie ft RAN andai dia tahu. Setelah beberapa menit lagu berhenti, Juke yang di kendarainya juga berhenti di rumah Karin. Tetapi hujan dan petir masih menyelimuti kota Jakarta.

“Rangga, thanks ya udah mau nganterin gue pulang. Lo enggak mau masuk ke rumah gue, masih deras banget hujannya.”

Hingga akhirnya kembali memberanikan diri menawarkan Rangga masuk ke rumahnya, meskipun sebenarnya Karin masih tidak tahu mengapa pernyataan sesederhana itu tidak kunjung Rangga menjawabnya. Setidaknya Karin bersikap ramah kepada Rangga, karena tanpa Rangga yang mengantarkan dirinya pulang kerumah, ia akan sulit menemukan angkutan umum yang mau mengantarkannya. Wajahnya sungguh pucat pasi, salah satu efek jantungnya yang tidak terkontrol hampir 2 jam.

“Makasih kalo dibolehin, lo sekarang sendirian berarti?”

“Nyokap katanya pulang ntar jam 11an, ini handuk buat ngeringin badan sama rambut lo. Gue buatian hot chocolate dulu, lo duduk dulu aja.” Karin melempar handuknya ke arah Rangga. Spontan Rangga yang saat itu melihat sekeling rumah Karin yang artistik menangkap handuknya tadi.

Rangga berjalan di area ruang foto, melihat foto-foto keluarga berjejeran. Diantaranya adalah foto masa kecil Karin bersama Mama Papanya, main petak umpet, naik ayunan dan foto wisuda waktu SMP. Rangga mengambil salah satu foto itu disaat Karin menutup matanya di pohon sambil berhitung, saat itu dia bermain petak umpet dengan teman SD-nya. Jemarinya mengusap-usap wajah Karin yang berdebu di dalam foto, dalam hatinya Rangga bergumam “Ini lo sejak kecil? Masih kecil aja udah lo udah bisa menghangatkan sekeliling lo.”

Rangga duduk di salah satu sudut kursi ruang keluarga di rumah itu, hot chocolate yang dibuat Karin dia hirup secara perlahan. “Apa kamu sehangat hot chocolate ini?” Perlahan Rangga menyeruput setiap tetes hot chocolate.

“Eh sori, lo nunggu lama ya. Tadi gue mandi dulu gatel.” Sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk menuju tempat duduk di sebelah Rangga.

“Iya gapapa kok, thanks ya hot chocolate nya. Gue pulang dulu, makasih juga handuknya.” Diserahkannya handuk yang dipinjam tadi ke Karin dan segera berpamitan pulang, namun tak disangka langkah Rangga terhenti oleh suara Karin.

“Ehmmm ini masih hujan petir, kalo lo mau lo bisa nunggu disini kok.” Tanpa sadar Karin mengatakannya kepada Rangga, Karin tercengang “Kenapa gue tiba-tiba ngomong kayak gitu, bodoh gila.” Dia berfikir udah terlanjur, mau gimana lagi. Masa mau dicopot, lebih gila lagi.

Rangga pun ikut tercengang mendengar perkataan itu. “Kalo dibolehin sih gapapa, lagian masih hujan juga. Lo gapapa emang berduaan sama gue?”

Mendengar kata “berduaan” kurang cocok aja sih didengernya. Ini bukan kemauannya, ini “terpaksa”. “Iya, tapi sampe hujan reda aja.” Karin menghirup dan menghembuskan nafasnya dalam dalam, pertanda hatinya sedikit lega.

JJJJJJEEEEEDDDDDDDYYYYAAAAAARRRR……

Petir yang sangat keras membuat Rangga reflek menutupi kedua telinga Karin yang saat itu terlihat kaget. Kedua tangan Karin juga menutup erat telinganya, dan tanpa sengaja tangan mereka bertemu. Rangga dapat melihat ketakutan yang meneylimuti Karin. Mungkin memang ini waktu yang tepat untuk menjaga Karin yang sendirian.

“Lo mau kan temenin gue? Gue beneran takut petir.” Saat itu telinganya masih tertutupi tangan Rangga.

“Iya, gue temenin kok.” Cara bicaranya kini benar-benar lembut. Tak pernah Rangga berkata selembut ini. Hanya satu wanita yang pernah dia perlakukan seperti ini.

“Biar enggak bosen, gue punya film,” Karin mengotak-atik rak filmnya mencari sebuah film yang diinginkannya “Nah ini filmnya Sing, lo belom nonton kan?”

“Belom, katanya sih lucu.”

“Oke nonton ini aja ya. Terus mau cemilan?”

“Boleh juga.”

“Maunya apa? Ada kentang goreng, sosis goreng, atau jajan kering. Eh ada juga pop corn.”

“Terserah deh.”

“Gue bingung kalo terserah. Kan gue baru pertama kali nonton sama lo.”

Pop corn deh.”

“Oke, kalo minum.”

“Air putih aja.”

“Tungguin ya, 5 menit aja kok.”

“Benar-benar persis kamu ya.” Gumam Rangga, dan tanpa sadar terdengar Karin.

“Ya?” Karin kembali berbalik. Rangga hanya menggeleng lembut dengan senyuman lembut setelah Karin menuju dapur.

Tak terhitung canda tawa mereka berdua selama 2 jam nonton film itu. Tak terlihat diantara mereka rasa canggung, kikuk, apalagi malu hilang musnah tak berbekas. Sesekali dari mereka bergantian memandangi satu sama lain tanpa ketahuan. Kadang mereka saling menepuk bantal karena terlalu menikmati film bersama. Rasa takut karena petir yang terus menderai menjadi rasa senang yang memasuki di mereka berdua.

“Makasih udah ngijinin gue disini.” ucap Rangga saat akan meninggalkan ruang keluarga Karin.

“Enggak masalah kok, makasih juga udah nemenin gue. Petirnya nyeremin banget,” timpal Karin.

“Lain kali kita bisa kan kayak gini lagi?” tanya Rangga membuat Karin terlihat cukup terkesiap mendengarnya. Rahangnya menegang, apa yang harus ia katakan

Tanpa disadarinya secara tidak langsung, Karin menganggguk “Hee’em, hati-hati Rangga.” Karin melambaikan tangannnya ke arah Rangga hingga Rangga tak terlihat dari pandangannya. Setelah memasuki kamarnya, Karin merasa sungguh aneh dengan perasaannya kali ini. Rasanya itu seperti, entah lah tidak bisa digambarkan walaupun dengan pena yang paling mahal. Tidak ada sesuatu yang lucu, namun rasanya ingin sekali tersenyum sambil tertawa lepas. Ia berjalan menuju pinggir jendelanya, dan kemudian berfikir “Apa ini yang namanya jatuh cinta?”

Xxxxxxxxxx

Di salah satu bangku kantin, Karin duduk sendirian degan menyeruput lemon tea . Tatapan matanya terlihat seolah menerawang, seolah ia sedang memikirkan sesuatu yang nampak berat.

“Rinnnn!!!!!!!!” teriakkan Poppy yang cukup menggelegar membuat beberapa yang disana menengok kearah teriakannya, termasuk Karin. Banyak anak disana yang kurang suka dengan kehadiran “Trio kwek-kwek bersatu teguh” itu. Bukan karena apa, kalau mereka datang suasana kantin rasanya seperti pasar ayam, yang saat itu ayamnya bisa sale hingga 80%. Kebayang kan ramenya, memang mereka kalau di kantin sudah mempunyai tempat duduk favorit untuk bergosip ria. Dekat wastafel, itu tempat favorit mereka. “Bu Siti, batagor 1,” pekiknya sekali lagi. “Eh lo kok ngelamun ssih.”

“Lo dulu sama Anjar gimana awalnya?” tanya Karin tiba-tiba. Tiada angin tiada hujan.

“Maksud lo?”

 Poppy mulai menguyah batagornya sambil mendengarkan curhatan Karin. Poppy, cewek yang lebih dikenal modis dan fashion abis. Tetapi dia lebih dikenal sahabatnya sebagai “cewek cantik pemakan segala.”

“Maksud gue awal lo saling suka terus jadian. ” Sedotannya ia mainkan tanpa arah.

“Ehm yah awalnya sih dulu SMP gue anak cheer, Anjar anak basket terus waktu lomba sering ketemuan. Waktu anak cheer sama basket keluar bareng, gue klik nya sama Anjar. Kita keluar, curhat, makan bareng baru Anjar nembak gue. Emang kenapa sih?” Telunjuknya terus mengarah kanan-kiri-kanan-kiri seperti mengurutkan urutan first step.

“Enggak, cuma ngerasain perasaan yang aneh kalo sama- ”ucapan Karin tiba-tiba terputus, langsung disambung Poppy.

“Rangga??” Poppy seketika menghentikan kerakusannya batagor Bu Siti.

“Hhmmm.”

Lihat selengkapnya