“Halo Mbak Mel, ini Mia. Gimana kabarnya sekarang.”
“Baik-baik aja, kalo disana gimana kabarnya? Sekarang mau masuk winter ya?”
“Waduh lupa bilang ya, hampir 2 minggu ini udah menetap di Jakarta Mbak.”
“Kok enggak bilang-bilang ke saya. Sekarang tinggal dimana Mia. Nanti biar saya kesana sama mas Roy dan Karin.”
“Jangan dulu Mbak, rumah masih berantakan. Soalnya kan rencananya tinggal disini terus. Nanti saya sms aja Mbak alamat lengkapnya. Tapi akhir minggu ini saya sekeluarga mau ke Rumah Mbak. Mau ngasih oleh-oleh sekalian nostalgia.”
“Enggak usah repot-repot loh, saya malah seneng di datengi tetangga yang dulunya akrab banget. Nanti saya buatin suguhan yang enak-enak pokoknya. Karin pasti seneng, kan udah lama enggak main bareng.”
“Hahah iya ya Mbak. Pasti cantik sekarang Karin. Kalo Reivan sekarang kelas XII, Karin masih kelas XI ya Mbak?”
“Iya, kan bedanya 1 tahun. Sekolahnya dimana sekarang Reivan.”
“Di SMA BUDI LUHUR.”
“Wah kenapa kok enggak satu sekolahan sama Karin. Kan enak bair ada temen sekalian bisa barengin Karin.”
Xxxxxxxxxx
Sudah sebulan anak sekolahan masuk dan kembali ke rutinitas biasanya, yups BELAJAR. Tidak ada yang lebih penting lagi dari tugas anak selain belajar. Karin, Tari, dan Poppy kembali satu kelas lagi. Takdir or ikatan persahabatan yang kuat memang membuat selalu bersama, kini mereka berada di kelas XI IPS-4 dan Rangga naik menjadi kelas XII IPS-1.
Namun ternyata takdir juga berpihak kepada Nita dan Edward. Mereka kembali satu kelas lagi dengan Karin. Tak habis pikir, mereka masih saja terus bertengkar setiap harinya. Mungkin ini menjadi salah satu cara melepas rasa kangen mereka setelah berpisah beberapa minggu. Tidak hanya Nita dan Edward yang memberi warna di kelas, kini ada satu genks lagi yang melingkupi kehidupan kelas XI-nya sekarang. Anggota genks yang tidak diharapkan Karin. Bukannya tidak diharapkan, namun sama sekali tidak diharapkan.
“Sam, tahajud lo ternyata berhasil. Sekarang lo sekelas sama Karin. Bener-bener salut gue sama lo.” seru salah seorang temannya, Amir. Dengan gaya sok tepuk tangan menandakan kemenangan akan memihak kepada Sammy, cowok yang tidak akan pernah diharapkan Karin.
“Iye bro, langkah gue mendapatkan adinda Karin tinggal sedikit.” sambungnya dengan kepercayaan tinggi tingkat maksimum. Berdiri satu kaki dia tas bangku dengan gaya favorit, jari telunjuknya menyangga dagu.
“Rin ada yang nyariin lo.” pekik Tari setelah mengembalikan sapu di belakang.
Terlihat sangat jelas wajah Tari seakan menahan tawa sekeras mungkin. Sudah menjadi kebiasaan Tari selalu menggoda sahabatnya. Menggoda adalah senjata paling ampuh untuk membuat kesal Karin. Mereka berdua bagaikan Tom and Jerry jika keadaan seperti ini. Teriakannya sungguh terdengar jelas, semua mata anak XI IPS 4 menatap Tari.
“Siapa?” Karin dan Poppy yang duduk di depan menengok ke arah Tari. Mulut Karin masih dipenuhi keripik kentang yang dibawa Poppy dari rumahnya.
Dagu Tari mengarah ke gerombolan cowok yang menamai mereka “Cowok Cowok Kangen”. Filosofi dari mereka, arti kata kangen itu sendiri adalah tanpa mereka semua akan kangen kepadanya. Tanpa mereka, semua orang akan ngilu hatinya kalo enggak bertemu mereka. Karena mereka si cowok penebar hawa happy. Aneh?!? Memang. Tari melirik ke arah Sammy. Sammy yang menyadari mata Karin kini bertemu dengan Sammy, sigap merapikan kerahnya lebih keatas dan matanya terus berkedip seakan kemasukan debu. Tak lupa senyum pepsodentnya terus dilontarkan.
Sudah menjadi reflek dari seluruh anak sekolah di Indonesia, jika ada salah satu yang menggoda maka akan ada seruan “Cieeee.....cieeeee...”, “Cihuyyyy”, “Sikatttttt Hajarrrrrr”, “Jadian sana” dan masih banyak seruan lainnya. Tanpa sadar Karin bergidik dan satu alisnya mengangkat sebelah. Hanya gelak tawa yang terdengar dari suara Poppy yang sadar Karin menjadi pusat perhatian. Bukannya Karin il-feel dengan Sammy, namun Karin risih dengan gaya sok kepedeannya dan satu lagi yang menjadi masalahnya dan juga anak satu kelas. Parfumnya yang strong, dan aromanya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Karena terlalu focus dengan teman barunya, tanpa sadar ada tangan yang menyentuh bahu Karin. “Rin, ada yang manggil lo. Dia di depan.” ucap Devi, partner sponsornya dulu yang sekarang menjadi teman sekelas.
Dilihatnya Rangga di depan pintu kelas. Karin masih duduk di tempat duduk seolah berbicara tanpa bersuara dan menggunakan bahasa isyarat. “Apa?”
Rangga mengikuti dan kemudian membalas bahasa isyaratnya Karin Dia menunjuk Karin, kemudian mengeluarkan hp di sakunya dan beralih menunjuk dirinya sendiri dan kembali seolah mengetik sesuatu di hp-nya. “Lo buka hp, tadi gue sms.” Maksudnya.
Karin hanya menyernyitkan dahinya tak mengerti apa yang dimaksud Rangga, seketika dia menyadari dan kemudian membuka hp. Dilihat ada 3 LINE tidak terbaca 45 menit yang lalu. Karin tidak menyadari getaran di hp-nya, batinnya mungkin itu semua gara-gara Sammy. Kepalanya menengok ke arah Sammy, matanya memicingkan langsung to the point. Kemudian ia kembali melihat Rangga sambil tersenyum dan mengangguk. Seraya Rangga pergi, Karin menghela nafas dan dilihatnya kembali hp-nya.
[Rin, lo ntar bisa kan pulang]
[Ntar gue tunggu ya di depan parkiran]
[Gue pengen ngomong sesuatu sama lo....]
Teriak Tari. “Lo tadi liat cowok yang ngomong sama Karin barusan, ” Tari berhenti sejenak menyakinkan dirinya, dan kembali meneruskan ucapan tadi. “Cowok itu calon pacarnya Karin....” Tari yang tak tahan dengan gurauannya tadi seketika tertawa terbahak-bahak hingga lepas kontrol. Tak dilihatnya temannya yang sudah menjadi kepiting rebus.
“TTTTAAARIIIIII......husssttt!!!!” pekik Karin melihat reaksi teman-temannya di kelas. Sorot matanya seperti akan melakukan pembalasan dengan Tari sepulang sekolah. Telunjuknya menyentuh bibir, raut wajahnya sungguh terlihat merah delima. “Lo itu apaan sih....” geramnya. “Pop, Tari tuh....bener-bener pengen gue terkam nanti.” curhatnya, tapi Poppy hanya bisa menggelengkan kepala. Tak seperti Tari, Poppy terlihat seperti menahan tawanya. Jika Poppy terlihat ikut tertawa seperti Tari, takutnya Karin yang tiba-tiba ingin meraung dan menerkam Tari sungguhan.
“Tenang saja adinda Karin, Kakanda akan merebut hatimu kelak.” Sammy kembali menggoda dengan sok dramatisnya. Gelak tawa di XI IPS 4 semakin menjadi.
“Gercepp Sam...”sahut salah seoarang di pojokkan. Gercep alias “Gerak cepat”.
“Atau sama gue aja.” tawar Tari mengayunkan rambutnya yang panjang dan indah sambil memainkan alisnya.
“Idiiihhhhhh,,,, makasih.”
Seketika Tari meremas kertas dan melemparkan tepat ke wajah Sammy. Kini kelas XI IPS 4 layaknya kerumunan suporter bola yang jagoannya baru memasukkan tendangan pinalti tanpa hambatan, sungguh ramai.
“Tadi Rangga kenapa Rin?”
“Oh gapapa kok Pop.”
Suara buku-buku tebal yang dibanting dengan sengaja di atas meja guru terdengar keras, sangat keras sekali sehingga semua penghuni XI IPS 4 kelimpungan dan kembali duduk di tempatnya masing-masing. Suasana kelas sungguh hening, tak ada suara sedikit pun terdengar. Hanya wajah takut, gelisah, dan gemetar yang terlihat oleh wanita di depan.
“SUDAHHHHHHH!!!!!!!!”
Satu kata tapi sangat menohok. Bu Halim sudah ada di tempat 5 menit yang lalu.
Xxxxxxxxxx
Hubungan antara Karin dan Rangga kian semakin dekat. Orang tua Karin pun telah mengenal Rangga karena beberapa kali mengantarkan pulang anak semata wayangnya. Karin pun mulai nyaman dengan adanya Rangga dan juga perhatiannya.
“Rangga, kita mau kemana sekarang?” tanya Karin yang penasaran dengan teka- teki yang selalu diberikan Rangga.
“Pokoknya kita mau makan ice cream.”
Setelah 30 menit berlalu, tibalah mereka di sebuah cafe kecil penuh dengan boneka dari yang paling besar hingga paling kecil di seluruh penjuru cafe itu. Ada sebuah boneka kecil perekam suara yang biasanya sering digunakan anak kecil bermain di setiap mejanya. Cafe yang benar-benar nyaman untuk anak kecil. Karin yang sangat suka cafe itu berkeliling melihat, memencet hidung, memeluk boneka tanda bahwa ia begitu menyukai tempat ini. Rangga dapat menebak bahwa Karin akan suka dengan cafe ini, sikap kekanak-kanakannya mirip dengan seseorang yang dulu juga pernah suka dengan cafe ini.
Karin menuju tempat kasir dan memesankan 2 ice cream, Rangga memilih duduk di meja dekat jendela dan mencoba meng-otak atik boneka itu.
“Rin coba lo pencet tombol di perut itu.” pinta Rangga menyodorkan boneka yang dipegangnya.
“Apa ini?” Karin tampak penasaran apa yang Rangga maksud. Ia mencari tombol yang Rangga maksud, kemudian ia mencoba menekannya. “Hallo Kakak Karin, kamu suka sama cafenya?” tiba-tiba muncul suara boneka cempreng keluar yang berasal dari suara Rangga.
Karin mulai mengikuti arah permainan Rangga, ia mencoba merekam suara dengan suara centilnya.“Aku suka banget, makasih Kakak Rangga...hhiiihiihi.” sontak saja Karin tak menyangka Rangga bisa membawanya ke tempat seperti ini.
Mereka berdua kini berbicara menggunakan perantara boneka itu.
“Kakak Karin, Kakak Rangga boleh ngomong sesuatu enggak?”
“Boleh, Kakak Rangga mau ngomong apa?”
Rangga langsung membelakangi Karin. Dia merekam suaranya di boneka itu, dan dia membalikkan badan lalu menekan tombol di perut. “Kakak Karin mau enggak jadi bagian dari Kakak Rangga?”
Karin bingung dengan maksud dari ucapan Rangga, dan sebelum menyerahkan ke Karin, Rangga kembali merekam ucapannya. “Kakak Karin mau enggak jadi pacar Kakak Rangga?”
Ungkapan Rangga membuat orang yang di depannya begitu terkesiap dan bingung ingin berkata apa sekarang, tubuhnya saat ini terlihat tak bergeming. Ritme jantungnya sungguh tak terkendali. Tanpa menyentuh nadinya, Karin bisa merasakan sendiri jantungnya berdetak sungguh keras DAAGGG....DIIIIGGG....DUUGGG....DAGGG....DIGGG...DUGGG.