Dia Datang,.,

Dinda Puspitasari
Chapter #6

Gasing

“Gila loh Van, masih inget aja gue suka panjat tebing.” teriak Karin saat berada di tengah-tengah panjat tebing yang ia panjat.

Reivan yang lebih tinggi daripada Karin menengok ke bawah sambil berteriak. “Gue tahu semua tentang lo Rin.”

“Lo siapa kok tau gue segalanya.”

“Nih buktinya, kan nyokap lo enggak tahu kalo sebetulnya lo punya bakat di panjat tebing. Kalo bukan gue dulu yang ngajak lo ke tempat kursus gue, pasti lo masih manjat pohon rambutan di rumah kan sambil teriakan nyokap.”

“Bener juga sih, karena lo gue ketagihan. Thanks ya Van.”

“Gue sebentar lagi nyampe puncak Rin.” pekik Reivan

Terlihat Karin gemas dengan gaya sok kepinterannya si Reivan, Karin mencoba lebih cepat memanjat tebing dengan sekuat tenaga. Saat ini mereka tanpa sadar berada di posisi yang sejajar.

“Rin gue boleh ngomong sesuatu.” ucap Reivan merubah nadanya menjadi sedikit lebih lembut.

“Boleh lah ngomong aja.” sahut Karin melihat tatapan Reivan.

Udara berhembus merasuki tubuh mereka berdua. Angin semilir menggerakkan rambut Karin. Terdengar keras tarikan nafas Reivan membuat Karin semakin bingung, “Rin, hmm….”

“Apa?”

“Kalo gue ada perasaan sama-”

Belum selesai ia mendengar ucapan Reivan, kaki Karin terpeleset ketika ia memanjat batu yang salah, yang membuat tali katrol Karin meluncur secara cepat. Reivan dengan sigap melepaskan genggaman tangannya dari batu dan langsung menangkap Karin. Saat ini mereka hanya menatap satu sama lain. Detak jantung Karin tiba-tiba berdetak sangat kencang, ia tidak ingin memperlihatkannya ke Reivan dengan wajah malunya itu. Dengan paksa Karin melepaskan tangan Reivan dari tubuhnya.

“Sori Van gue gapapa kok.” Wajahnya menyiratkan cukup terkejut perlakuan Reivan.

“Yaudah deh, gue ambilin lo minuman dulu. Sekarang lo duduk disini dulu.” Reivan sengaja mendudukan Karin dan mencoba melupakan ucapannya saat di atas tadi.

Angin berhembus dengan kencang, pohon-pohon menari-nari dan saling berjatuhan di depan wajah Karin yang terlihat sedang memikirkan sesuatu.

“Tadi Reivan ngomong apa ya.” Karin mengelus-elus tengkuknya.

Tak perlu menunggu lama, Reivan datang membawa 2 botol air mineral dan 2 buah bakso langganan mereka jika sedang panjat tebing. Kembali Karin mengingat-ingat perkataan Reivan ketika dirinya hampir saja terpeleset. Namun kenyataannya memang Karin tak ingat sama sekali.

“Van tadi tuh lo ngomong apa sih.”

“Oh enggak usah dipikiran, enggak penting juga kok.”

“Beneran?”

“Iya. Lo sekarang makan dulu.”

“Eh lo apa-apan sih Van.” Dilihatnya Reivan mengangkat kedua kaki Karin dan membuka kedua sepatu dan kaos kakinya.

“Daripada bengkak, diurut bentar.”

“Udah gapapa.” Karin mengelak menurunkan kedua kakinya.

Tanpa menunggu komando maupun persetujuan pemilik kaki, dipijatnya kaki Karin dengan perlahan sambil mengusapkan minyak gosok. “Udah lo makan aja, gue tahu lo laper sekarang.”

Karin hanya menjawab dengan senyuman kecil. Tanpa pikir panjang ia menusuk bakso uratnya dengan bahagia disela kaki yang sakit.

“Aaaaaa…………………….” Karin menyodorkan siomay ke arah Reivan yang sedari tadi terus memijit kaki Karin.

“Haumpttttt..nyammmm..nyamm.” Siomay yang diberikan Karin dia gigit sepenuhnya yang membuat Karin geram.

“Yah, maksud gue kan setengah aja. Kenapa semuanya, kan siomanya cuman satu.” Wajah cemberutnya tiba-tiba berubah menjadi tawa kecil setelah melihat ekspresi makan Reivan.

Xxxxxxxxxx

Tak puas rasanya jika ingin mendengar sebuah berita teranyar namun sang pemberita berita yang akan menceritakan tidak seantusias penerima berita. Poppy berdiri di bibir pintu kelas dengan leher yang sejak tadi tidak bisa diam meskipun hanya sebentar. Sedari tadi menengok ke kanan ke kiri mencari bayangan oarang yang dinanti tak kunjung datang. Berbeda dengan yang hanya setengah menanti cerita terbaru dan setengahnya lagi memang dikhususkan untuk menyalin tugas sejarah yang sejak semalam tak dapat dia mengerti. Baru saja terlihat di ujung belokan menuju kelas, Karin yang malas untuk mengelak sengaja menerima geretan Poppy.

Kini mereka bertiga duduk di bangku masing-masing untuk bersiap menerima cerita yang sejak semalam mereka nantikan, khususnya Poppy yang memang sudah meminta cerita lengkapnya esok hari. Tak lupa jajan terbarunya, kripik bayam jajan dari liburannya kemarin.

“Gimana?”

“Gimana apaan Pop?” sahut Karin mencomot jajanan Poppy.

“Yang kemaren, katanya lo ketemu Reivan. Orangnya sekarang gimana, terus lo pas pertemu pertama kali feel something different?”

“Satu-satu. Nih orangnya,” Sambil menunjukkan ig Reivan yang baru saja di follow kepada kedua temannya. “Puas.”

“Berarti bener Rin, dia yang emang di supermarket Bandung kemaren.” sambung Tari ikut-ikutan mencomot kripik bayam.

“Gue belum tanya sih. Lagian gue kemaren enggak bicara banyak.”

“Tapi pas waktu lo ketemu dia gimana rasanya, kan udah lama enggak ketemu.” Poppy masih belum puas dengan pertanyaan yang belum terjawab.

“Hmmm, awalnya sama-sama diem sih. Tapi berjalannya waktu pas cerita tentang masa SD jadi ngalir aja.”

Apa yang diutarakan Karin kepada kedua sahabatnya jelas bukan perasaan yang dia rasakan kala itu. Perasaaan yang sesungguhnya adalah perasaan senang, malu, takut, sedih dan irama jantung yang sulit terkontrol bercampur aduk. Senang karena akhirnya setelah sekian lama orang yang dulu dinantikan datang, sedih karena mengapa harus sekarang dia datang disaat Karin mencoba melupakan dan menata hati. Ingin rasanya bercerita sebenarnya bagaimana perasaannya, namun dirinya takut jika ia bercerita sangat menggebu-gebu lambat laun perasaanya kembali seperti dahulu. Berharap berlebih dengan perasaan Reivan dan melupakan Rangga yang baru saja masuk ke hatinya. Seperti seorang yang bermain dengan lelaki, dan Karin paling benci itu.

“Masih ada perasaan?” celetuk Tari.

Perasaan? Karin lantas menggeleng pelan pertanyaan Tari.

“Beneran udah hilang Rin?” tanya Poppy kembali meyakinkan.

“Iya.”

Rangga melintasi kelas Karin sambil berbincang dengan temannya. Hanya Karin yang menyadarinya. Seakan pertanyaan itu memang sengaja menjebak perasaanya. Mengecoh semua jawaban-jawaban yang dipersiapkan. Kembali meyakinkan bahwa memang sesuai dengan apa mulut katakan. Sedangkan apa yang hati katakan, sepertinya belum sepenuhnya. Tapi suatu saat cepat atau lambat, perasaan ini memang harus hilang lenyap dan tak bersisa sedikitpun.

Xxxxxxxxxx

“Vannn…”

Lihat selengkapnya