Tinn….ttiinnn….
Tak pernah sehari pun dilewatkan Karin, Melati dan Roy mendengarkan klakson khas di pagi hari. Sudah menjadi makanan sehari-hari Roy selalu mengklakson keras-keras agar putrinya bisa lebih cepat untuk masuk ke mobil. Namun bukan Karin namanya jika meskipun diperingatkan sejak dahulu dan masih mengulanginya hingga hari ini. Meskipun Roy yang terlihat beringas ketika pagi hari, tetapi tidak sekali pun pernah marah terhadap Karin. Tentu saja berbeda dengan sang Istri, Melati yang sudah mulai lelah berceramah dari ruang makan hingga pintu gerbang rumahnya.
Tinnnn..tttiinnnn….tttiiiiiiiinnnn
“Udah sana, ditungguin Papa.” Melati memasukkan bekal rotinya ke dalam tas yang berbeda.
“Iya Ma, nih masih ngikat sepatu.”
“Lain kali pake sepatu ada perekatnya aja deh, biar enggak kelamaan ngiket.” keluh Melati.
“Kalo pake sepatu berperekat kayak anak SD dong Mahhh.” Karin memasangkan tas ransel.
“Alasan aja.” Melati menyerahkan tas berisi bekal.
“Punya Rangga udah disitu juga kan Ma?”
“Udah. Kotak makannya jangan lupa dibawa pulang.”
Karin mencium tangan Mamanya yang selalu cemberut ketika melepas kepergian anaknya ke sekolah karena kesal. “Cepet tua ih, nanti pas naik sepede dikira Kake Nenek lo.”
“Enak aja sana.”
Braaakkk…
“Rinn.” ucap Roy saat menyetir di belokan pertama rumahnya.
“Iya Pah.”
“Itu di jok belakang ada tas isi jaket atau apa itu namanya, tadi Papa ada di dekat rumah kita.”
“Papa nyuri?” celetuknya tanpa berpikir panjang. Lalu dirinya mengambil tas coklat kertas yang Roy maksud. “Eh kok ada tulisannya Karin ya di tas nya.”
“Ngawur aja. Mungkin buat kamu dari Rangga. Terus siapa lagi coba.”
Cardigan berwarna tosca yang menjadi warna kesukaan Karin, kemudian ia kenakan. “Iya kali Pa, nanti biar Karin tanya.”
“Nanti jangan lupa bilang makasih sama Rangga.”
“Siap.” Tak lupa mengecup pipi Roy dengan suara yang cukup keras.
Xxxxxxxxxx
Ketika bel istirahat pertama berdering, seperti biasa Karin, Tari dan Poppy duduk dekat dengan wastafel. Semalam Karin kembali bercerita panjang lebar dimulai dari ia mengerjai Reivan untuk menaiki sepeda tandem barunya kemudian bermain gasing dadakan bersama anak-anak dekat sekolahnya dahulu hingga membelikan kacang rebus untuk semuanya karena kekalahan mereka berdua. Berbeda dengan sebelumnya yang hanya bercerita sekilas tentang pertama kalinya Reivan datang ke rumah Karin. Dimana isi chat group mereka bertiga didominasi kegembiraan Karin yang tak bisa dibendung. Pagi ini Karin ingin menceritakan bagaimana keseruan saat bersama Reivan yang menjadi permintaan Poppy, tetapi tidak untuk Tari yang sangat terlihat jelas tidak tertarik.
“Reivan tapi marah enggak sih Rin?” tanya Poppy dengan jajanan favoritnya, batagor Bu Siti.
“Awalnya sih, tapi lama kelamaan enggak kok.”
“Lo seseneng itu bisa mengerjai Reivan?” sambung Tari sedikit malas kemudian mengambil pesanannya di stand kantin belakangnya .
“Iyalah, gantian kali ini gue kerjain dia hahaha.” Karin seolah tertawa sendiri mengingat kejadiaan saat itu sambil menyeruput es teh.
Timpal Tari. “Rin gue mau tanya sama lo penting?” Tari datang dengan wajah seriusnya. Ditangannya ada 2 es jeruk, dan salah satunya adalah pesanan Poppy.
“Nih Pop, lo bisanya makan doang,” bentak Tari menyodorkan minuman Poppy secara kasar.
“Santai dong.”
“Sebenernya lo masih suka enggak sih sama Reivan.”
Tari yang ingin menginterogasi. Pertanyaan simple tapi langsung menuju point-nya. Dia tak ingin temannya berlarut-larut memikirkan orang yang tak pasti. Sedangkan sekarang ada sesorang yang mengisi kekosongan hati Karin, yang sudah sejak lama kosong karena lama menunggu.
Tak ada jawaban yang terdengar dari mulut Karin. Tatapannya kosong tanpa memperhatikan kedua sahabatnya itu. Pikirannya teringat tentang ucapan Reivan saat di atas saat panjat tebing. Ia merasa ada hal yang ganjal.
“Hmmmm….”
“Mungkin gue enggak bisa ngerasain perasaan cinta mendalam lo selama ini, tapi gue harap perasaan itu bukan perasaan ilusi yang lo buat sendiri.” Tari mencoba mengingatkan temannya. Dia tahu kini Karin bimbang dengan perasaannya. Tatapannya kini serius. Bukan Tari yang biasanya selengekan.
Poppy terlihat khawatir dengan keadaan Karin dan memegang pundaknya. “ Rin are u okay?”
“Hati lo cuman ada satu dan perasaaan lo hanya untuk satu orang . Ketika lo tetep membuat dua perasaan berlabuh dihati lo, hati lo bakal sakit. Bukan hanya hati lo yang sakit, tapi mereka bahkan ngeresain lebih.” Tari sambil menunjuk hati Karin. Ucapannya membuat Karin tersentak dan teringat janjinya dengan Rangga.
Brrrrraaaaakkkkkkkk……. Semua mata tertuju kearah meja mereka bertiga, Karin saat itu menggeprakkan meja kantin, ia sontak saja keluar tanpa memperdulikan kedua sahabatnya. Tari dan Poppy hanya saling memandang tanpa ada jawaban yang keluar dari Karin.
“Woy, santai dong. Ini kantin bukan punya lo doang,” bentak salah satu anak yang kurang nyaman karena gebrakan Karin saat itu.
“Santai aja dong, kayak lo enggak pernah punya masalah aja.” Tari tak terima Karin diperlakukan seperti itu, dia memicingkan matanya seperti tanda permusuhan.
Poppy mengelus bahu Tari yang hampir mencaplok. “Udah Tar, enggak usah diladeni.” Telunjuknya menyentuh bibir kepada anak tadi agar memaafkan Tari.
“Kenapa tuh anak?” ucap Tari yang masih kesal dengan kejadian tadi.
“Entahlah.” Bahunya dan kedua tangannya sama-sama diangkat.
Xxxxxxxxxx
Sesuai dengan janji dirinya dengan Rangga, saat istirahat kedua Karin menghampiri Rangga di kelasnya. Karin menunggu di bangku dekat bibir pintu kelas sambil membawa cardigan tosca yang tadi pagi ia peroleh. Cardigan yang tidak terlalu tebal dan tipis, tetapi bulunya sangat halus membuat Karin sering mengelus bulu lembutnya. Pikirannya kembali ke saat Tari mengatakan tentang perasaan dirinya dengan Reivan. Baginya apa yang diucapkan Tari ada benarnya juga, tapi kini bukan seperti itu perasaannya dengan Reivan. Jika memang dahulu dirinya sangat berharap Reivan kembali dengan perasaan yang telah tertimbun lama. Namun saat ini hal itu sangatlah mustahil, Karin harus menganggap Reivan seperti mereka saat kecil, yaitu seorang Kakak. Kakak yang pergi jauh dan baru saja kembali.
“Rin, enggak nunggu lama kan? Tadi masih ada urusan sama wali kelas.” Rangga kemudian duduk di sebelah Karin.
“Enggak kok, nih dari Mama.” Bekal tadi pagi lantas Karin berikan.
“Makasih. Kamu masih mau?” Rangga membagi dua roti dan menawarkan ke Karin.
“Iya boleh,” Setelah menggigit roti, Karin teringat dengan cardigan tosca. “Makasih ya Ngga.”
“Buat?”
Dreeet….dreeettt..
“Cardigan tosca yang tadi pagi kamu kasih.”
Dreeettt….dreeett…
“Eh iya Rin enggak masalah. Bentar aku ke ruang Osis ya. Ada panggilan.” Rangga berdiri sambil memasukkan semua roti dalam satu gigitan.
“Iya deh, aku juga balik ke kelas lagi.”
“Nanti kamu bisa ikut aku kan?”
“Kemana?”
Xxxxxxxxxx
Salah satu tempat paling indah yang menjadi daya tarik dari sekolah itu adalah taman bunga yang bersebelahan dengan kantin. Pohon rumput yang berbentuk kotak selalu tertata rapi, sedikit pun tak terlihat daun yang menjuntai lebih panjang. Rumput jepang menjadi alas taman dan bunga krisan berbagai warna di beberapa spot menjadi pemandangan yang paling dinantikan ketika rehat saat pelajaran usai.
Reivan duduk sedikit menjauh dari keramaian kantin. Sebuah buku rumus-rumus matematika menjadi temannya saat menikmati istirahatnya.
“Heh, di kantin tuh liatin cewek-cewek makan kek atau liat bunga-bunga tuh di depan. Jangan cewe aja yang lo anggurin, kasian bunga enggak pernah dipandang.” keluh Tomi membawa dua buah mangkok bakso dan lontong.
“Inget lo sekarang kelas dua belas, emang udah inget rumus cos sin tangen?” sambung Reivan mengambil bakso miliknya.
“Ntar juga inget sendiri. Eh pas gue ngantri, Karin upload foto terbaru. Wajahnya masih sama saja kayak waktu SD.”
“Lo follow akun instagramnya Karin?”
“Iya, gue liat di following lo. Nih captionnya tentang cardigan baru. Kayaknya baru dapet dari seseoarang.”
“Oh.” jawab Reivan singkat sambil melumat bakso pertamanya.
“Gitu doang? Gue tanya katanya kemaren lo diajak Karin keluar. Terus gimana kelanjutannya.” Tomi yang sedikit gemas lalu membalikkan tubuhnya berhadapan dengan Reivan
“Pulang.” Kembali jawab singkat menikmati bakso keduanya tanpa memperhatian Tomi.
“Kampret lo, enggak nanya akhir yang itu gue. Maksud gue apa dia kelihatan lupa sama lo atau memperlihatkan sesuatu yang aneh gitu? Biasanya kan kalo orang udah lama ketemu pasti canggung tuh. Tapi kalo dilihat dari cerita lo waktu lo ngajak wall climbing sama pas kemaren, dia sama kayak dulu. Karin bukan orang yang menghindar sok jaim deh.” terang Tomi dengan gaya analisisnya.
“Ya waktu pertama kali ketemu awalnya canggung. Tapi memang, sifatnya masih sama kayak dulu, suka cari rebut sama Mamanya. Dia juga enggak pernah jaga image kok. Cuman-?” ucapnya terputus.
“Apa? Kan kesempatan lo kan buat menyatakan cinta sama Karin. Berarti dia enggak pernah lupa sama lo, Itu kan yang lo takutin selama ini.”
“Gue masih takut.”
“Takut kok sama cinta, takut sama Tuhan kata Pak ustad.”
“Lebih baik seperti ini aja, daripada kehilangan sahabat karena cinta.”
“Berapa banyak kasus emang yang dari sahabat yang berujung jadi cinta.” tanya Tomi kembali ke posisi semula sambil menusuk bakso pertamanya.
“Banyak.”