Dia Datang,.,

Dinda Puspitasari
Chapter #8

Rahasia yang Terkuak

Udara yang masih bersih belum terkena polusi udara dari kendaraan bermotor maupun polusi suara dari klakson yang berbenturan. Matahari belum lama bertengger dan pedagang kaki lima masih mempersiapkan dagangannya, namun Karin di sabtu pagi ini sudah duduk di kursi penumpang taksi dengan menggenggam maps di hpnya. Taksi itu berjalan menuruti arah perintah Karin. Celana legging hitam selutut, baju sport berlengan pendek warna merah jambu, sepatu kets sudah melekat ditubuhnya beserta sebuah tas jinjing dan tak lupa rambut panjangnya terkuncir kuda.

Akhirnya ujung dari maps itu berhenti di sebuah tempat yang dimana tempat itu terasa cukup asing bagi Karin karena ia yan tak pernah melewati daerah itu. Terlihat papan tua dari besi bertulisan “Doni’s Sport” yang berbanding terbalik dengan tanaman-tanaman hijau nan asli di depan tempat itu. Semula Karin menoleh ke kanan dan kiri memastikan bahwa tempat itu memang tempat yang ia tuju. Kemudian Karin membuka perlahan pintu kayu yang terasa berat karena engsel berkarat. Sebuah lorong yang tak terlalu panjang, tanpa berpikir panjang Karin berjalan meskipun lampu lorong itu cukup redup. Hingga akhirnya Karin meletakkan tas jinjingnya di sebuah meja dan ternyata mengejutkan penghuni tempat itu.

“Karin?” lontar Reivan yang duduk di pinggir ring.

Tomi yang terkejut dengan kalimat Reivan sengaja menoleh saat membuka gorden tempat latihannya dengan Reivan. “Karin?” Kedua matanya menyernyit dan kemudian beralih menatap Reivan.

“Kok kaget semua sih gue disini.”ucap Karin sambil membenarkan kuncir rambutnya.

“Kok lo tau tempat ini?”tanya kembali Reivan masih tidak percaya.

“Tanya nyokap lo. Rencananya tadi ke rumah lo buat jogging bareng. Tapi ternyata lo disini.”

“Sendirian?” sambung Tomi yang penasaran juga.

“Iyalah, terus sama siapa lagi. Lo Tomi kan, yang dulu sahabatnya Reivan waktu SD. Kita juga pernah sekelas juga kan?” Karin mendekat ke arah Tomi memastikan.

“Iya, kan gue udah nge follow instagarm lo. Lupa ya.”

“Hehehe iya. Ini dulu tempat gym?” Karin menyebar pandangannya ke seluruh ruang.

“Bukan, dulu tempat kursus muay thai Kakak gue. Cuman Kakak gue sekarang kuliah di Kalimantan jadinya nganggur. Makanya gue sama Reivan yang sekarang make.”terang Tomi sambil memeberikan air mineral botol di lemari pendingin.

“Oh gitu, gue kira salah tempat. Kayak tempat enggak kepake gitu. Eh Van bukannya lo katanya juga altlet muay thai kan di Auckland.”

“Iya. Lo mau gue temenin jogging Rin?”

“Pantesan lo betah aja dari dulu sama Tomi. Enggak usah, ajarin gue muay thai aja deh. Tapi yang basic ya. Anggep aja gue pemula.” Karin membuka tutup botol air mineral dan duduk di sebelah Reivan.

“Lengket kayak magnet Reivan sama gue. Waktu gue liburan ke Auckland kapan tahun enggak sengaja ketemu. Terus Reivan juga pernah nyamperin gue di Jakarta.” Pamer Tomi dengan senyum yang sedikit menungging.

Mendengar cerita Tomi dimana Reivan begitu perhatian dengan sahabat satunya ini membuat Karin tanpa sadar berdiri dan saling berhadapan dengan Reivan dengan wajah yang kecewa. “Kok lo gitu sih Van sama gue. Padahal kan gue juga kangen sama lo. Kalo sama Tomi sampe ketemu dua kali.” Kedua tangannya bersedekap.

Reivan yang cukup terkejut menatap lekat kedua mata Karin, seolah semua harapan yang ditakutinya dahulu memang sia-sia. Sebenarnya masih ada harapan terus menyimpan perasaan ini tanpa perlu disembunyikan. Sedetik kemudian Reivan tersadar kalimat itu hanyalah sebuah basi-basi. Layaknya teman dekat yang tak lama bertemu. Nafas yang sebelumnya berhenti lalu Reivan hembuskan dengan perlahan membuang angan-angan semu.

Tomi yang dapat melihat ekspresi sahabatnya itu dapat menerka isi hati yang sesungguhnya. Perasaan yang dipendamnya selama ini ukanlah hal yang sia-sia, masih ada harapan bagaimana Karin merespons, bagaimana Karin bersikap. Tapi memang semua itu pilihan Reivan.

“Hei Van, kok lo ngelamun.” Karin mengayunkan tangannya di depan mata Reivan.

“Sekarang?”

“Iyalah.”

“Udah minumnya?”

“Udahh, ayoo.” Pekiknya dengan gaya lari di tempat.

Latihan pertama dimulai sit up antara Reivan dan Karin. Karin menekuk lengannya di bawah kepala sedangkan Reivan menahan kaki bawah. Karena sudah lama tidak pemanasan yang cukup berat, hitungan ke enam membuat Karin berhenti. Tubuhnya direbahkan dengan kedua tangannya terlentang dengan kakinya masih saja Reivan tahan. Bukannya Karin kembali melanjutkan, ia masih merebahkan dengan malas sambil menatap langit-langit kosong.

“Hei, katanya mau pemanasan. Ayoo.” keluh Reivan mencubit kecil betis Karin. Meskipun cubitan itu kecil, tapi terasa sangat sakit daripada cubitan besar.

“Aoucccchhft.” erang Karin menegakkan tubuhnya sambil mengelus-elus betis yang baru saja dicubit.

“Ini masih belum apa-apa. Kalo panjat tebing aja kayak kegirangan banget kayak monyet mau ngambil pisang.”

“Ehhhh enak aja ngledekin gue.”

Kemudian dengan senyum liciknya, Karin sedikit mendekatkan tubuhnya ke kedua kaki yang Reivan tahan. Berhenti sejenak kemudian memperlihatnya tawa yang sedikit menakutkan. Lalu meraba betis Reivan juga yang semula dia ramal akan membalas dendam dengan mecubit kecil. Namun salah, ternyata Karin menerik beberapa rambut halus di kaki Reivan dan tanpa merasa bersalah melanjutkan kembali pemanasannya.

“Hsseeettt…Rinnnnn.” erang Reivan mengelus-elus bagian rambut betis yang Karin cabut dengan mengigit bibirnya.

“Kenapa rebut mulu sihh?” sahut Tomi menghentikan skipping rope.

Temen kebanggan lo tuh iseng.” celetuk Karin.

“Eh salah gue apaan.” Merasa namanya disangkut pautkan membuat Reivan matanya membelalak.

“Lupa habis nyubit gue tadi.” Karin mempraktekkan mencubit betisnya sendiri seolah mengadu pada Tomi.

“Lo juga kan nyabut rambut di betis gue.”

“Lo berdua tuh kayak Tom and Jerry ya, tadi katanya kalo enggak ketemu kangen. Tapi kalo udah ketemu ampun deh.”

“Tau tuh, temen lo kayak Tom usil melulu kerjaanya dari dulu.” sahut Karin tetap melanjutkan sit up namun dengan bibir ditekuk.

“Kalo gitu lo Jerry dong?” tanya Tomi.

“Iya.”

“Gue?” tanya Tomi kembali.

“Spike.” jawab serentak Karin dan Reivan dengan wajah datar.

“Anjing wajah bergelambir itu?” menyakinkan pemikirannya sambil mempraktekkan menurunkan kedua pipinya.

That’s right.” jawab dengan mantab Karin.

Handuk kecil yang Tomi kalungkan kemudian dia lempar begitu saja ke arah Reivan. Tangan kiri yang tanpa sengaja mengenai handuk basah keringat Tomi langsung dia lemparkan ke depan. Tak bermaksud melempar ke wajah Karin, naas handuk itu terbuka lebar menyentuh wajah Karin saat akan mengangkat tubuhnya. Lantas saja Karin melempar kembali ke Reivan dengan wajah merah menyala. Pemilik handuk itu tertawa terbahak-bahak melihat kejadian di depannya. Hingga Tomi juga menerima handu k milikinya tepat menyentuh wajahnya. Karin hanya bisa tertawa tertawa hingga keringatnya menyentuh pelipis. Reivan menatap lembut tanpa diketahui.

Xxxxxxxxxx

Intensnya pertemuan Karin dan Reivan tak pelak membuat hubungan mereka semakin dekat. Tak ada rasa canggung yang tergambar diantara mereka. Meskipun Reivan tahu Karin saat ini telah mempunyai pacar, dia tetap ingin membuat Karin bahagia disisinya. Namun, semua itu tak bisa dibohongi. Masih ada perasaan yang tidak mungkin bisa dihapuskan begitu saja. Senyuman itu, senyuman yang akan menggagalkan perasaan untuk mulai berhenti.

“Rin gue boleh tanya enggak?” Reivan yang saat itu mengajak Karin makan ketoprak di daerah tempat latihannya. Nadanya bicaranya terdengar cukup serius.

“Nyammmm….nyammm boleh tanya aja krrriukkk..kriukkkkk.”

“Ehmmm kemaren yang telpon lo pas di kamar gue itu siapa? temen lo apa pacar lo Rin?” Reivan ingin menanyakan langsung kebenarannya kepada Karin, namun dia takut akan menyinggung perasaannya.

“Oh itu temen gue Van nyaaaaammmm…..” pikirannya kini hanya ada satu titik, ketoprak.

“Ya udah lo lanjutin makanmu dulu, habis itu kita pualng.”

 Karin terlihat sangat kelaparan menghabiskan makanannya dalam waktu lebih dahulu dari Reivan. Terdengar suara nyaring dari mulut Karin “Haaaaaikkkkkkkkkk” yang membuat mereka berdua tertawa bersama tanpa rasa canggung maupun malu dari Karin. Seketika petir bergemuruh dan hujan yang sangat deras menghalangi kepulangan mereka.

Reivan saat itu tiba-tiba menjauh dan berjalan menuju pusat hujan, tangan-tanganya terus melambai kearah Karin dan terus mengajak mengikuti dirinya. Kali ini bukan Reivan seperti biasanya yang selalu malu untuk melakukan sesuatu, dimana Reivan merasa saat ini hanya ada dirinya dan Karin. Karin terus menolak ajakan Reivan dan melepaskan tarikan tangan Reivan.

Karin terus berteriak. “Van malu dilihatin orang, sini Van.”

Melihat sekeliling orang yang mengamati mereka berdua, seperti anak SD yang sukanya bermain hujan, kakinya terus menendang air yang menggenang. Reivan tidak memperdulikan mereka semua dan terus melambaikan tangannya sambil berdansa . Tidak tahan akan ajakan Reivan, Karin meletakkan hpnya dan mengikuti langkah Reivan dan berdansa bersama bersama hujan dan disaksikan pohon-pohon yang menari.

Mereka menikmati suara rintikan hujan yang terus berjatuhan membasahi seluruh jalanan. Air membasahi tangan mereka, saling mereka hempaskan satu sama lain. Uluran tangan Reivan seakan mengajak Karin berdasansa layaknya dansa Cinderella. Karin menerima uluran tangan Reivan disambut senyum kecil. Seolah sudah dibawah alam sadar, Reivan meletakkan tangannya tepat di pinggang kecil Karin dan kemudian tangan Karin berada di bahu Reivan. Dulu Karin merasa teman kecilnya memiliki tinggi badan yang sama dengan dirinya. Namun kini Karin hanya bisa mendongak saat menatap mata Reivan. Iris mata mereka berdua saling bertatapan. Tatapan yang kini bukan lagi tatapan iseng Reivan dan tatapan kesal Karin. Tatapan sesosok wanita dan laki-laki menatap dengan sangat lekat. Siluet mereka tergambarkan di iris mata mereka.

“Kamu inget dulu, kamu ngerengek ke aku pengen niruin dansanya Cinderella. Terus aku enggak mau, itu memalukan bagi seorang cowok. Sekarang aku bisa dansa Cinderella. Cita-citamu tercapai kan?” seolah mengikuti suasana, tak ada kata “Lo gue” dalam ucapan Reivan.

Saat ini bagi Reivan mungkin tak bisa bersama lagi dengan Karin, karena ketika dia terus berharap hatinya semakin sakit untuk menerima kenyataan. Namun hanya ini yang bisa dilakukan. Membuat bahagia Karin tanpa dia perlu sadari.

“Itu dulu Van, sekarang enggak lagi. Lebih seru kembali ke masa kecil?”

“Kembali kemasa kecil?” Terbentuk guratan tipis di dahi Reivan.

Lihat selengkapnya