Dia Datang,.,

Dinda Puspitasari
Chapter #9

Tak Perlu Dia Sadari

Udara dingin menusuk kulit. Hanya seberkas cahaya yang menyinari sudut jalan yang berkelok. Sepi sunyi tak ada satupun orang yang berada. Gelap yang terlihat telah menyeluruh. Samar-samar seorang lelaki menyusuri jalanan yang penuh dengan rumput liar. Suara jangkrik yang menemaninya. Nisan-nisan yang tak dikenal dia lewati. Mengingat beberapa tahun silam dia pernah ke tempat ini. Mencari sebuah nisan yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Batu nisan yang dingin menemani tidur lamanya selama ini. Tetes air mata jatuh perlahan membasahi pelupuknya. Meskipun sekuat tenaga lelaki itu tahan, tetapi tak kuasa air matanya terurai. Tangan lembutnya mengusap nama si pemilik nisan.

“Apa maksud semua ini.”

“Semua ini terjadi atas kesalahanku.”

“Kenapa karma ini yang digariskan padaku.”

Semua tanda tanya terus tertulis dipikiran Reivan. Dirinya masih tak percaya dengan semua kejadian yang menimpanya. Pikirannya masih belum bisa menetralisir. Ingatannya mencoba menelusur 3 tahun silam.

Xxxxxxxxxx

“Van kayaknya lo harus balik ke Auckland, kita tenangin dulu pikiran kita masing-masing.”Tomi dengan wajahnya yang begitu lesu. Setelah pemakaman Andien, Reivan bersandar pada tiang basket di lapangan rumah Tomi. Pakaiannya masih menggunakan serba hitam.

“Lo lihat enggak. Mama Papanya nangis histeris menatap makam anaknya. Semua itu salah gue Tom, salah gue.” Rasa bersalahnya terus memuncak. Keringat dingin membasahi seluruh pelipisnya. Tangan dinginnya masih terasa semenjak kejadian kecelakaan Andien.

“Bukan salah lo Van. Kita semua enggak salah. Tenangin diri lo. Lo inget kan, semua saksi mata bilang anak kecil itu sudah jatuh di jalanan sebelum kita menabrak.” Tomi tetap meyakinkan Reivan untuk tidak menyalahkan dirinya. Beberapa urat nadi dikepalanya menonjol saat Reivan tetap saja menyalahkan dirinya sebagai penyebab kecelakaan.

“Kalo bukan karena gue yang ngejatohin hp Kak Doni. Kejadian ini enggak bakal terjadi. Lo lihat sendiri kan, Kakak anak kecil itu dari tadi pandangannya sinis ke Kakak lo, lo dan gue. Dia masih nyimpan dendam ke kita Tom.”Telunjuknya terus menunjuk tepat dimata Tomi.

“Gue capek ngomong sama lo Van. Gue enggak mau masalah ini ngebuat persahabatan kita putus. Lebih baik lo kembali aja ke Auckland dan tenangin pikiran kita,” Tomi beranjak dari sandaran tiang berdiri dan kemudian menjauh meninggalkan Reivan sendirian. Tomi tahu dia tidak tega meninggalkan Reivan sendirian. Sorot wajahnya terlihat sangat kacau, masih tidak bisa menerima kenyataan. Beberapa langkah, Tomi membalikkan badannya.“Gue sudah cerita masalah ini ke nyokap bokap lo, mereka nerima ini semua. Mereka setuju ngembaliin lo ke Auckland. Sepuluh menit lagi mereka dateng ngejemput lo,” perkataannya terhenti sejenak. “Lo enggak salah Van, itu semua sudah menjadi takdir kehendak-Nya,” Dia melanjutkan kembali menuju rumahnya.

Xxxxxxxxxx

“Hai adik kecil, maaf aku baru bisa menjengukmu.” Terdengar lirih ucapannya.

“Hari ini kami bertiga bertemu kembali. Mungkin ini semua menjadi karma, dan Karin yang menjadi perantara kita bertiga bertemu. Namun Karin sekarang menjadi pacar Kakakmu.”

“Aku ikhlas kalo memang ini jalannya. Aku akan ikhlas jika memang Karin lebih memilih Rangga. Namun aku tidak akan melepasnya begitu saja, aku akan membahagiakannya tanpa perlu dia sadari.

Nafas panjangnya mengakhiri perbincangannya. Reivan meninggalkan area pemakaman. Batu nisannya kembali dingin. Dinginnya batu nisan bersama dengan merelakannya Karin.

Xxxxxxxxxx

Tuttt.....tuuttt.....tttuuuttttt......

Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau di luar jangkauan

“Kok Reivan enggak bisa dihubungi sih.” jemarinya terus berkutat pada tombol-tombol di hpnya. Hatinya semakin gusar, dalam benaknya,“Reivan enggak pernah matiin hp selama ini.”

Dilihatnya kembali buket bunga dari Rangga hari ini. Buket bunga diletakkannya bersebelahan dengan boneka unicorn dan buku diary. Dua buah hadiah dari seseorang yang terus memasuki hati Karin saat ini. Dua orang pria yang sedang singgah di hatinya. Dan dua seorang pria yang tak ingin ia lukai hatinya, meskipun suatu saat akan ada hati yang terluka, dan dirinya juga akan ikut terluka. Buku diarynya yang menjadi penengah dan menjadi rangkaian tulisan dari dua orang pria itu.

Karin membuka sebuah kotak tosca dengan motif polkadot berukuran 12x12x8 cm di dalam laci belajarnya. Masih tersimpan sangat rapi surat yang belum ia ketahui siapa pengirimnya. Ia mencoba menelusur siapa teka-teki dibalik surat pengirim “R” itu. Kali ini ia masih belum bisa memecahkan teka-teki yang diberikan pengirim itu.

Boneka unicorn yang diberikan Reivan, meskipun secara tidak langsung diberikan kepada Karin. Ia rengkuh dan hirup aromanya. Ada sedikit aroma wangi Reivan di boneka itu. Tubuhnya ia hempaskan ke tempat tidur. Pikirannya saat ini sungguh lelah, tak sekalipun jawaban atau balasan sms dari Reivan. Matanya perlahan terlelap menyudahi pikirannya. Unicornnya masih tetap dipelukan Karin.

Xxxxxxxxxx

“Eh lo jadi enggak ngirimin surat buat Reivan?” tanya seorang cewek itu kepada temannya di bangku dekat kelas Reivan.

“Jadi, cuman kenapa Reivan kok enggak keluar kelas,” Matanya mengecek jam tangan ditangan dan melirik kearah Reivan yang masih dikelas dengan Tomi. Kakinya terus berdentam khawatir rencananya tak sesuai. “Biasanya Reivan sama Tomi jam segini udah ke kantin.”

Kemudiann temannya mengecek keadaan. Melirik ke kanan dan ke kiri seperti sesuatu hal yang tak boleh ada yang tahu. Badannya dia condongkan ke arah telinga cewek disebelahnya, mulutnya berbisik. “Jangan sampe Luna tahu, kalo dia tahu rencana lo bisa gatot.” Tubuhnya kembali ke posisi semula.

Ternyata ada beberapa pasang mata yang melihat gerak-gerik aneh dua cewek itu. Segumbulan cewek dengan popularitas tinggi yang tak ingin disaingi. Matanya terus menerka apa yang akan dilakukan kedua cewek itu selanjutnya.

“Eh....eh Reivan sama Tomi udah keluar. Lo sekarang cepet masukin suratnya ke tas Reivan. Sebelum ada orang yang tahu.” Masih tetap menjaga keadaan sekitar. Indah, cewek yang akan memberikan surat cinta kepada Reivan.

Tetapi langkahnya terhenti ketika memasuki bibir pintu kelas. Ada tangan kasar yang menarik tubuh Indah menjauh dan mengikuti langkahnya. Luna dan beberapa temannya menggiring Indah dan temannya menuju di bawah tangga yang jarang terjamah dari siswa-siswi lainnya. Pupil matanya membesar menatap wanita lemah yang tak berkutik dihadapannya. Tangannya masih tetap menggenggam kasar. Surat cinta yang akan diberikan Reivan berubah menjadi sebuah surat kotor dengan bekas injakan sepatu.

“Lo tahu kan gue udah ngincer Reivan dari lama. Maksud lo ngirim surat cinta itu apa? biar Reivan baca terus dia suka sama kamu. Mimpi!!!!!” kata-kata yang keluar dari mulut Luna begitu kasar. Berbeda sekali dengan tampilan luar dirinya yang begitu cantik dan memesona.

“Lllllo kkkaaan bbbelum ppunnnya hubungggan sama Reivaaan...” Indah yang takut akan ancaman Luna, matanya mulai berakaca-kaca. Tak sanggup lagi melanjutkan perkataannya, karena teman-teman Luna tatapannya sangat menusuk.

Bodohnya, Reivan dan Tomi keluar dari toilet cowok melihat perlakuan kasar Luna dan teman-temannya terhadap Indah. Reivan mendengar ucapan Luna yang dari tadi terus menghakimi Indah. Meskipun pikirannya masih runyam dengan kenyataan kemarin, Reivan tidak bisa tinggal diam. Karena semua ini menyangkut namanya.

“Gue bukan punya siapa-siapa.” Suara lembut yang biasanya keluar, hari ini berbeda. Terdengar suara yang sangat dingin.

Tatapan Luna dan Indah terlihat tercekat saat mendengar ucapan Reivan. Tak pernah mereka mendengar Reivan yang dingin seperti itu. Tubuhnya seakan memaku tak percaya bahwa itu adalah Reivan. Satu kalimat yang membuat dua wanita yang merebutkan Reivan berfikir “Apakah ini Reivan yang sebenarnya?” Reivan pergi begitu saja meninggalkan segerombolan wanita yang masih berada di bawah tangga lantai 1. Tomi masih tetap berada disisi Reivan, meskipun tak ada kata yang terlontar sedikitpun setelah kejadian di restaurant kemarin. Tomi tak ingin memaksa apa yang dilakukan semalam hingga Reivan tak bisa dihubungi.

“Gue kemaren ke makam anak kecil itu.” Satu kalimat yang terontar dari Reivan yang membuat Tomi lega. “Akhirnya lo ngomong” dalam benaknya, “Tapi kenapa ke makam anak itu” tanda tanya menyelimuti Tomi.

“Gue rela kalo itu yang menjadi pilihan Karin. Tapi gue enggak mau ngebiarin cowok itu kalo Karin terluka. Gue enggak akan tinggal diam meskipun dia ngungkit masa lalu.” Tak ada jeda yang membuat Tomi mengutarakan keingin tahuannya. Namun bagi Tomi, itu sudah bisa menjadi keputusan terbaik.

“Merelakan untuk kebahagian, walau dia tak akan bisa berada disisi tuk dilindungi.” Kata-kata itu tiba-tiba saja terlontar dari mulut Tomi. Reivan yang sadar ucapan yang baru saja diucapakan Tomi membuatnya terkesima.

“Enggak biasanya loh ngomong kayak gitu, gue jadi merinding.” Tubuh Reivan bergidik seolah ucapan Tomi tadi adalah pantang. Tampang dingin Reivan meleleh setelah mendengar Tomi.

“Gila lo, gue ngomong bener malah lo jijik. Ucapan sesuai keadaan adalah filosofi gue,” Tangan Tomi menepuk-nepukkan dadanya seperti ini adalah ucapan serius pertamanya. “Ini namanya baru sahabat gue, pantang menyerah.” Tangannya kembali menemepukkan bahu Reivan.

Ada getaran hp saat mereka berdua asik bergurau. Reivan yang melihat sekilas layar hp melihat siapa yang menelpon langsung acuh tak melihat. Tetapi Tomi penasaran siapa penelpon itu menarik dan melihat missed call tersebut.

Karin.

Tomi membuka hp Reivan dan dilihatnya, 20 missed call, 10 LINE, dan 10 sms. Keingin tahuannya membuat Tomi akan menekan aplikasi LINE dan membacanya segera. Namun, jari Tomi terhalang dengan gerakan cepat Reivan.

“Jangan buka, gue masih mau menetralisir pikiran gue.”

“Lo kenapa sih ngediemin Karin. Dia enggak salah apa-apa.”

“Biarlah waktu yang berbicara.”

Xxxxxxxxxx

“Hei.”

Reaksi tubuhnya sama sekali tidak terkejut maupun panik, sudah biasanya dia mendapatkan perilaku seperti itu.“Sial lo.”

Rangga kembali melihat pemandangan diseberang sana. Pupilnya mengikuti sesosok wanita yang sedari tadi telah memenuhi pikirannya. Tak ada sosok siapapun yang ada di matanya, kecuali Karin.

“Lo enggak bosen liatin Karin dari sini terus, samperin kek sana.”Astha mengayunkan dagunya ke arah wanita yang menjadi pokok pembicaraannya.

Lihat selengkapnya