Pagi ini hujan turun sangat lebat. Suara genteng yang berbenturan dengan air yang jatuh menghiasi sebagian suara di kelas. Beberapa kucing meringkuk bersama di dekat tong sampah depan kelas. Seakan mengikuti suasana pagi ini, semua penghuni XI IPS 4 hanya berdiam diri. Tak ada gurauan yang selalu menghiasi kelas ini.
Seperti terbius degan keheningan mereka, Karin datang dan lalu duduk terdiam. Tak ada suara sedikitpun yang keluar dari mulutnya. Kemudian Tari datang dengan rambut yang sebagian basah. Kemeja putih bersih ternoda karena tetesan air genteng saat menerjang gerbang sekolah hingga ruang kelasnya. Dilihatnya Karin duduk termenung sendirian. Saat ini Poppy belum datang. Jam putih sportynya menunjukkan 06.45. Masih ada 15 menit lagi sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Tari berjalan menuju bangkunya yang tepat di belakang bangku Karin. Tak ada sapaan “Hai” atau sekedar basa-basi “Eh ujannya deres banget” diantara mereka berdua. Tari hanya menatap punggung Karin, mulutnya perlahan terbuka. Namun tak sampai membuka suaranya, Tari kembali mengatupkan kedua rahangnya. Seperti ada sesuatu hal yang ingin dia bicarakan.
Saat mata Tari melihat ke sisi bibir pintu kelas, ada seseorang yang sejak tadi dinantinya. Tak dilihatnya tubuh wanita itu lebih basah daripada dirinya. Tari hanya melihat kedua pergelangan tangan wanita itu. Tidak seperti biasanya, kali ini tatapan matanya benar-benar sinis. Wanita itu menatap Tari dan kemudian tersenyum kecil. Melihat itu, Tari acuh dan membuka layar hpnya tanpa membalas senyuman wanita itu.
[Gue mau ngomong sama lo, pulang sekolah . PENTING!]
Tepat lima menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai, hp wanita itu bergetar. Dilihatnya, ada satu LINE dari Tari.
Menurutnya, sms kali ini terlihat aneh. Karena dia duduk tepat di depan Tari. Bisa saja Tari menghampiri bangkunya dan berkata seperti itu.
Jam pelajaran kedua selesai, semua murid membaur ke seluruh penjuru kelas. Seperti biasa, Karin, Tari dan Poppy menuju kantin. Meskipun sejak tadi pagi Karin masih diam, kali ini dia mulai membuka suaranya.
“Lo tadi naek apa Pop, badan lo tadi basah semua.”
“Gue tadi naek taksi, terus gue lupa bawa payung.” Kedua bola mata Poppy melirik ke arah Tari yang semenjak tadi pagi masih tidak bersuara. Biasanya Tari paling cerewet jika hujan saat sekolah. “Hujan-hujan gini makan pangsitnya Pak Raden makin enak.” Masih teringat ucapan yang sering kali Tari lontarkan saat hujan. Raut wajahnya nampak sangat kesal. Poppy kemudian teringat dengan sms Tari tadi pagi.
Hari ini termasuk hari yang berat bagi kelas XI IPS 4, karena semua mata pelajarannya adalah mencatat. Wajah semua penghuni terlihat sangat lesu, termasuk Karin, Tari dan Poppy. Melihat Karin yang pulang lebih dulu, lalu Tari menarik kasar lengan sahabatnya itu menuju bangku paling pojok. Tari melihat sekeliling kelas, hanya ada dia dan Poppy.
“Maksud lo apa pegangan tangan sama Reivan tadi malem.” Suara Tari langsung meninggi, membuat Poppy yag di depannya sangat terkejut.
Poppy masih shock mendengar suara Tari yang sangat tinggi. Ini pertama kali dia mendengar Tari sangat kasar terhadapnya. Tak ada jawaban yang terdengar dari mulut Poppy, masih tak mengerti apa Yang Tari maksud. Beberapa detik kemudian Poppy tersadar arah pertanyaan Tari.
“Gue cuman mau ngesupport Reivan.” Berbeda dengan Tari, Poppy berbicara dengan lembut. Tak ingin membuat sahabatnya menyulut api.
“Alah, bullshit lo. Gue tahu sekarang lo udah putus sama Anjar. Tapi bukan gini caranya.” Amarahnya semakin menjadi. Untuk pertama kalinya Poppy menatap sahabatnya itu dengan mata nyalang yang ditujukan padanya. Rambut yang terikat kasar semakin memperlihatkan emosi yang tidak stabil.
“Tar, dengerin gue ngomong dulu. Iya gue udah putus sama Anjar, tapi semalem yang lo liat itu salah.”
“Ngeles aja lo. Lo tahu sendiri kan betapa cintanya Karin sama Reivan. Lo tahu juga kan kalau Karin sebenarnya masih ada perasaan dengan Reivan meskipun dia selalu mengelak.”
“Gue tahu Tar, gue tahu.” Suara Poppy menjadi bergetar. Nampak tetesan air mengalir dari pelipis Poppy. Poppy tak menghiraukan keringat dingin yang mengucur di dahinya. Tak hanya kerongkongannya, tangannya ikut bergetar. Tangan yang sedingin es, Poppy mencoba menyentuh kedua pergelangan Tari. Tak sampai Poppy menggenggamnya, Tari menghempaskan kedua tangan Poppy.
“Kalo lo tahu, ngapain semalem lo sama Reivan pegangan tangan.”
“Gue mau bantu Reivan.”
“Ohhhh, gue ngerti sekarang. Lo mau bantu Reivan biar dia pacaran sama lo, dan Karin ngelupain Reivan gitu. Licik lo.”
Poppy tersadar sejak tadi pintu ruang kelasnya masih terbuka. Dan melihat ada seseorang yang baru datang melihat pertengkarannya dengan Tari. Setelah melihat sesosok orang itu, kedua pupil mata Poppy terbuka sangat lebar. Seakan masih tak percaya orang yang melihat pertikaian dengan sahabatnya sekarang. Air liur yang yang tak ingin dia telan meluncur begitu saja ke kerongkongannya. Orang itu masih berdiri tegak di bibir pintu kelas. Wajah pusat pasi terlihat sangat jelas meskipun jarak antara bangku paling pojok dan pintu kelas cukup jauh. Mungkin tak terlihat bagi Poppy, namun beberapa tetes air matanya terjun dari kedua mata orang itu.
“Rin…..” Terdengar nama panggilan yang setiap pagi, siang, malam menghiasi hidupnya beberapa tahun. Nama yang selalu menjadi salah satu kontak favoritnya. Nama yang selalu setia menjadi teman sebangkunya selama dua tahun. Nama yang selalu menjadi teman curhat dikala butuh untuk curhat. Nama yang selalu menjadi tempat dia menangis pertama kali saat selalu bertengkar dengan Anjar dan menjadi tamengnya. Namun, kini dirinya yang membuat tameng senantiasa selalu berada disisinya menjadi bersedih.
“Tenyata gini rasanya, dikecewakan sahabat.” Tari pergi dan menyusul Karin. Tidak sama sekali melihat bahwa sahabat di depannya juga sakit.
Setelah kepergian kedua sahabatnya, air mata yang sengaja dia tahan mengucur deras. Lebih deras daripada ketika kepergian Anjar yang hilang begitu saja. Tubuhnya yang lemas karena pertikaian besar dengan sahabatnya. Poppy bersandar pada sebuah bangku, suara isakannya semakin menjadi. Dia mencoba menahannya, namun suaranya semakin terdengar jelas. Jemarinya membuka galeri foto, terlihat 3 orang sahabat dengan poni lurus dan rambut sebahu. Jika dilihat dari belakang, mungkin orang mengira mereka anak kembar, karena postur tubuhnya dan gaya rambutnya sama persis. Mereka bertiga menggunakan seragam SMP dan yang ditengah membawa kentang goreng jumbo di sebuah taman hiburan. Telunjuknya mengusap foto anak yang membawa kentang goreng, dia tersenyum paling lebar. Poppy teringat bahwa anak itu mempunyai senyum paling indah, senyum yang membawa Poppy ingin sekali berteman dengan dia. Kedua anak disebelahnya yang menghabiskan makanan anak itu, sedangkan anak dengan senyum manis itu yang membelinya. Kedua anak itu anak adalah dirinya dan Tari, dan anak dengan senyum manis itu adalah Karin. Tiba-tiba Poppy tersenyum setelah mengingat kejadian di foto itu. Saat itu mereka bertiga pertama kalinya keluar bersama.
Sembari melihat beberapa foto kebersamaan mereka, layar hp Poppy berubah menjadi panggilan. Reivan saat itu memanggil, namun Poppy lebih memilih mengunci layar hpnya dan berdiri meraih tasnya tanpa menjawab panggilan Reivan.
Xxxxxxxxxx
Karin seorang diri duduk sendirian di ujung bibir kolam renang. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Matanya yang sembab menunjukkan kekecewaan berat terhadap dua orang yang menjadi orang terpenting dihidupnya.
Gerimis datang dan membasahi area kolam renang dan juga tubuh Karin. Namun, tubuhnya sama sekali tidak beranjak meskipun tahu bahwa seluruh tubuh Karin telah basah kuyup. Karin hanya duduk termenung merasakan air yang berjatuhan membasahi dirinya. Ia merasakan, suara air yang berjatuhan itu indah. Baru pertama kali ia merasakan lantunan melodi gerimis yang jatuh tidak beraturan. Matanya tertutup mencoba mendalami alunan suara yang terdengar di telinganya. Semakin ia merasakan suara gemercik air, pikirannya kembali mengulang saat dirinya dan Reivan bersama di tengah hujan. Karin masih merasakan tangan Reivan yang menyentuh pinggangnya berdansa dengan lantunan gemercik air. Pertama kalinya kedua iris Karin bertemu dan bertatap disaksikan hujan. Kenangan manis yang tidak bisa dia lupakan. Namun ingatannya kembali kepada ucapan Reivan kala itu, Karin masih belum bisa menemukan arti dari semua itu. Kemudian matanya terbuka mengingat pertengkaran Tari dan Poppy. Hanya sampai disini ia bisa merasakan kenangan manis dengan teman masa lalunya.
Ia melihat kolam yang tadinya begitu damai menjadi penuh gelombang. Kedua bola matanya melihat sebuah bayangan. Bayangan yang menyakitkan, namun bayangan itu akan pernah ia lupakan. Bayangan dimana Karin tidak pandai berenang saat itu. Karin berjalan ke arah yang salah, dimana ia berjalan menuju tempat yang semakin dalam. Poppy melihat Karin yang tenggalam, langsung terjun menolong Karin saat itu. Karin pun mengetahui bahwa Poppy sama seperti dirinya, tidak bisa berenang.
Wajahnya termenung, pikirannya seperti menerawang. Terdengar langkah kaki yang bergesekan dengan air yang menggenang. Karin mencari arah suara itu, dan ternyata berasal dari arah belakang. Karin menengok ke belakang, begitu terkejutnya Karin saat tahu siapa yang datang menghampiri dirinya. Seorang lelaki yang membawa jaket dan diletakkan di atas kepalanya . Wajahnya terlihat sangat khawatir melihat apa yang dilakukan Karin saat ini.
“Kamu ngapain disini, ayo pulang. Nanti kamu flu.”
“Rangga, kamu tahu darimana aku disini?”
“Aku tadi ngikutin kamu dari sekolah. Tadi aku ngeliat kamu lari dari kelas kamu. Padahal lantainya licin.” Rangga menarik tangan Karin dan langsung mendekapnya. Kini mereka berada di bawah satu jaket. Bersama.
Mereka berdua berjalan bersama menuju parkiran mobil. Tangan Rangga masih berada di bahu Karin yang tak ingin hujan semakin membasahi mereka. Rangga tak sadar, sejak tadi Karin menatap kedua bola matanya. Ini kali pertamanya Karin menatap seperti itu. Kedua tangannya tiba-tiba mendekap tubuh basah Rangga. Raut wajah Rangga yang terlihat kebingungan dengan Karin sekarang ini.
“Kamu kenapa tiba-tiba meluk kayak gini Rin.”
“Apa aku salah menyiakan seseorang. Ketika dia tepat dihapanku, namun aku berpaku pada masa lalu.” Karin masih mendekap tubuh Rangga. Semakin erat
Rangga yang masih tidak mengerti mengapa Karin menjadi seperti ini hanya diam memaku merakasan dekapan Karin.
Xxxxxxxxxx
“Rin lo kemaren kenapa enggak angkat telpon gue?” tanya Tari yang melihat Karin datang. Tak terlihat sama sekali sisa wajah kekesalan dan kebencian Karin.
“Gue kemarin tidur seharian Tar.” Karin meletakkan tas, namun dia melirik bangku Poppy yang masih belum terlihat tasnya.
Mendengar jawaban Karin seperti itu, Tari langsung mencubit kedua pipi Karin. Tari tahu, sahabat sekarang mungkin lebih baik. Namun masih ada perasaan sakit hati didalamnya. “Dasar.”
Tari dan Karin mendengar langkah menuju arah mereka. Mereka berdua melihat siapa yang datang saat ini. Namun mereka berdua terkejut, ada orang lain yang menduduki bangku Poppy.
“Dev, bukannya bangku lo disana ya?” Karin menunjuk bangku yang dia maksud.
“Iya, tapi semalem Poppy ngabari gue Rin. Dia minta tukeran bangku sama gue.” Devi menjelaskan ke Karin kenapa dia pindah.
“Tapi hari ini Poppy masuk enggak?” Mendengar pertanyaan Karin, Tari seketika langsung melirik ke Karin. Tari terkejut, setelah Karin mendapat perlakuan seperti itu. Namun Karin tetap saja mengkhawatirkannya.
“Masuk kok.”
“Syukur deh, dia sadar kalo dia seharusnya pindah.” celetuk Tari dengan santai.
Poppy datang dengan wajah yang berbeda dengan Karin. Poppy nampak lesu sekali. Dia tak berani melirik ke arah kedua sahabatnya. Kemudian melangkah menuju bangkunya yang baru.
Selama pelajaran berlangsung Karin sesekali melirik ke arah Poppy, dia melamun memikirkan ucapan Poppy kala itu “Apa benar yang dimaksud Poppy, dia bermaksud membantu. Tapi dia bantu apa. Kenapa bukan gue. Gue orang yang lebih dekat dan lebih dulu mengenal Reivan. Dan kenapa Reivan lebih milih dia.” Pikiran itu masih membayangi Karin beberapa hari ini, “Gue yakin, Poppy bukan orang yang seperti itu. Tapi kenapa dia kemaren enggak ngelak.”
Jika biasanya mereka bertiga biasanya paling bahagia ketika jam istirahat, namun kali ini berbeda. Hanya Karin dan Tari yang pergi tanpa mengajak Poppy. Pemandangan seperti itu mulai dirasakan beberapa teman kelasnya. Poppy melihat beberapa sekumpulan cewek melirik mereka dan kemudian berbisik. Ingin rasanya dia menjelaskan alasannya. Namun baginya percuma, tak membuat keadaan berubah. Karin hanya menganggap dirinya hanyalah seoarang pengkhianat.
“Selamat pagi anak-anak. Sekarang buka buku Bahasa Indonesia halaman 274. Kerjakan untuk nomer 1-15.”
Ketika Karin membuka bukunya, ia merasakan ada benda yang jatuh mengenai sepatunya. Tubuhnya menunduk untuk meraih benda itu. Tak disangka ia melihat sepucuk surat yang berada di sebelah sepatunya. Karin meraih dan membuka surat itu.
Menunggu……
Setiap hari ku menunggu
Menunggu itu lelah
Ketidakpastian yang hadir selalu
Kepastian semu masih dianganku
Kesekiankalinya ku menunggu
Menunggumu ku slalu
Jawaban hati yang kunanti
“R”
Tak ingin pikirannya pecah hanya karena sepucuk surat ini. Karin melipat surat itu dan meletakkannya di tas. Meskipun surat itu kini tak lagi berada dihapannya, namun pikirannya masih menerka siapa pengirim sebenarnya.
Xxxxxxxxxx
Semenjak kejadian terakhir di kolam renang bersama Rangga, Karin mencoba kembali menata hatinya seperti ketika bertemu pertama kali dengan Rangga. Rangga yang membuat Karin selalu deg deg-an ketika bertemu, Rangga yang membuat Karin senyum-senyum sendiri, Rangga yang membuat hari-harinya berasa menjadi lebih indah dan berwarna. Mungkin Rangga sudah ditakdirkan untuk dirinya, batin Karin. Daripada terus berharap dengan orang tidak pernah mengetahui persaannya selama ini, dan sekarang orang itu lebih dari mengecewakannya. Mencoba menutup mata untuk laki-laki semu dan melebarkan sayap untuk laki-laki yang selalu tersenyum padanya.
Karin merencanakan di hari Sabtu yang sangat cerah ke Taman Hiburan. Ia telah menschedule apa saja yang akan dilakukan esoknya. Terkadang ia tersenyum sendiri ketika membayangkan apa yang akan dilakukannya dengan Rangga ketika di Taman Hiburan. Mungkin saja Rangga akan membuatnya kembali tersenyum atau justru lebih. Namun tak bisa di pungkiri, beberapa surat itu terus menghantuinya. Semakin hari semakin kalimat-kalimat yang ditulis pengirim itu semakin mengarah pada dirinya, terutama pada hatinya. Hingga Karin pun mencoba mencari tahu siapakah dia.
“Rangga…”
“Apa Rin.” Rangga saat ini tidak tahan melihat Karin. Karin membawa arum manis dengan bando berhias karakter film “Inside Out” Joy. Dirinya juga ikut menggunakan bando karakter Fear.
“Kamu inget enggak puisi ini, Menunggu. Setiap hari ku menunggu. Menunggu itu lelah. Ketidakpastian yang hadir selalu.”
“Aku enggak paham sama maksudmu Rin.” Wajahnya tampak kebingungan dengan pertanyaan Karin. Sedangkan Karin nampak menggigit jarinya, seakan jawaban yang ia peroleh tidak sesuai harapan.
“Eh maen itu yuk.” Tunjuk Karin. Ternyata yang ditunjuk adalah permainan menembak mainan hingga jatuh dengan pistol mainan.
“Oke ayo.” Rangga menarik tangan kiri Karin dan berlari menuju tempat yang ditunjuk Karin.
“Ndien katanya kamu main.” Mendengar ada yang janggal, Karin menoleh ke arah Rangga.
“Ndien?”
“Maaf, maksud gue Rin. Ayo jangan ngelamun.”
Rangga mengalihkan pembicaraannya dengan menyodorkan pistolnya ke Karin. Namun tetap saja, Rangga tidak bisa konsen. Dilihatnya Karin saat ini adalah Andien. Dia mencoba menyakinkan dirinya bahwa Andien telah tiada, hanya Karin yang berada disisinya.
“Rangga…”
“Hemmm.” Dia mengenakan helm ke Karin dan menggunakan jaketnya.
“Ada rintihan penyesalan dari sebuah hati. Penyesalan pilu yang membekas.” Matanya menatap lekat Rangga. Meyakinkan diri pengirim itu adalah Rangga.
Rangga yang masih tidak habis pikir dengan dengan Karin yang hari ini sangat aneh. Tangannya membuka kaca helm Karin. “Kamu kenapa sih hari ini aneh banget.” Kemudian Rangga menutup kembali kaca helm Karin.
Masih dengan perasaan tak percaya, Karin menaiki motor Rangga. “Kalo bukan Rangga terus siapa?” gumamnya.
Xxxxxxxxxx