Dia Datang,.,

Dinda Puspitasari
Chapter #11

"R"

Beberapa kali Rangga mendengar selentingan bahwa Karin sering kali menangis. Mereka berfikir bahwa dirinyalah pembuatan air mata Karin yang terus bercucuran. Tidak peduli orang mau berkata apa, yang terpeting memang bukan dirinya yang membuat Karin menjadi seperti itu. Diakuinya absen menjemput dan mengantar Karin pulang untuk beberapa minggu karena disibukkan perlombaan anggar membuat perubahan besar yang sama sekali tidak diketahui Rangga. Perubahan pertama yang masih belum diketahui Rangga adalah penyebab Karin menangis sendirian di pinggir kolam selama satu jam.

Sebenarnya saat itu Rangga mengikuti Karin yang memanggilnya dari lorong kelas, namun Karin sama sekali tidak mendengar panggilannya. Semakin jauh semakin cepat langkahnya dan mendengar ada suara isakan dari Karin. Hanya mematung dan terus saja mematung di tengah kolam itu. Hingga Rangga pun tersadar isakannya semakin keras dan kedua rahangnya ikut bergetar. Meskipun Karin menutupi tangisannya di tengah hujan lebat, Rangga merasakan ada sesuatu yang selama ini Karin sembunyikan. Mulutnya terkunci rapat ketika Rangga menanyakan kejadiaan saat itu. Karin terus berkilah karena melihat kucing bermata hijau di rumahnya mati tertabrak mobil tetangganya. Rangga tidak bodoh, dia tahu mana alasan yang masuk akal dan alasan yang terlintas dipikiran Karin. Terus dan terus mencari fakta meskipun hanya melalui dunia maya, namun apa daya Karin terus berkilah hingga membuat Rangga pasrah.

Tok……tokkkk…..tokkkkk

Semua mata teman kelas Karin menoleh ke arah sumber suara, bibir pintu kelasnya. Tak nampak siapa sebenarnya yang mengetuk pintu. Kemudian dari arah sumber suara muncul 2 buah ice cream choco hazelnut. Hanya 3 orang dari kelas itu tahu siapa pengetuk pintu kelas sebenarnya dan untuk siapa ice cream itu diberikan. Namun beberapa cewek masih penasaran siapa orang itu dan berbisik berharap ice cream itu untuknya. Tak lama kemudian, wajah orang itu muncul dengan senyuman manis seperti biasa. Karin hanya bisa tertawa geli melihat perilaku Rangga yang tak pernah berubah. “Percuma udah ada yang punya, cus kantin yuk.” Salah satu dari wanita yang berbisik di sebelah Karin.

“Gimana, sukses?” tanya Karin pada cowok yang disebelahnya, namun matanya fokus pada ice cream yang diberikan cowok itu.

“Sukses dong.”

Rangga mengacak puncak rambut Karin dan sama sekali tidak memperdulikan dirinya. Nampak Karin yang semakin sibuk dengan ice cream yang akan meleleh. Baginya tak peduli kali ini Karin tak menganggap dirinya, yang terpenting cahaya hidupnya kembali utuh. Senyum manis yang biasanya menjadi alasan utamanya kembali muncul.

“Ngga, akhirnya sekarang aku tahu.” tatapan Karin kali ini tepat dikedua manik Rangga.

“Apa?”ucapnya setelah menyelesaikan ice cream, dan kini kedua manik matanya saling menatap satu sama lain. Sorot mata yang keluar dari Rangga lebih ke arah menggoda pacarnya.

“Aku tahu tanggal ulang tahunmu, tanggal 23 Desember. Bener kan?” ujar Karin dengan begitu bangga menemukan sesuatu yang terus disembunyikan Rangga.

Bukan senang yang terpancar dari raut wajah Rangga. Rasa pilu yang sengaja di pendam dalam-dalam selama beberapa tahun. Dicobanya ditutup rapat-rapat tanpa ada celah sedikitpun. Tersimpan rapi hanya ada dalam kenangan manis, namun tercemar menjadi kenangan pahit diingatnya. Mencoba tegar di setiap tanggal itu tahun demi tahun. Hampir saja dilupakannya kenangan itu. Apa daya, semua tersimpan rapi dan saat ini yang sengaja mengoreknya satu persatu dan semakin dalam.

Matanya terkulai, bibirnya berkedut, rahangnya menegang, kerongkongannya terasa kering saat itu juga. Satu kalimat yang membuat mimpi buruknya kembali terngiang kejadian demi kejadian. Yang akan sulit dilupakannya untuk beberapa waktu kemudian. Sekuat tenaga menahan genangan air yang tampak ingin jatuh. Tak ingin memperlihatkan kesedihan di depan Karin.

“Rangga, kamu enggak kenapa-kenapa kan?” Melihat perubahan sikap yang sangat drastis, Karin terlihat sangat khawatir. Kepalanya mendongak dari bawah yang menatap Rangga menunduk menghilangkan kilapan matanya.

“Aku gapapa kok Rin.” jawabnya dingin.

“Oke, kamu mau apa?”

“Mau cookies ginger bread.”

Rangga yang sepertinya tidak sadar pikirannya ada dimana. Dia tahu betul, yang menyukai ginger bread adalah Andien, Rangga sama sekali tidak suka. Menurutnya,“Roti kok rasa jahe, aneh.” keluh Rangga setiap kali Andien meminta kue ulang tahunnya.

“Ok, save the date.”

Kringgggg……kringggggggg…..kringggggg

Sudah terlalu sering Karin mengabaikan semua perhatian Rangga. Terlalu sering menyakitkan Rangga. Dimana dialah yang menjadi penopang dirinya saat ini. Semoga suatu saat kejutan ini akan menjadi kejutan terbaik darinya untuk menebus semua perhatiannya.

Xxxxxxxxxx

“Lo gila Van mau berhenti.” tandas Poppy masih belum bisa mencerna rencana Reivan.

“Gue sadar, cara gue salah Pop.”

“Tapi lo tahu sendiri kan akibatnya, mungkin lo bakal kehilangan selamanya.”Poppy sekali lagi meyakinkan Reivan dengan rencananya yang sangat bodoh, bagi Poppy.

Reivan menggenggam kedua tangan Poppy. Reivan tahu semua ke khawatiran Poppy selama ini. Wajah lesu Poppy langsung tampak seketika setelah Reivan mengungkapkan rencananya kedepan. Hembusan nafas panjangnya semakin mengeratkan genggaman Reivan.

Poppy menatap langit-langit. Menatap kenangan yang tak ingin terjadi penyesalan kedua yang dilihatnya. Penyesalan yang sudah tidak bisa diubahnya lagi. Sekuat tenaga mencoba agar penyesalan yang dirasakan tidak akan dirasakan kembali Reivan.

“Gue tahu Pop, gimana perasaan lo setelah ditinggal Kenny. Ini sudah keputusan gue. Gue enggak ingin Karin semakin mencintai si “R” dan semakin tersakiti gara-gara tulisan gue.”

Matanya dibanjiri air mata. Terus saja Poppy menggigit bibir bawahnya. Masih tidak yakin untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Mengungkapkan isi hati yang disimpan. Siapa sebenarnya lelaki yang tidak pernah dilupakan sahabatnya. Lelaki yang setiap hari ditanyakan bagaimana kabarnya. Lelaki yang hilang dan kini kembali dan masih tetap diharapkannya. Hatinya seperti sebuah lemari terkunci rapat. Lemari itu tahu siapa pemilik kunci yang hanya bisa membuka pintu itu. Kunci lain terus membuka dan menggedornya, namun tak ada yang bisa menembus pertahan lemari itu. Ada satu kunci yang bisa menembus. Namun dia tidak bisa memberi warna. Lemari itu masih terus menunggu hingga kunci yang sebenarnya membuka hingga suatu saat. Meskipun menunggu pintunya terbuka membuat semakin sakit menahannya.

“Karin itu dari dulu mengharapkan lo Van.” Matanya dan bibirnya terpejam sangat erat. Satu kunci yang mungkin bisa membuat Reivan lebih bertahan lama. Fakta yang selama ini ditutupnya rapat-rapat. Karena ingin melihat seberapa besar Reivan mencintai Karin.

Sudah tahu Poppy akan berkata seperti itu dihadapannya. Maksud Poppy sebenarnya baik, ingin menguatkan hati Reivan. Sepertinya Reivan tidak sadar maksud ucapan Poppy. Namun apa daya, keputusannya tetap kokoh. Semakin lama cara ini tetap diteruskan, semakin sakit hatinya menatap Karin yang terus berharap pada harapan semu.

Reivan mengusap lembut kedua pipi mungil Poppy. Mengusap air mata hingga hanya sedikit tersisa di pipinya. Ditinggalkannya Poppy sendirian saat Poppy terus menatap Reivan untuk kembali dan terus mendapatkan hati yang sebenarnya miliknya.

Tubuh Reivan hilang dalam waktu beberapa detik. Naas, nasi sudah menjadi bubur. Poppy tidak bisa merubah keputusan Reivan. Tangisnya menjadi-jadi sambil menatap foto cinta pertama Poppy, Kenny yang telah pergi untuk selama-lamanya.

Xxxxxxxxxx

[Tar...]

Tari melihat ada sebuah pesan dari Rangga. Jarang sekali Rangga menghubungi nomornya, dulu pernah sekali dua kali. Itu pun saat dirinya sebagai panitia bersama Karin. Jemarinya mengetik sangat cepat, karena saat ini Rangga telah menggangu konsentrasi waktunya membaca buku politik.

[Ada apa Kak Rangga]

Tak perlu menunggu hingga satu menit, hp Tari kembali bergetar.

[Karin kenapa belakangan ini]

Masih sabar menghadapi pertanyaan Rangga. Tari hanya sekilas membaca sms itu, dan langsung mengetiknya.

[Gapapa kok kak]

Rangga tetep kekeh mencari fakta yang sebenarnya. Tidak sampai 30 detik ada sms masuk dari Tari, Rangga kembali mengirim sebuah pesan.

[Tar, plis

Lo jangan bohong sama gue]

Konsentrasinya benar-benar pecah. Digamitnya hp yang kembali berdering. Mengetik semua yang iya tahu. Menceritakan panjang lebar dari semua kejadian mulai dari Poppy yang sekarang pacaran dengan Reivan, Poppy yang menghianati mereka sebagai sahabat terutama penghianatan terbesar kepada Karin dan juga Karin yang masih mencintai sahabat kecilnya, Reivan. Semua tangisnya karena Reivan.

Send, pesan telah terkirim.

Tari kembali melanjutkan kembali, hampir lupa kalimat terakhir yang Tari baca. Dan akhirnya dia mengulang kembali bacaannya. Beberapa detik kemudian, dia merasa sangat aneh. Dibukanya kembali pesan yang terkirim. Tari tersadar. Bodoh!!!! Tari baru saja menceritakan hal paling haram yang seharusnya Rangga tidak boleh tahu. Jika menceritakan Poppy yang berpacaran dengan Reivan itu masa bodoh baginya. Tapi ini benar-benar gila. Siaga 1!!!!! Tidak, bukan lagi siaga 1 tapi sudah menjadi waspada!!! Awas!!!! Danger!!!. Ini tentang tangis yang selama ini mengalir dari Karin semuanya tentang Reivan, sahabat kecil yang menjadi cinta pertama yang senantiasa dicintainya. Meskipun Rangga sudah disisinya. Mungkin saja Rangga beranggapan hadirnya dirinya hanya sebagai pengisi kekosongan yang sama sekali tidak berguna.

Matanya masih terbelalak. Terus ditepuknya jidat Tari dengan hp yang serasa ingin dibanting. Ingin menjauh dari peradaban sementara dan kembali setelah mereka semua melupakan kalimat bodoh yang dikirimnya barusan. Otaknya terus berpikir keras. Kini tidak ada lagi sms yang masuk dari Rangga, dirinya semakin khawatir. Jika sebelumnya dia tidak berharap ada sms masuk, sebaliknya Tari menanti sms dari Rangga yang mungkin berkata,“Maksud lo apa Tar.” Dan kemudian bisa dijawabnya dengan kilat, “Oh iya kak, tadi habis liat film Heart, makanya kebawa suasana. Baper gitu ceritanya. Sekarang aku lagi ngayal kak, kalo Karin yang jadi Rachel suka sama Reivan sahabat dari kecil.” sesaat Tari kembali berfikir , “Sejak kapan ada peran Reivan di heart.”

Ingin rasanya menceritakan semua ke Karin, dan ingin mengklarifikasi. Ketika tangannya ingin menekan nomor Karin, diurungkannya niat itu. Jika dia menceritakan yang terjadi, maka Karin bisa-bisa menjadi keran air mata. Tak ingin kepalanya pecah, Tari merebahkan diri dan mencoba melelapkan dirinya dengan lagu penghantar tidur.

Diseberang sana, Rangga mengenggam hpnya sangat erat. Meluapkan seluruh emosi jiwanya. Air liur terjun dengan sendirinya, nyalang matanya yang tajam hampir bisa meluruhkan dinding kamar. Rahangnya menegang tidak percaya dengan semua ini. Masih segar di ingatannya, wanita paruh baya yang dijumpainya, rumah dan terutama sikap yang diterimanya kala itu. Sikap yang tak ingin dirinya mengetahui siapa sebenarnya Reivan itu. Kini, semuanya terjawab siapa Reivan dan arti Reivan dimata Karin.

Xxxxxxxxxx

Terik matahari yang menyengat menyelimuti kota Jakarta, namun berbeda dengan Tari dan Poppy dengan suasana mendung. Jika beberapa hari yang lalu kelas X1 IPS 4 dikejutkan kedatangan Karin dengan mata sembabnya, kali ini semua mata tertuju pada Poppy. Poppy datang disaat sebagian siswa masih keluar dari mimpi-mimpi indahnya. Disaat pintu gerbang sekolah baru 2 menit terbuka, pukul 05.32 yang tak ayal membuat para penjaga pintu terheran dengan siswa datang sepagi ini. Langkah lunglainya menyisir setiap pintu kelas. Mata sendu masih tergambar sangat jelas. Menatap lekat-lekat bangku Karin, tepat di sebuah laci yang selalu dikunjunginya. Tatapanya sangat nanar. Mengingat semua masa lalunya. Masa lalu yang tak jauh berbeda dengan kondisi Karin. Yang telah dirasakannya beberapa tahun silam.

Jika dunia ini tidak ada keterbungkaman. Maka semuanya akan berjalan sesuai jalan pikiran kita. Mengikuti alur yang semestinya. Semua kebisuan ini tanpa sadar membuat satu sama lain tersakiti. Sakit menanti sebuah kepastian. Tidak ada yang bisa menerka hati seseorang. Siapa pemilik sebernarnya hati itu.

Melihat sahabatnya itu termenung dan menjadi bahan pembicaraan kelas, sempat terlintas dipikirannya, “Apa Reivan yang membuat Poppy seperti ini.” Meskipun sakit hatinya masih membekas, hati kecilnya terus berbicara. Karin membawakan secangkir teh hangat. Poppy yang sangat terkejut siapa yang dilihatnya saat ini.

“Pop, ini buat lo.” Ditiupnya perlahan teh yang masih sangat panas. Tak ada jawaban yang terlontar dari Poppy. Hanya ketersimaan yang terlihat.

“Kalo lo punya masalah, lo cerita dong. Kita ini sahabat, sudah sepantasnya kita saling berbagi,” Poppy hanya bisa diam. “Kalo lo mau cerita, bisa cerita ke gue kapanpun lo mau.”lanjutnya seraya meninggalkan bangku Poppy. Ada sebutir air yang mengalir dari pelupuk mata Poppy.

Berbeda dengan Tari, dia lebih memilih menghindar. Karena kebodohannya kemaren, Tari lebih memilih datang 3 menit sebelum masuk. Melihat sahabat yang satu ini juga sekarang terlihat “lebih pendiam”, Karin menepuk pundak Tari yang disambut keterkejutan yang berlebihan.

“Lo kenapa diem.”

“Untung, gue kira tanya soal semalem,”desisnya. “Bibir gue sariawan 3 Rin.”kilah Tari. Karin hanya bisa mengangguk mengerti.

Xxxxxxxxxx

Jam istirahat pertama berdering, Karin berjalan sendiri setelah membeli pena dari kopsis. Dilewatinya ruang kelas Rangga dengan sengaja, dan melirik ke arah dalam kelas mencari Rangga yang hari ini tak nampak batang hidungnya. Sadar Karin tepat di depan bibir pintu kelasnya, Astha menghampiri Karin.

“Lo cari Rangga Rin?” tanya Astha saat duduk di depan bangku kelas. Duduk bersantai dengan beberapa camilan yang dibawa Karin.

“Iya Kak, Rangga mana kok enggak keliatan.” Masih celingak-celinguk mencari keberadaan Rangga.

“Lo masih belum tahu Rin?” Kedua alis Astha saling bertautan mendengar pertanyaan Karin.

“Tahu apa kak? oh ya nanti kalo Rangga ulang tahun Kakak bisa bantuin aku kan nyiapin ultahnya Rangga. Meskipun masih lama sih.” Melihat wajah datar Karin yang bercerita tentang ulang tahun Rangga, Astha sepertinya ingin mengatakan sesuatu hal yang penting. Dia menghentikan sejenak acara “Makan-makannya” dan menatap lurus Karin.

“Rin, lo tahu Andien?” Kerongkongannya mulai bergetar ketika menyebut satu nama, yang selalu dia simpan rapat-rapat.

“Andien siapa Kak?”Karin masih dengan asyiknya mengunyah keripik kentang.

“Jadi lo belum tahu sama sekali.”

Helaan nafasnya sangat berat. Astha menarik nafasnya panjang-panjang menyiapakan rantaian kalimat. Ada getaran hebat di kerongkongannya, tapi semaksimal mungkin diredamnya. Menyiapkan mental apa yang akan terjadi setelahnya. Sebenarnya dia akan tahu apa yang terjadi pada Karin setelah ini, namun Astha tak mau memikirkan pikiran jeleknya yang akan mengubah mentalnya.

Lihat selengkapnya