Satu kalimat Rangga ternyata membuat Reivan larut dalam pikirannya. Samsak dan sarung tangan muay thai yang biasanya dapat menghilangkan sekelumit masalah dan kejenuhannya kali ini tidak membuatnya berhasil melupakan ucapan Rangga. Setiap jam dilaluinya hanya memikirikan apa maksud ucapan Rangga saat itu. Tak pernah dirinya berlarut-larut termenung hanya karena ucapan seseorang. Pikirannya berkecamuk memikirkan apakah benar dirinya adalah cinta pertama Karin.
[Pop, ada yang mau gue tanya sama lo]
Menanti sebuah kepastian jawaban itu lelah. Apalagi tentang kepastian hati. Namun, tak pernah dirasakannya kelelahan menunggu Karin. Hanya saja, penasaran yang menggebu membuatnya semakin tak tahan. Jemarinya terus bertaut menunggu balasan Poppy. Ditunggunya selama 5 menit, hpnya tak kunjung berdering.
[Jujur ke gue..
Apa bener, gue cinta pertama Karin]
[Please pop
Gue mohon, lo jawab pertanyaan gue]
Rentetan LINE yang Reivan kirim tak membuahkan hasil. Dirinya terus menunggu di pelataran halaman yang ditumbuhi bunga-bunga kesukaan Mamanya. Matanya terus menatap sendu beberapa tangkai baby breath di tangan. Ini adalah kali terakhirnya Reivan menulis semua suratnya dan bunga terakhirnya untuk Karin. Masih bisa dirasakannya bagaimana perasaannya saat menulis untuk Karin terakhir kalinya. Hanya ada perasaan sesal, harus merelakan Karin. Namun semua itu dilakukan agar Karin bahagia.
Bohong memang, jika ada yang berkata merelakan pergi untuk cinta meskipun bukan untuk kita. Bohong memang, jika kita bisa bahagia saat orang yang kita cintai bersama orang lain. Semua itu bohong, memang bohong. Tak pernah ada kata-kata ikhlas untuk orang yang kita cinta. Hanya ada kita akan bahagia dengan dia berada disisi ini. Apa daya, jika dia lebih memilih bersama orang lain. Meski tali tambang terikat rapat antara mereka, tak akan ada perasaan melekat dihatinya. Lebih baik merelakan dia pergi, walaupun dalam hati ini tak akan pernah rela. Karena cinta bukan obsesi.
Sebelum mengakhiri ini semua, sebenarnya Reivan sempat berbohong pada dirinya. Berbohong pada Tomi dan Poppy. Mengaku dia rela melepaskan Karin untuk Rangga, yang hanya bukan semata sebagai rasa karma yang menderai. Tapi dia sadar, memaksakan cinta satu pihak akan hanya membuat Karin sakit dan ada saatnya hatinya juga akan terluka.
Terdengar dering nada pesan dari hp Reivan. Ternyata itu Poppy, setelah sekian lama menunggu jawaban.
[Dan lo perlu tau, gue bodoh ngebantuin lo.
Seharusnya gue sadar, semakin gue bantu lo semakin lo menjadi bisu.]
[Kebisuan lo ngebuat Karin semakin terluka]
Hatinya terus bertanya “Kenapa Karin harus terluka, itu semua cuman ungkapan hati seseorang.” Ada keresahan yang terus bergejolak di benaknya. Hpnya kembali berdering, ada LINE Poppy kembali.
[Dan lo bener, Karin suka sama lo dari dulu.
Lo adalah cinta pertamanya…]
Deg
Kedua matanya terbelalak melihat semua kalimat Poppy, seakan menyakinkan dirinya bahwa ini memang benar dari Poppy. Tangkai bunga yang digenggamnya jatuh. Ada rasa sesak di dadanya. Rongga dadanya seakan menyesakkan, membuat Reivan sulit bernafas. Bukan karena rasa senang dihatinya, namun sesal dan bimbang
Xxxxxxxxxx
Semilir angin berhembus lembut diantara pohon-pohon rindang. Angin yang dihasilkan benar-benar menyejukkan. Ada aroma khas saat hujan akan menandakan ia akan segera turun. Langit yang semula cerah berubah menjadi kelam yang tak membuat semua siswa mengurungkan niatnya berangkat sekolah. Semua siswa datang lebih awal, memastikan mereka tidak akan terjebak dengan hujan.
Tari datang dengan wajah sumringahya, bisa dibilang ini pertama kalinya Tari menampakkan wajah yang sangat senang seperti itu. Kedua ujung bibirnya membentuk simpul lengkung yang tak pernah padam. Langkahnya mengayun seperti dia sedang mendengarkan irama. Diletakkannya tas dan kemudian tersenyum dengan sahabat yang telah lama pergi, Poppy.
Poppy sudah bisa memprediksikan apa yang membuat Tari seperti itu. Hawa senang juga bisa menular, yang saat ini menular juga padanya. Memang sulit, bermusuhan dengan sahabat. Meskipun ada banyak perselisahan, tetap saja ada berbagai cara untuk bersatu kembali. Di tangannya saat ini ada sebuah keripik ketela ungu, yang langsung di rebut Tari tanpa minta ijin kepada pemiliknya.
Karin datang, namun wajahnya tidak memperlihatkan kesenangan seperti dua saabatnya. Namun dia mencoba meluweskan bibirnya dengan tersenyum kecil dihadapan Tari dan Poppy, tak ingin hari baiknya terusik karena kegundahan hatinya. Bukan sahabat sejati, jika mereka tak tahu isi hati terdalam Karin.
“Rangga belum ngabari kamu?” tanya Poppy lembut.
“Belum.” jawabnya sambil mengeluarkan buku cetak untuk pelajaran pertama.
Saat akan meletakkan baju olahraganya di dalam laci meja, Tari merasakan ada sebuah benda yang mengganjal di dalam lacinya. Sebungkus wafer rasa vanilla, dan dibaliknya ada sebuah notes yeng bertuliskan 1 kata “KETIKA (T)”.
“Lo tahu ini dari siapa?” tanyanya kepada Karin dan Poppy. Namun hanya dibalas gelengan kepala. Pengirim itu tahu, makanan favorit dari Tari.
Saat guru Bahasa Indonesia datang, tiba-tiba hpnya bergetar. Dilihatnya LINE dari Rangga. Tak ayal membuat Karin langsung membuka pesan itu. Sudah seminggu lamanya Rangga tak pernah menghubungi Karin.
[Nanti pulang sekolah aku tunggu di deket lapangan basket. Dibangku waktu kita pertama kali bertemu]
Saat bel pulang berbunyi, Karin bergegas langsung menuju ke bangku di lapangan basket. Tepat di bangku kedua dari tong sampah. Tari dan Poppy tahu Karin akan menunggu Rangga disana.
Dilihatnya beberapa siswa berjalan bergandengan erat dengan pasangannya. Bercanda gurau menikmati kebersamaan. Ada yang mengelus puncak kepala wanitanya. Teringat kepada Reivan dan Rangga, dulu meraka pernah melakukan hal yang sama pada dirinya. Karin rindu kepalanya diusap, rindu bercanda dengan mereka.
Tak selamanya cinta itu indah. Kadang cinta itu merindukan, kadang cinta itu menyakitan. Cinta itu tak ada yang pernah tahu bentuknya. Seperti apa bentuk kebahagiaan, seperti apa bentuk kepedihan. Yang bisa merasakan hanya hati.
Tinggal tersisa beberapa siswa yang duduk di bangku seberangnya dan beberapa siswa cowok yang berlatih basket. Karin masih menunggu. Terdengar ada langkah kaki yang mendekatinya, Karin menengok dan itu Rangga. Dilihatnya Rangga datang dengan senyum kecil seperti biasanya. Rangga duduk di sebelah kiri Karin, persis saat mereka pertama kali berkenalan.
Hampir 3 menit mereka berdiam diri. Tak ada satu kata pun yang terucap. Kehinangan terjadi
“Rin, ada yang kamu mau tanyain?”
“Hmmmm, apa benar semua dikatakan Astha?”
Rangga tahu arah kemana percakapan ini. Semua tentang dirinya, Andien dan Karin yang saling berkaitan. Tak bisa dipungkiri, ketika Astha mengatakan bahwa dia telah menceritakan semuanya kepada Karin, Rangga sangat geram. Namun, Rangga tak bisa menyalahkan Astha begitu saja. Ketika Rangga juga mengetahui sisi tersembunyi Karin.
“Iya benar,” jawabanya datar.“Kamu berhak marah sama aku, menyalahkanku.”
“Berarti semua it-?” ucapanya terpotong
“Iya, sudah tidak ada yang aku tutupin lagi. Tanpa terkecuali,” Rangga sengaja menjeda ucapan selanjutnya. “Dan juga, aku sekarang benar-benar mencintaimu. Hanya ada kamu. Sama persis yang dikatakan Astha.”
Setetes air mata mengalir di pipi Karin. Wajahnya tertunduk, menutupi aliran air yang sekarang mengucur di kedua matanya.
“Kenapa kamu enggak pernah bilang.” Suaranya sungguh terisak, tapi segera diredamnya.
“Aku akui, sulit untuk melupakan Andien,” Rangga mengusap lembut pipi basah Karin. “Sekarang benar hanya ada kamu, kamu yang nyata. Meskipun sulit untuk menghilangkan Andien selamanya,” Kali ini Rangga berlutut dihadapan Karin. Menggenggam lembut kedua tangan. Menatap sendu, namun tepat pada kedua iris Karin yang masih menggenang. “Dan hari ini, aku rela pergi. Demi kebahagianmu.”
Mendegar ucapan Rangga yang begitu mengejutkan membuat kepalanya terangkat, mengikuti tatapan Rangga. “Maksud kamu apa?”
“Aku tahu, kamu seperti aku. Sulit melupakan cinta pertama. Bagimu, dia selalu ada dihatimu.”
Karin hanya bisa menggelengkan kepalanya, dan kini dia tahu arah pembicaraannya. Yang dia maksud adalah Reivan.
“Sulit bagiku memasuki ruang hatimu. Karena hatimu masih tersimpan dia. Lebih baik aku yang akan mengalah, melihat orang aku cintai pergi. Daripada sakit bersamaku. Aku tahu, aku adalah laki-laki pertama yang pernah menjadi bagian hidupmu, dan sekarang aku menjadi laki-laki pertama yang pergi demi kebahagianmu. Jangan pernah menyiakan dia, karena aku tahu di juga mencintaimu. Dia mencintaimu lebih dariku.” Rangga bangkit dari berlututnya, memegang kepala Karin dan mencium hangat kening Karin. Kali ini lebih lama, karena Rangga ingin merasakan kehangatan yang diberikan Karin, sebelum dia pergi selamanya. Kemudian dia mengusap kedua pipi yang mengalir deras air mata untuk terakhir kalinya.
Namun langkahnya terhenti, Karin menghentikan langkah Rangga dengan menggenggam tangan Rangga. Dia bisa merasakan eratan tangan Karin, langkahnya terus berjalan tanpa sedikitpun menengok ke arah Karin. Karena dia takut, hatinya tak akan kuat meninggalkan kedua kalinya orang yang paling dicintai. Karin terus terisak, menatap langkah Rangga yang semakin menjauh
Ditatapnya langkah Rangga hingga benar-benar dari pandangannya. Bukan cara seperti ini yang Karin inginkan. Ia tak ingin ada kata perpisahan. Baginya, perpisahan itu menyakitkan. Berharap Rangga akan kembali kepada dirinya. Terus dipandanginya arah kepergian Rangga. Namun semakin menunggu, hatinya semakin sakit. Ingatannya kembali pada pertemuan pertamanya dengan Rangga. Disini, bangku ini adalah saksi bisu yang mengetahui bagaimana perasaannya saat Rangga mengusap hidungnya. Pohon rindang di dekat lapangan basket juga menjadi saksi bagaimana Rangga menarik tangannya sungguh erat. Semua kenangan itu, membuat air matanya mengalir deras.
Karin berlari melewati kelas demi kelas. Semua mata menatapnya dengan keheranan. Tak dihiraukannya mata-mata yang menatapnya, hingga Karin melihat Poppy dan Tari di salah satu bangku taman. Dipeluknya Poppy, yang membuat Tari dan Poppy bingung melihat Karin menjadi seperti ini. Hanya terdengar suara tangisan yang semakin menjadi.
“Kenapa harus ada cinta jika menyakitkan.”
“Apa ini rasanya, saat kita menyia-nyiakan seseorang yang mencintai kita.”