Dia Datang,.,

Dinda Puspitasari
Chapter #13

Pelukan Terberat

Segelas hot choco hazelnut mengawali pagi hari Karin. Menghirup aroma yang baru diseduh membuatnya merasa hidup kembali. Bagi Karin selama ini, kisah hidupnya seperti sebuah dongeng yang tidak pernah terpikirkan olehnya sedikit pun. Sebuah kisah cinta yang mungkin diharapkan semua orang, namun semua ini terasa begitu menyulitkan. Derai air mata yang terus mengucur. Penuh dengan rasa pilu yang menghinggapi setiap hati. Terasa perih jika mencoba mengingat perasaan yang dulu.

Tttttinnnnnnn……tttttinnnnnnn

“Nak, siapa itu yang ngebel di depan rumah?” tanya Melati yang juga ikut menyeruput hot coklat hazelnut.

“Reivan mah.”

“Loh bukannya Reivan beda sekolah sama kamu?”

“Iya, tapi kemaren Reivan yang minta buat anter Karin ke sekolah,” Seraya mengambil tas sekolahnya di bangku . “Karin pamit dulu Ma, udah telat nih.”

Mama Karin mengikuti Karin dari belakang hingga tepat Karin membuka pintu mobil Reivan.

“Tante, Reivan ijin anter Karin ke sekolah dulu ya.” ucapnya setelah membuka kaca mobil.

“Iya ati-ati, sekalian aja deh Karin nanti dianter pulang ya. Soalnya Mang Udin mau Tante pake nanti siang.”

“Iya Tante siap, tenang aja.”

“Mamaaaaa…” pekik Karin mendengar permintaan konyol Mamanya.

“Duluan Tante.” Melati melambaikan tangannya hingga mobil Reivan berbelok.

Hanya hening yang dibisa tergambar antara Reivan dan Karin. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulut mereka. Tak pelak membuat Reivan mencoba menghilangkan keheningan yang terjadi dengan memutar radio mobilnya. Sheila on7-Hari bersamanya lagu yang sedang putar stasiun radio membuat gesture tubuh mereka sedikit terlihat kaku. Karin duduk tegap dengan kedua tangan dia atas kedua pahanya. Reivan berdeham sesekali sambil melirik jam di mobilnya. Lagu itu bisa menggambarkan semua tingah mereka berdua saat ini.

Tiba-tiba Karin teringat, dimana saat itu juga dirinya dan Rangga juga seperti ini. Dengan sebuah lagu yang juga menggambarkan perasaan antara mereka. Dan saat ini Karin teringat dengan Rangga, sudah cukup lama dirinya berdiam diri tanpa penjelasan apapun.

Setelah itu terdengar HiVi – siapkah kau tuk jatuh cinta lagi yang membuat semakin terlihat ada jarak diantara mereka. Karin sadar beberapa kali Reivan melirik kearahnya, namun ia tak berani mencoba membalas lirikannya. Rangga, Karin benar-benar ingin tahu kabarnya. Bagaimana saat ini keadaannya. Apa dia juga memikirkan dirinya. Dan juga dirinya rindu dengan Rangga. Rindu dengan kelembutannya.

Saat melihat Karin membuka pintu mobil terlihat Astha, Tari dan Poppy berlari menuju tempat Karin berdiri membuat Reivan membatalkan menjalankan mobilnya.

“Rin, Rangga sekarang flight ke Itali.” Astha memecahkan kegentingan.

“Maksudnya gimana sih, gue enggak paham?”

“Rin, Rangga ternyata udah ngurus kepindahan dan sekarang dia mau ke Manarola, tempat Mamanya bekerja.” lanjut Tari.

“Kenapa secepat ini,” tanyanya pada diri sendiri, memastikan apakah semua ini benar.

“Lo bawa mobil kan?” tunjuk Reivan ke arah Astha. “Gue sama Karin langsung ke bandara.”

“Terus sekolah lo gimana?”Karin langsung menegok Reivan yang masih di seat kemudinya.

“Udah itu gampang, lo enggak mau Rangga pergi begitu saja kan?”

Karin hanya menggeleng, kemudian ia tersenyum dengan ketidakpercayaan dengan sikap Reivan.

“Gue bawa. Kalo gitu Tari sama Poppy ikut gue aja.”

Mobil Reivan dan Astha melesat dari halaman SMA BAKTI MULIA. Terlihat Karin begitu tegang dan gelisah, Reivan menggenggam tangan Karin meyakinkan pada Karin dengan bahasa tubuhnya.

Reivan telah tahu apa yang sekarang terjadi antara Karin dan Rangga. Karin yang telah menceritakan semua. Bagi sebagian orang akan senang dengan keadaan seperti ini, namun Reivan lebih memilih tidak bahagia diatas segalanya. Cinta memang indah, namun jika menerima cinta diatas kepergiaan orang lain dengan keterpaksaan ini bukan jalannya.

Karin, Reivan, Astha, Tari dan Poppy berlari berpencar mencari Rangga di semua pelosok Bandara. Kedua mata Karin menggenang di pelupuk matanya. Hingga ditemukannya Rangga duduk di ruang tunggu. Tanpa sadar Rangga merasakan ada orang yang menjitak kepalanya begitu keras, saat menoleh kebelakang dia sungguh terkesiap siapa orang itu.

“Kamu kenapa pergi begitu aja?” Derai air mata Karin mengucur tetes demi tetes.

“Sakit tahu, dulu waktu pacaran kamu enggak pernah giniin aku. Mentang-mentang sekarang kita udah putus ya.” serunya sambil mengacak rambut Karin dengan tawa lepasnya.

“Aku enggak bercanda, kenapa kamu pergi?”

“Aku mau nenangin diri sekalian mau nengokin Mama.”

“Bukan masalah ini kan?”

“Salah satunya.” Rangga menjawab pertanyaan Karin dengan santai dengan senyum khasnya.

“Aku mau jelasin.”

Wajahnya menunduk menatap raut wajah Karin. “Enggak usah, aku bener-bener rela kalo kamu pergi dengan yang kamu tunggu. Aku bener-bener seneng kalo kamu bisa bersama orang kamu cinta.”

Reivan, Astha, Tari dan Poppy datang dan berdiri dari jarak yang cukup jauh melihat Karin dan Rangga akhirnya bertemu. Mendengar ucapan Rangga masih begitu lembut, tangisnya benar-benar pecah. Seketika Rangga memeluk Karin erat. Benar-benar erat. Karin masih merasakan kehangatan pelukan Rangga yang begitu menenangkan. Seperti merasakan kali ini pelukan terberat yang diberikan Rangga.

“Boleh aku ngomong sesuatu sama Reivan.” Setelah melepas pelukannya dengan Karin. Tanpa sadar Karin melihat Reivan sudah berdiri di depan sana.

Karin hanya mengganguk.

“Oeeee, sini….yang nunggu cintanya Karin selama 6 tahun.” teriak Rangga tanpa malu. Tak ayal membuat semua orang menatap ke arah lingkaran anak SMA yang menggunakan seragam. Reivan, Astha, Karin, Tari dan Poppy hanya bisa tertawa geli melihat Rangga masih saja bergurau disaat seperti ini.

Tak disangka Reivan memukul perut Rangga cukup keras. Membuat Tari, Poppy terutama Karin sangat terkejut. Hanya Astha yang tersenyum tipis melihatnya.

“Oh gini, anak muay thai yang bisa ngalahin anak anggar. Sakit juga ternyata,” Rangga membawa Reivan sedikit menjauh dari Karin.“Gue minta lo jaga Karin, jangan sampe sedikit pun air mata menetes dari matanya.” Kali ini ucapannya lumayan serius.

“Enggak usah lo ngomong, gue juga udah ngejagain dia. Gue pegang amanat lo.” terang Reivan merangkul bahu Rangga seakan mereka berdua adalah teman dekat.

“Mata-mata gue ada banyak disini, inget omongan gue. Kalo sampe Karin nangis sedikit pun, gue akan pulang nyamperin lo.”

“Enggak usah, Karin enggak akan nangis kalo sama gue. Lagian sayang duit kalo cuman buat nyamperin gue.” tandas Reivan dengan kepercayaan tinggi.

“Sini mata-mata gue.” pekik Rangga kembali menatap Astha berdiri diantara Tari dan Poppy.

Astha berjalan ke arah Rangga dan Reivan. “Gila loh, manggil gue mata-mata lo.”

“Gue enggak marah lo cerita semuanya ke Karin. Gue malah berterima kasih, lo nyadarin gue apa arti cinta yang sebenarnya.”

“Kenapa lo jadi baper.” ucapnya geli mendengar ucapan Rangga barusan.

“Terima kasih udah jadi temen curhat. Cukup gue, lo, Karin dan Reivan yang tahu perasaan gue dengan Andien.”

“Tenang aja, gue akan tutup mulut.”

“Udah waktunya gue harus take off, makasih untuk semuanya.” teriak Rangga kepada semuanya. Rangga pergi tanpa menoleh kebelakang.

Rangga takut, jika dia menatap mata Karin kenangan-kenangan itu akan menariknya pergi dan menahan semuanya. Menengok kebelakang akan sulit untuk memulai semua dan kembali menata hatinya. Karena sampai kapanpun, Reivan akan tetap ada di hatinya Karin. Sama halnya seperti dirinya, akan akan susah melupakan Andien. Dan Rangga yakin, Reivan akan menjaga lebih baik Karin daripada dirinya.

Mereka menatap Rangga pergi dengan ketidak relaan. Namun, apa yang harus diperbuat jika ini yang terbaik.

Mengalah bukan berarti kalah. Melepaskan bukan berari menyerah. Tetapi lebih kepada memahami bahwa ada beberapa hal yang tak dapat dipaksakan. Kadang lebih baik menjauh dari orang yang kita cinta, bukan berarti berhenti mencintai, namun karena harus melindungi diri kita dari luka. Cinta tak hanya berawal dari tatapan mata. Cinta hadir dari tulusnya hati ketika diri tak mampu berfikir jernih.

Beberapa menit kemudian terdengar suara take off pesawat yang perlahan-lahan mulai meninggalkan landasan pacu.

“Terima kasih Karin, pernah mengisi hati ini. Namamu, tak akan pernah kulupakan. Kenanganmu, tak akan pernah kubuang. Senyummu, akan terus melekat meskipun bukan lagi untukku.” ucapnya ketika menatap salah satu foto Karin di dompet Rangga yang masih terus disimpannya.

“Terima kasih Rangga, pernah mengisi hati ini. Kamu akan tetap selalu di hati ini. Menghangatkan seluruh hariku. Cinta pertamaku. Cinta yang mengajarkan bagaimana hati itu selalu berbuat.” ucap Karin sambil melambaikan tangannya di antara kaca penghalang dirinya dengan hamparan padang rumput yang mengelilingi pesawat.

Xxxxxxxxxx

“Hmmmmmm…..”

Desis Tari saat duduk di ruang tamu Reivan. Bola matanya berputar ke kanan ke kiri, tak berani menatap langsung kepada pemilik rumah itu.

Karin, Poppy dan Tari akhirnya hanya bisa menunggu waktu pulang di rumah Reivan, karena pada awalnya mereka kabur dari sekolah. Mereka tak bisa masuk se enaknya saja, karena saat ini jam sudah menunjukkan pukul 10.00 yang artinya sudah sangat telat untuk kembali menuju sekolah mereka. Dengan sangat terpaksa, akhirnya Reivan juga merelakan jam sekolahnya terbuang 1 hari demi meminjamkan rumahnya untuk menjadi tempat “pengungsian sementara”.

“Lo kenapa Tar?” tanya Reivan yang sadar ada yang terlihat aneh saat Tari mulai memasuki area rumahnya.

“Gue-” Sesekali menatap Poppy yang juga terlihat bingung melihat sikap Tari. Kedua jarinya terus bertautan.

“Gue maafin lo kok Tar.” Seakan tahu maksud ucapan Tari, Reivan memutus ucapan dia.

Seperti bunga yang baru saja dirisam, Tari yang sebelumnya ciut langsung menambah volume suaranya. “Gue kira lo sama Poppy tuh beneran.”

“Ya enggak lah Tar, masa iya gue ngerebut orang yang disuka sahabat gue,” sanggah Poppy yang kemudian merangkulkan tangannya ke bahu Tari sambil mengelus-elus bahu. “Tapi gue kalo jadi lo bakal gitu kok Tar.”

“Eh ada apa ini?”timpal Karin yang datang dari dapur dengan beberapa cemilan buatan Bi Iyem.

“Enggak kok Rin, lo duduk aja.” jawab Reivan, kemudian mengambil bakwan jagung.

“Eh kok lo masih pake kata “lo” ke Karin.” keluh Tari saat mendengar dengan santainya Reivan memanggil Karin.

“Terus mau manggil gue gimana coba?” tanya Karin yang juga ikut penasaran.

“Emang sekarang hubungan kalian berdua tuh gimana sih?”

Tersadar pertanyaan Tari yang sangat menyudutkan Karin dan Reivan, mereka berdua menunduk diam seribu bahasa. Yang sebenarnya mereka juga ikut berfikir kemana arah hubungan mereka sekarang. Karin dan Reivan mereka berdua masing-masing tahu perasaan yang sebenarnya. Dan sekarang ditambah lagi Rangga sudah mengikhlaskan Karin untuk Reivan. Apa yang harus perlu difikirkan. Ini adalah keinginan mereka berdua. Namum mereka tetap termenung memikirkan ada hal ganjal yang membuat mereka tidak bersatu. Yang hanya terfikirikan oleh mereka sendiri, sebenarnya mereka sendiri lah yang menjadi pengganjal tersebut. Mereka yang tidak berterus terang secara langsung.

Karin melihat ada sebuah kantong kertas di sebelah bakwan jagung yang barusan dia bawa, langsung mengubah perhatiannya ke arah kantong tersebut. Dilihatnya seperti kantong yang baru pertama kali dilihatnya, sungguh antusias. Yang sebenarnya saat ini Karin malu dan bingung dengan situasi ini.

“Eh itu apa?”pekik Karin seraya mengambil kantong yang dimaksudkan.

“Oh ya gue sampe lupa, itu tadi dari Astha. Katanya dari Rangga buat lo Rin.” terang Tari, dan sekarang dia mulai lupa melanjutkan pertanyaannya tentang kejelasan hubungan Karin dan Reivan.

“Yey dapet komik Conan banyak,” Karin begitu senang saat membuka kantong yang diberikan khusus untuknya. “Sama apa ini? topeng Conan? dasar hahaha.”

Tanpa sadar saat Karin membuka salah satu komik, ada benda jatuh yang terselip diantara komik tersebut yang mengenai kaki Karin. Sepucuk surat yang mengingatkan kembali Karin pada Reivan. Diambilnya surat itu yang tepat disebelah kaki Karin. Hanya ada “To Tari” dan “Ini yang terakhir untukmu” pada bagian depan surat.

Teringat, Tari beberapa kali ini juga sering mendapatkan surat yang sama dengan dirinya. Diberikannya ke Tari dengan wajah terperangah yang disambut keingintahuan Poppy dan Reivan.

“Enggak lo baca Tar?” Reivan yang sangat ingin tahu siapa yang mengirim surat seperti itu ke Tari. Dalam batinnya, siapakah orang yang meniru caranya dengan menulis surat tanpa pengirim.

“Enggak ah, biar gue baca sendiri. Gue jadi penasaran, siapa sih orang yang niru-niru lo gitu. Sok klasik banget sih.”

“Klasik tapi lo suka kan?” balas Poppy sambil menahan tawa gelinya.

“Rumah lo banyak bunganya ya Van, jangan-jangan yang selama ini Karin cerita kalo dia dapet bunga matahari sama krisan itu lo metik sendiri?” Tari berjalan sendirian menuju halaman depan yang begitu asri dan indah. Berbagai warna bunga bercampur aduk memberikan nuansa yang ramai namun segar untuk dilihat.

“Itu bunga nyokap gue. Gue inget dulu Karin pernah bilang pengen jadi kayak bunga matahari, karena bunga matahari itu tidak pernah padam keceriaannya meskipun badai selalu menerjang. Dia tetap kokoh berdiri menyongsong matahari terbit.” Ceritanya begitu, menimbulkan semu merah yang tak kuasa disembunyikan Karin.

“Kalo krisan?”

“Itu bunga kesukaan nyokap gue.”

“Tapi, kok gue enggak inget ya pernah pengen jadi bunga matahari.” keluh Karin sambil menggamit bakwan jagung.

“Lo mah dasar Rin…..” jawab Poppy sambil menjitak kecil kepala Karin yang tetep mengunyah bakwan.

Xxxxxxxxxx

Ketika (T) cinta memanggilmu (O) maka dekatilah (M) dia

walau (I) jalannya terjal (A) berliku ,

jika (R) cinta memelukmu (G) maka

dakaplah  (A) ia walau (N)pedang di (A) sela-sela(T) sayapnya melukaimu (A).

Dinding bercat putih polos tanpa hiasan maupun lukisan yang menempel pada sisi yang paling luas kini menjadi pusat mata saat mata menatapnya. Surat-surat yang sengaja dikumpulkan, ditempelkannya pada center dinding itu. Seperti sebuah tulisan abstrak yang memang sengaja dibuat oleh pemilik kamar itu menyerupai sebuah lukisan megah. Tak butuh waktu lama mengetahui siapa penulis itu. Terdiam dan tersenyum yang saat ini dilakukannya. Dan tak perlu waktu yang lama untuk memaknai apa isi tulisannya.

“Dasar.” Kedua tangannya bersedekap dengan kepala yang terus menggeleng ketika memandangnya.

Namun tiba-tiba dari kesunyian yang diciptakan, terdengar suara hp yang memecah keheningan.

“Eh siapa Tar, gue jadi kepo nih?” pekik Karin yang terdengar sangat excited.

“Masa iya, gue dikasih puisinya Kahlil Gibran. Gue enggak bisa dibohongi, meskipun enggak gue cek di internet.”

“Siapaaaa?”

“Lo pasti kaget deh.”

Lihat selengkapnya