Diary…
Entah sudah berapa lama aku enggak curhat, sudah lama sekali memang. Mungkin 2 tahun yang lalu, tak terasa.
Oh yaa, aku semakin pusing dengan tugas-tugasku lelah aku memikirkannya. Kenapa coba semakin lama semakin numpuk. Sebel banget sama guru-guru jaman sekarang. Tega bener sama muridnya. Hufft.
Sudah lama juga kali ya, aku enggak cerita tentang Reivan. Sekarang lagi apa, tidur? Nonton bola? Atau??? Kenapa pikirianku enggak pernah hilang tentang dia. Kemaren aku iseng-iseng buka twiternya, fotonya dia enggak berubah sama sekali. Tapi percuma saja, cuman liat fotonya doang, kabarnya? Aku juga enggak tahu, dia terlalu tertutup dan jarang aktif di media social.
Apa dia inget aku enggak ya? Apa dia enggak akan pernah kembali kesini? Apa jika dia bertemu denganku, dia masih mau berteman denganku lagi?
Karin beranjak menuju tempat tidurnya dan segera pergi tidur. Tak lupa Karin juga membawa buku diary-nya yang selalu ia genggam di saat tidur, setelah ia menuliskan semua isi hatinya dalam buku itu. Buku diary yang menurut ia special, ia hiaskan berupa daun-daun kering yang menguning berupa sampul penuh dan setiap halaman kertas juga berupa daun olahan yang berwarna coklat muda yang telah menghiasi hari-harinya selama 6 tahun lamanya. Tak terasa memang, meskipun ia jarang menulis. Tak lama, Karin mulai menutup matanya dengan senyuman kecil dan sambil ia berdoa dalam hatinya “Semoga perasaan ini tak kan hilang, meskipun hanya dalam diri ku saja yang merasakannya”. Karin pun mulai terlelap dengan mimpi-mimpinya.
KARIIIINNNNNNN…….. Bangun!!!!!!
“Bangun, sudah jam berapa ini. Ditinggal Papa tahu rasa kamu!” teriak Mama Karin menggoncang-goncangkan tubuh Karin yang mulai bergerak.
Matahari dengan sigapnya menyeruak tanpa permisi kepada pemilik kamar, Karin. Dengan kamar berukuran 6x4 m2 , nampak cahaya matahari menyeluruh di setiap sudut kamar. Masih dengan keadaan merangkul guling yang tidak lagi segembul pertama kali dibeli. Mengetahui Mamanya sekarang tepat berada dibelakang tubuhnya, Karin semakin menjauh agar tak ada kontak fisik “mencubit” yang selalu dilakukan Mama Karin.
Ternyata, bukan seorang Ibu jika tidak bisa mengenal anaknya yang telah dirawat selama hampir 16 tahun. Ada trik baru saat membangunkan anak gadisnya ini, meniup lubang telinganya sekeras mungkin. Ini trik baru dan ternyata berhasil. Tubuh Karin menggeliat berguling ke kanan ke kiri. Terpaksa, hari ini ia menyerah.
“Iyaa Ma, ini Karin bangun. Aaahhhh.” Kretek kretek Karin mulai duduk sambil menggerak-gerakkan tangannya yang lelah karena hingga ia bangun buku diary-nya masih berada digenggamam.
“Kamu ya kalo habis nulis diary pasti bangun telat, bosen Mama ngebangunin kamu.”
Matahari pun akhirnya menyilaukan kedua mata Karin, segera dia menggunakan punggung tangan kanannya untuk menutupi silau terik matahari. Matanya tetap saja memicing, tak kuasa menahan silaunya mentari pagi.
“Cepet mandi sana, Papa pagi ini mau meeting jadi berangkatnya agak pagian,” ucap Mama Karin saat menuju pintu keluar sambil tetap memperingatkannya.
“Papa berangkat jam berapa Ma?” wajah Karin terlihat sangat kucel, kedua matanya yang mengeluarkan belek ia kucek terus menerus.
“Ohh, jam enam.”
Ketika mendengar angka enam dari mulut Mamanya yang begitu datar, matanya langsung membelalak mencari jam dinding dan jam weker di sebelah bantal. Sial! Kebiasaan Karin selalu mematikan tanpa sadar saat jam weker berbunyi. Selain jam weker, Karin juga menggukan hp-nya untuk alarm. Namun semua alarm itu tidak berguna. Alarm yang paling ampuh hanya teriakan Mamanya.
“Kenapa kok enggak dibangunin dari tadi sih Ma!!” gerutu Karin ke Mamanya dengan berjalan cepat menuju kamar mandi.
“Salah siapa tidur kok senyum senyum sendiri, Mama tunggu dibawah.”
Sudah biasa memang melihat kelakuan Karina Salsabila Hutomo setiap paginya dengan sang Mama, Melati Kirana. Papanya, Roy Hutomo hanya bisa menggelengkan kepala ketika melihat sang Istri dan Anak tunggalnya . Karin memang anak tunggal dari pasangan suami istri Melati dan Roy, tetapi bagi Mamanya anak tunggal tak selalu harus dimanja. Berbeda lagi dengan Papanya, Papanya selalu memanjakan Karin karena anak gadis sematawayangnya. Apapun keinginan Karin selalu terpenuhi oleh Papanya, meskipun sang Mama terus melarang. Namun meskipun ia tahu kalau keluarganya dari orang berada, ia tak sering meminta yang macam-macam ke orang tuanya. Karena Karin sadar bahwa semua yang diinginkan tidak dapat diperolehnya dengan mudah.
“Ma, nanti Karin pulang telat. Karin jadi panitia di acara sekolah.”