Tak terasa Februari telah berganti menjadi Maret, Trio kwek-kwek bersatu teguh terpilih menjadi panitia. Karin dan Tari menjadi panitia sponsor sedangkan Poppy menjadi divisi konsumsi, sehingga semua panitia kini lebih sering pulang terlambat. Mama Karin juga selalu membuat bekal roti choco hazelnut kesukaan Karin. Karena peratandingan cheers dan bola basket SMA BAKTI MULIA menjadi ajang yang paling dinanti-nanti, membuat mereka bertiga cukup sulit hanya untuk bercurhat ria atau pun hanya sekedar ke kantin bersama. Hal ini yang membuat Karin dan Tari sering terlihat berdua saja, sedangkan Poppy asyik dengan kegiatan terbaru yaitu mencari menu makanan.
Maret minggu ke-2 adalah rapat pertama kalinya antara divisi sponsor dan koordinasi lapangan. Banyak wajah yang tak dikenal Karin, hanya segelintir orang yang dia bisa kenal. Tiba-tiba Tari tersentak yang hampir saja mengagetkan teman sebelahnya dan juga Karin, dia langsung menutup mulutnya karena begitu terkesiap. Saat itu memang semua anggota bagian divisi koordinasi lapangan baru saja masuk ke ruang rapat. Tak disangka ada hal ganjil yang membuat Tari terperangah.
“Eh lo Tar, bisa diem dikit enggak sih.” gerutu Karin.
Tari menepuk bahu Karin dan berbisik. “Lohh itu kan….Rin, itu yang gue maksud kakak kelas yang nolongin gue jatuh di tangga!!” Tanpa ragu Tari menunjuk Rangga, yang untung saja Rangga saat itu tak sadar menjadi titik fokus antara Karin dan Tari.
Tatapan Karin langsung ke arah cowok yang ditunjuk Tari. “Gile tu cowok, beruntung lo Tar dipijitin sama dia. Masuk buku rekor kenangan lo pasti.” Karin menggelengkan kepala karena cowok yang ngebantuin Tari baginya sungguh bagaikan Pangeran nyata baginya dan tentu saja Tari.
Pangeran nyata?!? yap baginya, tak diragukan lagi cowok yang menolong Tari udah tinggi bak pemain basket, cakep, wajah kalemnya menenangkan dunia bisa dibilang bagaikan Ansel Elgort. Senyumnya aduh enggak nahan, dan satu lagi cowok ganteng kan biasanya sombong. Ada orang jatuh paling cuman bisa diketawain. Dia? enggak ragu buat nolongin, dipijitan pula. Cewek beruntung yang bisa dapet dia.
“Beruntung abis.” Tari menelan air liurnya seakan tak percaya bahwa dia bisa bertemu lagi.
Kedua bola matanya tak bisa pergi, dan terus mengikuti langkah cowok itu. Tari mengakui sendiri bahwa dia memang cewek tomboy, namun dia masih waras dengan pesona yang dipancarkan Rangga. Bodoh jika Tari tidak tertegun saat Rangga mencoba membantu Tari kala itu.
“Ntar lo jangan lupa bilang thanks ke dia Tar.” Karin kembali mengingatkan Tari dan mengakhiri lamunannya.
Kembali Karin fokus ke papan pengumaman dan kemudian mencatat beberapa yang tertinggal. Namun ketika Karin menengok ke arah Tari, dilihatnya mulut Tari tetap terbuka sejak tadi dan kedua matanya tidak berkedip sedikit pun.
“Beruntung abis emang gue.” Tari tetap saja masih ngelamun. Entah apa yang dipikirkan Tari saat itu.
“TARRRR!!!!!!!!!”
Setelah semua anggota divisi sponsor dan koordinasi lapangan masuk, mereka semua mulai memperkenalkan diri masing-masing dari ketua hingga anggota-anggotanya. Divisi yang pertama kali memperkenalkan adalah divisi sponsor, yang saat itu juga waktunya Karin dan Tari.
“Terima kasih, nama saya Karina Salsabila Hutomo kelas X-3 sebagai anggota.”
Kemudian lanjut Tari. “Terima kasih, nama saya Mentari Kusuma kelas X-3 sebagai anggota.”
Hingga giliran bagian divisi koordinasi lapangan mulai memperkenalkan diri, yang tak disangka Rangga adalah wakil dari bagian divisi itu.
“Terima kasih, nama saya Rangga Suryo Wiguna kelas XI IPS 2 sebagai wakil ketua,” ucapnya lantang.
Tak terasa 1,5 jam kemudian kedua divisi itu selesai membahas lomba yang akan dilaksanakan SMA BAKTI MULIA. Saat itu Karin dan Tari sedang duduk di pinggir lapangan basket sambil menyantap roti choco hazelnut buatan Mama Karin.
“Hei Tari.”
Saat mendengar ada seseorang yang memanggil nama Tari, mereka berdua menengok ke arah suara. Pemilik suara itu kemudian berjalan ke pinggir lapangan basket setelah selesai urusan dengan beberapa anggota divisi koordinasi lapangan. Dengan santainya memanggil nama tanpa dia ketahui pemilik nama itu sekarang pipinya cukup merah merekah dengan pandagannya saling bersatuan dengan Karin.
“Gimana, kaki lo gapapa kan waktu jatuh dulu?” Rangga menepuk bahu Tari.
“Oh gapapa kok Kak, makasih banget ya waktu itu. Tapi kok Kakak tahu namaku?” Matanya mengikuti gerak Rangga yang saat itu duduk di sebelah Tari.
Sebenarnya bukan hanya Tari yang tersipu malu, sahabat yang di sebelahnya ini seperti ikut tersihir juga meskipun hanya bisa tertawa kecil dibalik kepalanya yang menunduk.
“Ya tahu lah, tadi kan lo udah kenalin nama. Oh ya lo Karin ya? Temennya Tari?”
Tiba-tiba Rangga menguluran tangannya ke Karin yang saat itu cukup terjekut dirinya terlibat dengan dua manusia layaknya seorang yang sedang PDKT. Padahal mulutnya penuh dengan bekal roti dan tangannya cukup kotor untuk menerima jabat tangan Rangga.
“Rangga.”
“Karin. Mau roti Kak?” Berusaha basa-basi dengan suara sedikit tidak jelas karena menguyah.
“Boleh juga, rasa apa?”
“Choco hazelnut.”sambung Tari.
“Eh bentar, hidungmu ada remahan.” Tangan Rangga langsung mengusap hidung Karin.
Benar saja, perasaan salah tingkah itu ternyata memang bisa menular. Mata Karin sesaat berkedip beberapa kali hingga tiba-tiba kaki Tari menggoyangkan kaki Karin sebagai pertanda isyarat antar sahabat.
“Tar, kenapa dia?Maksudnya apa ini.”
“Mana gue tahu. Shock banget, apalagi gue diantara kalian.”
Seolah tidak terjadi apa-apa Rangga melanjutkan makannya. “Rotinya enak loh, kapan-kapan buatin lagi ya.”
Tersentak, terkesiap, dan tak tahu apa yang harus dilakukan menyelimuti Karin. Apel pipinya tiba-tiba bersemu merah. Kedua bola matanya masih menatap Rangga, dimana cukup kentara melihat Rangga yang terlihat jelas menahan tawa sambil menggigit roti pemberiannya. Jika Karin dapat melihat Rangga yang seperti itu apalagi dirinya dan Tari di hadapan Rangga. Bisa diibaratkan, seorang remaja dengan blush on ketampol.
Beberapa menit setelah kejadian itu, ketiganya hening. Rangga masih di tempat dengan hp, seakan tidak pernah membuat onar hati dua wanita disampingnya. Tari mengayunkan kedua kakinya dan Karin mencoba menetralkan pikiranya dengan menghabiskan bekalnya cukup rakus.
Tak disangka, diantara keheningan mereka bertiga, ada nada dering yang memecahkan. Ternyata nada dering itu kepunyaan nada panggilan Tari. Tanpa Karin perlu mendengar percakaan Tari, Karin bisa tahu itu panggilan Mama Tari jika dilihat mimik wajahnya.
Kedua kakinya bedentam bergantian. Gumamnya “Mati gue”. Beberapa kali sorot mata Rangga melirik tepat ke iris mata Karin. Mengetahui sorot mereka bertemu, Karin langsung beralih melihat beberapa cowok yang masih bermain basket. Bibir Rangga tersimbol tawa yang tidak bersuara.
“Rin, gue pulang dulu ntar gue telepon ya. Kak Rangga pulang dulu ya. Bye..” Tari menuju mobilnya mulai tertawa kecil karena melihat wajah temannya yang mulai kikuk.
“Loh Tar tungguin gue, gue belum dijemput!!” Teriak cukup keras ke arah Tari.
“Kan ada Kak Rangga Rin, udah ya byee…” ucapnya sedikit menengok, setelah itu berjalan lurus tanpa menengok ke kanan ke kiri ataupun kebelakang.