Dia Diantara Curhat Kamu

anakucilibo
Chapter #1

Tukang Tepung.

Tidak ada hari yang sama karna akan membawa cerita tersendiri , bersama guratan pena yang menceritakan tentang perjalanan hidup seseorang.

Malam ini di kampung Dadap yang berada di atas bukit udara terasa dingin sedikit berkabut, lampu-lampu kota cianjur terlihat sangat sahdu tidak seperti hamparan permadani yang indah, aku yang bete dan bosan karna rutinitas hanya menatap kosong ke depan, suasana ga gitu asik tidur aja deh, pikirku beranjak turun dan tidur di kamar, pagi-pagi setelah sholat subuh aku kembali tidur, bermimpi indah melihat para bidadari sampai akhirnya sayup-sayup suara merasuk telinga, suara sember yang mengusir semua bidadari pergi ketakutan dan semakin lama terdengar semakin kencang.

"Ceeeppp, ceceeeep!" seru emak berteriak memanggil-manggil, melangkah cepat menuju kamar membawa serbet andalan dan melihat putra semata wayang masih tidur pulas, dia menyipitkan mata dengan wajah kesal, "bangun cep, udah terang mau ada tamu jangan molor wae!" serunya menarik bantal dan memukul kaki dengan serbet sakti, membangunkan putranya yang masih ingin bermimpi bertemu bidadari.

"Masih pagi mak," balasku karna masih mengantuk, membalikan badan berusaha kembali mengingat para bidadari, aku akan mengejar mereka dengan kembali tidur, menyusun tekad kuat dan membuatnya menjadi kenyataan.

Emak menjadi sangat kesal kembali menyabetan serbet yang di pegangnya ke kaki dengan jurus maut, "di kasih tau mandi sana!" serunya melotot marah dan memasang muka galak.

Aku bangun perlahan karna masih mengantuk, duduk di kasur menguap lebar meliriknya yang sudah sangat kesal, ada aja si emak pagi-pagi ribut, pikirku meliriknya sedang melotot, dia tiba-tiba mengambil ancang-ancang menyebetkan serbet karna habis kesabaran, "heiiiitss" mengelak cepat, segera beranjak ke kamar mandi, lebih baik kabur dari pada masalah jadi panjang.

"Hiihhh!" seru emak karna aku bisa menghindari sabetan serbetnya, dia terus melotot kesal melihatku kabur ke arah kamar mandi.

Pagi ini abah dan emak terlihat sangat sibuk, bersih-bersih rumah serta membereskan ruang tamu, setelah selesai mandi aku sengaja melangkah perlahan karna hati ini berdersir tidak enak, emak tiba-tiba membalikan badan sambil melotot kesal, "benahin kasur sana!" terus menatapku yang mengangguk-angguk dan melangkah ke kamar, "pake baju yang bagusan, jangan pake baju buat kerja!" serunya kembali.

"Ya mak," balasku merasa malas pagi ini, sesekali menguap dan menutup pintu kemudian membereskan kasur, memakai baju bagus sambil terus menguap karna masih ingin lanjut tidur, setelah beres keluar kamar emak langsung melihatku dari kepala sampai kaki melakukan inspeksi, dia menilai dan menimbang penampilanku apakah berpakaian rapih atau tidak sesuai arahannya, setelah beberapa saat dia mengangguk-angguk kemudian kembali melangkah untuk berbenah.

Aman, pikirku dan melirik abah yang senyum-senyum sambil membereskan kursi, "siapa sih mak yang mau dateng?" tanyaku keheranan karna mereka pagi-pagi sudah beres-beres, emak tersenyum lebar ke abah yang hanya diam mendengar pertanyaanku, mereka saling memberi kode penuh arti kemudian menatapku dengan senyum yang membuat darah ini berdesir, gawat, ucapku dalam hati mendengar alarm tanda bahaya tiba-tiba menyala memberi peringatan.

"Kabur kabur kabur kabur!" suara alarm memberi peringatan dini untuk segera melarikan diri.

"Bapaknya neng Tita," jawab emak dengan santai melangkah ke dapur mengambil cemilan, sontak aku tersentak kaget dan merasakan jantung ini berpacu kencang, waduh ga bisa kabur, pikirku melirik ke kiri dan ke kanan karna waspada dan mencari celah untuk melarikan diri, melihat emak kembali ke ruang tamu sambil tersenyum lebar karna aku yang seketika pucat pasi di tambah abah yang hanya diam berusaha menahan tawa, memberi kode-kode ke emak yang terus tersenyum lebar, "ga bisa kabur," ucapnya dan tertawa lepas bersama emak.

Duh, ini lagi, pikirku mengingat di jodohkan dengan neng Tita, berpikir cepat mencari alasan karna alarm tanda bahaya semakin keras memberi peringatan, "eh lupa ada pesanan di pa," segera berdiri dan bergerak ke arah dapur tapi emak langsung melotot kesal, "ga ada alesan!" potongnya, "suruh si Ujang kalo mau ke pasar!" dan dia duduk di kursi ruang tamu menunjukan superioritasnya, "duduk sini!" perintahnya.

Aku ikut duduk dengan tubuh lemas, menatapnya dengan wajah memelas, melempar kode membiarkan aku terbang bebas tapi dia malah melotot kesal, haduh, ucapku dalam hati berpikir cepat dan mencoba mencari satria pembela kebenaran, melirik abah tapi dia langsung membuang muka dan tertawa lepas tidak peduli, habis harapan, pikirku hanya bisa pasrah terduduk lemas.

Hari ini kami kedatangan tamu istimewa menurut abah dan emak, tapi tidak menurutku ini adalah tamu yang harus di hindari, sebisa mungkin menjauh dengan jarak minimal Papua - Cianjur, tapi apa daya hari ini tangan dan kaki terikat, hanya bisa duduk pasrah melirik jam yang tiba-tiba ngebut sejadi-jadinya.

Mang Iyot bapaknya neng Tita datang dengan wajah sangat gembira karna aku ikut menyambutnya "assalamualaikum," salamnya saat masuk ke dalam rumah.

"Walaikum salam," balas kita dan duduk bersama di ruang tamu.

"Apa kabar Cep?" tanya mang Iyot langsung tersenyum simpul, menyiapkan jebakan maut memperhatikan targetnya kurang persiapan.

"Alhamdulillah baik mang," balasku segera bersiap dengan segala kemampuan dan memperhatikan gerak-geriknya dengan waspada, harus siap ini mah, pikirku karna wajahnya sangat ceria.

Mang Iyot dengan segudang pengalaman sebagai mak comblang bisa membaca gerak-gerik target, dia sesekali melirik mencari celah, menyelipkan serangan untuk memancing dan tersenyum simpul melihat sikapku, dah mulai siap-siap dia, pikirnya karna aku terlihat sangat berhati-hati, dia segera mengalihkan pandangan ke abah ngobrol ngalor-ngidul, sesekali menyenggol perjodohan putrinya, aku hanya diam senyum-senyum karna emak terus melirik dengan tatapan mengancam.

"Awas jangan kabur."

Hhhhmmm, aku menarik napas dalam mencoba untuk tenang, mendengarkan mang Iyot sesekali mempromosikan putrinya seperti iklan yang tiada habisnya, dia seperti mengulang-ulang, mencoba mencuci otak kalau putrinya adalah product terbaik di kampung ini bahkan ketenarannya sampai ke kampung seberang, dan pesonanya meliputi kawasan kota cianjur, dia selalu bercerita kalau sang putri adalah seorang wanita cantik berkulit bersih yang sholeh, berwatak lembut serta pengertian, terpilih menjadi salah satu bunga desa nomor satu yang idolakan seluruh para pemuda kampung, dan menjadi rebutan kampung tetangga serta menggegerkan kota cianjur.

Mmmmmm, ini sesuatu yang sangat berlebihan menurutku, tapi itu adalah uangkapan mang Iyot bapaknya, protes bukan opsi yang bagus, dapat menimbulkan perdebatan panjang tanpa data yang tidak berujung.

Hhhhhmmm, aku hanya bisa menghela napas panjang, ingin mulai ini dengan jujur, maaf tidak bermaksud menyinggung tapi ini kenyataan, neng Tita itu biasa aja, kalau menggunakan skala pengukur hampir mentok ke arah bawah, bertubuh agak gemuk dengan dandanan menor sangat maksimal, bisa ibaratkan dia selalu terlihat terang benderang hingga merusak pemandangan, di tambah sangat cerewet sampai kuping ini minta ampun, aku pusing saat pertama kali bertemu ga kebagian ngomong, napas juga sulit karna dia terus berbicara beragam hal entah apa yang di maksud.

Perjodohan ini sangat di paksakan oleh kubu mang Iyot, ini semua cuma karna dia dan abah telah berteman dekat sejak kecil, teman sepermainan di kampung sering mandiin kerbau bareng, mereka juga sama-sama penggerak budaya sunda, mang Iyot lebih ke musik dengan pasukannya yang siap menggoyang melalui iringan kendang sedangkan abah lebih ke adat istiadat, kubu mang Iyot membungkus semua itu dengan rapih menjadi kado berisi jebakan.

Saat ini posisiku juga sangat tidak menguntungkan di tambah tampang yang pas-pasan, beruntung tidak condong ke bawah tapi tetap saja membuatku terpojok, karna bunga desa rata-rata sudah menikah dengan para perantau atau anak juragan kampung yang sering show off, wara-wiri dengan kendaraan baru lengkap dengan gimbal untuk vloging.

Abah dan emak juga sudah sangat sering memaksaku untuk segera menikah, mereka ingin punya cucu seperti tetangga yang lain atau rekan mereka, terbayang pada suatu waktu mereka memanggilku, kita duduk di saung bertiga kemudian mereka menyerang secara bersamaan dengan sangat brutal.

"Kapan mau nikah umur udah 27, gimana nanti punya anak abah mau momong cucu!" ucap abah dengan kesal di tambah emak yang terus membumbui, menggoreng isu sensitif menjadi sangat crispy, sesekali menyelipkan jurus maut menjadi serangan kombo tidak terduga, aku tidak bisa melawan hanya diam terpojok merenung menatap mereka berdua, mak abah, wajah ini turunan kalian jadi harap maklum, ucapku dalam hati.

Pagi ini mang Iyot yang terus mempelajari gerak-gerikku sengaja berlama-lama dan bertele-tele, dia sesekali menyelingi dengan beragam serangan-serangan kecil yang tidak terduga, mencari-cari celah untuk memasukan pukulan telak dengan sesekali menyindir tentang perjodohan, aku lama-lama bosan sampai akhirnya dia tersenyum senang saat melirikku yang mulai tidak waspada.

Aku yang sudah sangat bosan tidak sengaja memperhatikan giginya, satu gigi tersisa dari deretan gigi yang sebelumnya ada tapi lama-lama terhipnotis, bengong seperti orang bodoh mendengar rentetan ucapan yang di keluarkan mulut kempotnya.

Lihat selengkapnya