Hari berganti kesibukan di mulai, rutinitas yang dulu menurutku membosankan harus di jalani kembali, pagi tadi saat sarapan aku sadar hari ini terasa sangat berbeda, sebuah keceriaan datang saat mendengat suara tawa canda di meja makan, aku sampai kembali teringat ucapan emak.
Tiga bulan pertama saat kembali ke kampung sangat terberat untukku, waktu yang berjalan pelan serta aktifitas yang itu-itu aja membuat otak ini tumpul, merubah kebiasaan hidup di kota yang cepat serta tidak peduli sekitar sangat berlawanan dengan keadaan saat ini, waktu yang bergerak lambat serta harus peduli sekitar, norma-norma yang dulu di abaikan tidak bisa lagi di abaikan. Aku stress sampai kehilangan nafsu makan merasa hal ini terlalu berat, emak yang terus memperhatikan akhirnya memanggilku.
"Kenapa?" tanya emak menatap putranya yang terlihat sangat murung.
"Cecep stress mak, pengen balik ke Jakarta," balasku dengan jujur, "bosen mak, setiap hari selalu sama ga ada yang beda," mengingat rutinitas membuat tepung, "kalau di Jakarta setiap hari pasti ada yang beda," mengeluarkan gundah di hati.
Emak hanya tersenyum mendengarnya, "Cep, coba besok ke mang Doni, dia ga ada listrik," balasnya malah menyuruhku, "si Ujang biar bantuin di sini, jadi bisa nemenin ke pasar," dan menatapku dengan dalam, "setiap hari itu pasti beda-beda, rasain, nikmatin, coba ikutin kata emak, kalau masih sama Cecep boleh balik ke Jakarta," kemudian beranjak pergi, aku hanya menghela napas panjang, emak ga kasih solusi, pikirku mencoba bertahan sampai abah sembuh.
Pagi ini aku tersenyum sendiri mengingat ucapan emak, dia benar dan sangat benar tidak ada yang hari yang sama karna waktu selalu membawa kabar yang berbeda, mengehela napas panjang mengecek applikasi bikinan Nugroho untuk memonitor stok serta penjualan, melihat stok di pasar sudah mulai menipis harus segera di isi lagi, kepasar, pikirku melangkah santai ke arah gudang.
Ujang baru datang dengan wajah ceria, dia memiliki insting kuat kapan akan ke pasar tanpa perlu melihat data, "kepasar hari ini nyak a?" tersenyum lebar mengingat bakso langganan.
"Besok aja," ledekku pura-pura acuh tapi dia malah tertawa lepas tidak bisa di bohongi, dasar tau aja lagi, pikirku terus melangkah ke gudang dan merasakan hp ini bergetar, dah pada pesen, pikirku mengingat saat stok menipis para langganan sering mengirimkan pesan.
Degh, jantung ini seperti berhenti saat melihat pesan yang masuk, "neng mau mampir ke rumah bawa makanan buat aak," pesan neng Tita, alarm menyala kencang menandakan waktunya kabur, aku segera membalas pesannya karna kalau tidak dia akan langsung datang, "ya makasih, ga usah repot-repot," balasku dan menarik tangan Ujang, "ayok ke pasar," ajakku sangat wajah panik karna berpacu dengan waktu, emak pasti ngamuk kalau dia datang aku malah pergi.
Ujang tertawa lepas melihat wajahku, dia ikut melangkah cepat ke arah tumpukan karung yang siap di jual, kadang atau bisa di bilang sering kali aku menyuruh dia ke pasar untuk mengisi stok di agen, aku hanya ke pasar bila ada ke butuhan lain, jadi dia sangat mengerti strategi ini, "mampir warung bakso!" serunya mengangkat karung dan bergegas ke mobil.
"Ok," balasku ikut mengangkat karung dan berbegas ke mobil.
Ujang kembali dengan cepat dan mengangkat dua karung sekaligus, "bakso dua mangkok," ucapnya dengan riang mengangkat karung ke mobil bak.
"Beli sama gerobaknya," balasku yang panik.
"Ok," balas Ujang kembali mengangkat dua karung.
Kita terus mondar-mandir mengangkat tepung hasil produksi, berusaha sekuat tenaga dan secepat mungkin tapi tetap saja tidak bisa mengisi banyak, berlomba dengan waktu yang tiba-tiba ikut berputar sangat cepat.
"Ayook buruan," seruku melihat jam dinding seperti seperti sedang berlari.
Ujang tersenyum lebar bergegas mengangkat beberapa karung sekaligus, "kabur takut kuping panas!" serunya dan tertawa lepas.
Emak yang mendengar seruannya keluar dari dapur, memperhatikan kita berdua seperti sedang lomba angkat karung, aya naon, pikirnya terus memperhatikan, dan melihatku tiba-tiba berlari ke arah tangga, "mau kemana cep?" kebingungan karna aku terburu-buru naik ke kamar, dia hanya diam melihat Ujang yang tertawa-tawa terus mengangkat karung.
Tak lama aku turun bergegas ke arah mobil, "Cep, mau kamana, kenapa buru-buru?" tanya emak semakin kebingungan.
"Ke pasar mak anter tepung," jawabku segera masuk ke dalam mobil kemudian pergi dengan terburu-buru, "Kabuuuuuuur!" seru Ujang yang duduk di sampingku.
"Issshh, emang dasar!" seru emak dengan kesal, dia akhirnya tau aku sedang menghindari neng Tita, melangkah cepat ke depan menggelengkan kepalanya, "iiiihhhhh," gumamnya gemas sendiri ingin memukul dengan serbet.
Biasanya kalau akan kepasar aku dan Ujang sudah bersiap sebelumnya, mobil bak kita penuhkan karna sayang kalau harus ke pasar dengan muatan sedikit, tapi aku lebih sayang kuping kalau harus menerima ocehan dari neng Tita, karna berefek menghilangkan nafsu makan.
Aline, Dita dan Abah yang baru pulang keliling kampung melihat mobil pergi dari gudang dan emak yang berdiri melihat ke arah mobil pergi.
"Si cecep mau kemana bah?" tanya Aline penasaran.
Abah menggeleng-gelengkan kepala karna sudah tau modus ini, dia melihat muatan yang sangat sedikit, "ke pasar jualan tepung," jawabnya masuk ke dalam rumah melihat emak yang menatapnya ikut menggelengkan kepala.
"Kabur dia ketakutan," ucap emak penuh arti dan abah hanya menarik napas dalam, mereka melangkah masuk ke rumah tak lama saling melirik kemudian tersenyum geli bersama, Aline memperhatikan dengan seksama mereka saling berbisik, dia memberi kode Dita yang hanya diam mengangkat bahu, segera masuk ke kamar dan keluar membuka laptopnya tapi Aline terus memperhatikan mereka berdua yang duduk di ruang makan dengan penuh tanya.
"Mau dateng?" tanya abah berusaha menahan tawanya.
"Iya sih kayaknya, tadi langsung buru-buru gitu," balas emak mengingat-ingat, "angkat tepung kayak lomba tujuh belasan," lanjutnya sangat serius.
"Panik pasti mukanya," ucap abah dan tertawa geli bersama emak, Aline terus memperhatikan mereka berdua dengan penuh tanya.
Emak menarik napas dalam menahan tawa, "mukanya kayak abis liat apa gitu," balasnya kembali tertawa geli bersama abah.
Aline yang terus memperhatikan sikap mereka mengambil kesimpulan, ada sesuatu buat tambahan tulisan, pikirnya tiba-tiba merasa senang, dia melangkah ke kamar dan kembali keluar membawa laptop, segera duduk membuka laptop mulai menulis sambil mendengarkan abah serta emak sesekali tertawa geli membicarakan seorang wanita yang bernama neng Tita, keningnya berkerut mencoba merangkum informasi, ada apa dengan dia, jadi sangat menarik, pikirnya senyum-senyum sendiri dan melanjutkan tulisannya.
Sekitar 10 menit kemudian sebuah motor parkir di depan gerbang rumah, Aline segera melihat ke arah luar, memperhatikan seorang wanita dengan tubuh agak gemuk berpakaian merah mencolok, dandanannya sangat maksimal mengalahkan seorang pengantin apa lagi cuma tamu, turun dari motor berkaca di spion dan mengambil sebuah bungkusan, ini pasti orangnya, pikirnya melirik emak bersama abah segera melangkah ke ruang tamu.
"Assalamualaikum," salam neng Tita saat masuk ke dalam rumah, salim dengan emak dan abah kemudian menyerahkan makanan, dia melirik kebingungan ke Dita yang sibuk membuka laptop dan wanita bule yang tersenyum lebar.
Pelengkap cerita dan topik baru, pikir Aline terus menatapnya yang kebingungan.
Emak segera memperkenalkan neng Tita kepada mereka berdua, "neng Aline, neng Dita kenalin ini neng Tita," ucapnya dengan wajah menyimpan tawa.