Dia Diantara Curhat Kamu

anakucilibo
Chapter #4

Sederhana Dan Bersahaja.

Dita sibuk menulis tentang perekonomian di kampung ini, dia menghitung pengeluaran untuk makan siang dan mengkalkulasi semua pengeluaran yang ada, duduk diam berpikir dengan serius, memperhatikan kondisi rumah yang dia tempati saat ini sangat sederhana, berapa pemasukan mereka dari jualan tepung, pikirnya dan melangkah keluar.

Merenung sendiri dan ingin bertanya kepada abah atau kepadaku tapi merasa sungkan, dia hanya diam memperhatian kondisi rumah dari depan, uang kontrakan dan uang makan kita bisa membantu mereka, pikirnya mengingat mendapatkan akomodasi dari kantor, membuat kalkulasi sendiri dan menyimpulkan kalau kami berada di golongan ekonomi menengah ke bawah.

Rumah kami memang tidak bagus, malah bisa di bilang sangat sederhana, perabotan tua yang sudah jadul menghiasi se isi rumah, satu-satunya yang baru cuma mobil bak warna hitam, mobil bak yang dulu sudah sering mogok dan aku menyerah membetulkannya, kadang aku teringat ucapan Aris rekan kampus.

"Tinggal di kampung gaji Jakarta."

Terkesan enak tapi ternyata tidak seperti yang di bayangkan, banyak norma yang tidak bisa di langgar, terpaan gosip dari kiri kanan sampai kadang aku ingin kembali ke Jakarta, tidak kuat dengan gosip hangat, gosip panas sampai kabar menghebohkan yang bisa menggegerkan kampung, aku sadar ada sebuah harga yang harus di bayar walaupun tidak dalam berbentuk uang.

Setelah mengambil kertas, pulpen serta meteran di kamar penyimpanan barang aku kembali ke tempat produksi, mulai corat-coret di kertas kemudian melamun membayangkan alur dari pengaduk ke mesin packing, duduk termenung melihat Ujang sedang produksi tepung.

Emak menghampiri dari dapur, "melamun wae," ucapnya membuyarkan lamunan, tapi aku hanya diam tersenyum datar melihat dia duduk sambil terus menatapku yang hanya diam, "kumaha sih, malah kabur, si neng Tita bilang udah WA ke kamu?" menatap dengan serius tapi wajahnya seperti meledek, dia sama sekali tidak peduli dengan penderitaanku saat menghadapi neng Tita, ini adalah sebuah hiburan tersendiri untuknya.

Aku menarik napas dalam kembali tersenyum datar karna sudah tau dia hanya ingin meledek, "Cecep takut mak, ngeri kalau inget neng Tita," jawabku dengan polos, dia langsung tertawa geli, menepuk-nepuk meja sampai Ujang ikut tertawa lepas tidak tahan mendengar tawanya, aku hanya diam melihat mereka berdua terus tertawa, sama sekali tidak peduli ketakutanku sampai akhirnya mereka puas tertawa.

Hhhhhmmm, emak menarik napas dalam beberapa kali agar tidak kembali tertawa, "ya udah terserah," ucapnya kembali ke rumah dan tertawa geli sendiri di dekat dapur.

Abah yang penasaran sampai mendatanginya, "kenapa?" dan melongok ke arahku.

Mmmmmm, si abah, pikirku pura-pura mengalihkan pandangan karna sudah tau akhirnya akan seperti apa.

Emak berbisik ke abah dan mereka tertawa geli, mendapatkan hiburan di atas penderitaan putra semata wayang mereka, aku hanya diam tersenyum kecut melirik Ujang ikut tertawa lepas, ahhh, sudahlah, pikirku beranjak ke atas dan tawa mereka semakin keras.

"Hadeeh, kumaha sih," gerutuku masuk ke kamar, duduk di lantai membuka laptop mencoba mengalihkan pikiran, membuat design dari coretan di kertas tapi otak ini seperti sedang demo, tidak ada ide keluar akhirnya turun membantu Ujang.

Di ruang tamu otak Aline juga tiba-tiba mandek, merenung mencoba berpikir dan tak lama senyum lebar terlukis di wajahnya, dia segera berdiri dengan penuh semangat, harus kembali observasi, pikirnya melangkah santai ke arah gudang, memasukan ke dua tangan di kantong celana siap melontarkan banyak pertanyaan.

Aku tersenyum kecut melihat dia datang dengan senyum lebar di wajah, aduh, dia dateng, pikirku segera mencari alasan.

"Cep, pamali itu apa?" tanya Aline sengaja memancing dengan melemparkan pertanyaan mudah.

Alhamdulillah encer ini mah, pikirku terpancing dan langsung mengajaknya berdiskusi serius menunjukan kelasku.

Kena, keliatan polos sekali, pikir Aline memperhatikan sikapku dan kembali melempar pertanyaan mudah, "contoh norma apa aja kalau di budaya sunda?" terus melakukan observasi.

"Yah, banyak dan sebenarnya ga beda sama daerah lain," jawabku dengan santai menerangkan norma-norma yang berjalan di kampung ini.

Kita terus berdiskusi santai tapi tak lama kelamaan Aline mulai melemparkan pertanyaan yang sangat sulit, "jadi apa hubungan norma budaya dengan kondisi wilayah serta pengaruhnya dengan perkembangan ekonomi warga sekitar?"

Aku langsung gelapan, waduh, skripsi itu mah, pikirku menatap matanya yang berbinar-binar menunggu jawaban, "jadi kalau norma memang berpengaruh dengan gaya hidup masyarakat," jawabku memeras otak, "memang bisa berbeda tergantung kondisi wilayah, kita di pegunungan bisa beda sama di pinggir pantai," berusaha memberi penjelasan, tapi dia benar-benar pintar membalikan penjelasanku.

Aku langsung memutar haluan saat dia menyenggol sebuah teori keuangan dan cara mengaplikasikannya untuk masyarakat pedesaan, nah, pikirku berusaha menjebak agar dia lupa tentang pertanyaannya, "jadi gimana cara ngaplikasikannya?" tanyaku dan tersenyum lebar menatap matanya yang berbinar.

Perlahan tapi pasti senyum di wajahku memudar, dia mengajariku atau lebih tepatnya memberi kuliah gratis dengan ilmu yang tidak pernah aku pelajari sebelumnya, kepalaku penuh dan pusing mendengar penjelasannya yang sangat detail.

Salah ambil jurusan kuliah, pikirku, mendengar dia menerangkan teori yang di buatnya berdasarkan sosioekonomi, sampai terbayang wajah dosen kalkulus saat pertama kali masuk kelasnya.

Dita datang bagai putri penyelamat, mengalihkan pembicaraan masalah pemandangan di kampung, "kalau ke sebelah kanan dekat kali tadi bagus ya pemandangannya." ucapnya mengingat pemandangan dekat kali yang mengalir di samping tebing yang menjulang, hamparan sawah terasering di sebelahnya memanjakan mata yang melihat.

"Iya bagus di situ," balasku sesekali memberanikan diri melihat wajahnya kemudian menunduk, Aline yang terus memperhatikan menjadi penasaran, kenapa dia seperti itu dengan Dita, coba aku tanya dia, pikirnya terus memperhatikan aku hanya berani melirik Dita beberapa detik, "kalau pembangkit listrik di mana cep?" dan memperhatikan kalau aku bisa menatap matanya.

"Di ujung dekat belokan," jawabku coba menjelaskan lokasinya ke Aline yang hanya manggut-manggut seperti mengerti padahal dia memperhatikan sikapku, biasa aja, pikirnya kemudian memperhatikanku saat memberi penjelasan ke Dita, hanya berani melirik beberapa saat kemudian menunduk tidak berani menatap langsung, beda, aneh tidak seperti cowo saat suka dengan wanita, pikir Aline terus memperhatikan sikapku, tak lama Dita menerima telepon dari seseorang dan tampak sangat kesal kemudian pergi ke depan gudang dan kita melanjutkan pembicaraan berdua.

Setelah beberapa lama Dita kembali dengan wajah cemberut kesal, masuk ke dalam gudang kemudian langsung menuju pintu samping membuat Aline segera pergi mengikutinya, aku bernapas lega melajutkan produksi tepung, akhirnya, pikirku yang was-was karna Aline mulai menyerempet ke arah perjodohan.

Di kamar Aline mendengarkan dan merangkul Dita yang mencurahkan kekesalannya kepada Tio, dia membelai lembut rambut sahabatnya, "kamu tenangin diri dulu, nanti aku kasih tau dia kalau kamu juga sibuk di sini," ucapnya menenangkan sahabatnya dan tersenyum lebar.

Dita menarik napas dalam dan tersenyum senang "makasih yah," balasnya memeluk sahabatnya yang sangat pengertian, "di sini enak yah," ucapnya tiba-tiba.

"Kenapa?" tanya Aline kebingungan sendiri karna topik pembicaraan berubah.

"Suasananya enak, tenang kayak di rumah sendiri," jawab Dita merasa sangat nyaman.

Aline mengangguk merasakan hal yang sama, "iya aku juga ngerasa nyaman," balasnya.

"Kita kasih berapa ya buat kontrakan?" tanya Dita meminta pendapat, "mereka kasih kita makan juga," mengingat saat itu tidak membicarakan masalah biaya.

"Kasih aja semua yang dari kantor," balas Aline tidak ambil pusing.

"Gw mau nambahin buat emak," balas Dita menatap Aline yang mengangguk setuju, "kasian juga kalau di lihat mereka, pasti ga dapet banyak dari jualan tepung," lanjutnya menceritakan hasil observasinya.

"Kamu ga tanya ke abah atau ke Cecep?" tanya Aline dan Dita menggelengkan kepala, "ga ah, mereka baik banget, sungkan gw," balasnya dan kembali bersandar di pundak sahabatnya.

"Aku juga nambahin deh buat emak," ucap Aline membelai lembut rambut sahabatnya.

Malam hari seperti biasa aku duduk menikmati pemandangan dari teras atas gudang, memikirkan hari-hari yang terasa sangat berbeda membawa banyak hal baru, dan mendengar suara langkah kaki membuat hati ini berdebar.

Waduh, pikirku segera berpaling melihat Aline datang membawa tas punggung, memegang baki berisi dua cangkir kopi serta sepiring sukun goreng, melangkah santai dengan senyum lebar di wajahnya, "hai," sapanya dengan riang, menaruh baki dan duduk di hadapanku.

"Hai," balasku hanya bisa pasrah tak ada tempat untuk kabur, tiba-tiba terbayang interview lamaran kerja di Jakarta yang mendebarkan.

Aline membuka laptop dan dengan santai memulai pertanyaan demi pertanyaan tanpa perasaan berdosa, dia tertawa lepas karna kepolosanku dan tidak peduli melihat aku sangat tersiksa.

"Ok, jadi apa yang kamu rasakan kalau melihat neng Tita?" tanya Aline menatap penasaran.

"Takut," jawabku dengan polos sampai dia tertawa lepas, entah apa yang ada di pikirkannya kemudian mengetik sesuatu di laptop.

"Kamu sudah pernah berpacaran sebelumnya?" tanya Aline kembali menatap penasaran.

"Belum, pusing liat orang pacaran," balasku tapi wajahnya langsung berubah, dia menatapku seperti orang kebingungan.

"Kamu normalkan tidak menyimpang atau kamu impoten?" tanya Aline dengan tanda tanya besar di wajahnya.

Lihat selengkapnya