Dia Diantara Curhat Kamu

anakucilibo
Chapter #6

Baper.

Setelah makan malam aku tersenyum senang menatap lampu-lampu kota Cianjur, pikiran kembali lancar bisa menyelesaikan banyak tugas, membayangkan gambar alat penghubung yang sudah jadi, brand penjualan juga sudah selesai, hanya tinggal pemasaran dan manajemen keuangan.

Hhhhmm, aku sampai menarik napas mengingat menarik napas mengingat manajemen keuangan, mencoba berpikir keras tapi malah bengong seperti orang ngeden, dia makan apa sampai pinter kayak gitu, pikirku berusaha mengingat perkataannya, tapi tetap saja tidak bisa, hanya merenung bodoh karna otak ini tidak mampu mencerna informasi yang ada.

Di kamar bawah Dita dan Aline bersiap menjalankan rencana mereka,

"Nanti kamu kasih senyum yah," ucap Aline yang ingin melakukan obervasi.

"Tenang aja," balas Dita kemudian tertawa kecil.

"Aku masih bingung dia ga bisa natap kamu," ucap Aline masih penasaran, "yuk, si emak kayaknya lagi goreng apa gitu, baunya enak banget," mencium makanan yang di goreng.

"Yuk," ajak Dita segera bergegas keluar kamar menuju ke dapur, "goreng apa mak?" melihat emak sibuk menggoreng.

"Nangka cimpedak," jawabnya dan melihat mereka berdua kebingungan karna tidak tau.

"Itu apa mak," balas Dita dan duduk di dekatnya, "sini saya aja yang goreng," mengambil alih sodet dan mendengarkan emak menjelaskan, Aline segera membuat teh manis kemudian mulai sibuk mencoba, "enak mak," ucapnya dengan riang tersenyum lebar dan tertawa lepas bersama.

Hhhhhmmm, emak menarik napas dalam melihat mereka berdua, merasa bahagia karna rumah terasa hangat dan ceria, bismillah, ucapnya dalam hati melantunkan doa-doa untuk menyandarkan harapan kepadan Nya.

Setelah selesai Dita dan Aline naik membawa teh manis serta nangka cimpedak goreng, siap menjalankan rencana mereka berikutnya.

"Hai," sapa Dita dengan manis.

"Hai," balasku melirik dia duduk dan menatapku dengan senyum puas, hhhmmm, hanya bisa menghela napas kemudian menunduk sambil tersenyum senang, Aline yang terus memperhatikan tersenyum lebar, segera memberi kode ke Dita agar melanjutkan.

"Jadi keren sekarang," ucap Dita tiba-tiba dan tersenyum sangat manis, perpaduan yang bisa mengguncang tempat duduk.

Aku tidak bisa melawan serangannya yang bertubi-tubi, masih untung tidak melompat atau jatuh dari tempat duduk, "ma makasih," balasku tersipu malu, tolong berhenti menggoda jones yang rapuh ini, jerit hati ini, dan mencoba melirik untuk melihat senyumnya tapi tidak mampu.

Aline tersenyum lebar, selama ini dia sudah menyadari tapi tidak pernah memperhatikan dengan detail, polos sekali dia, sangat unik dan menarik, pikirnya ingin mendapatkan data lebih, dia berbisik kepada Dita kemudian memperhatikan dengan seksama, "kamu keren seperti orang Jakarta," ucapnya dan mengambil gorengan sambil terus memperhatikan.

"Keren kan," balasku tidak sadar sedang menjadi bahan observasi.

"Iya keren," balas Aline memakan gorengan mulai menatap dengan mata berbinar, benar tulisanku kalau dia pria yang unik, mungkin dulu kurang bergaul dengan wanita, pikirnya mengambil kesimpulan, dan tersenyum lebar melihatku menatapnya dengan tatapan curiga.

"Kalau luang jalan lagi yuk ke kota," ucap Dita tiba-tiba, memajukan duduknya dan mengedepankan wajahnya seperti ingin melihat dengan jelas, "berdua aja," dan tersenyum manis.

Raga ini seperti meloncat kegirangan, hampir saja aku berteriak kencang, abaaaah emaaak ayo ke Jakarta lamar Dita, kalau bisa sekaraaaaaangg," jerit hati ini tidak bisa lagi di bendung, berpikir cepat mengingat tanggalan tapi otak tidak singkron dengan mulut, "i i iya boleh," ucapku dan mengutuk diri sendiri, gobloook kesempatan ilaaang," gerutu hatiku.

Mencoba tenang mengingat ajakannya, sabtu berangkat, pikirku ingin mengajaknya, segera melirik tapi tiba-tiba melihat senyum manisnya menghujam mata, aku langsung tersenyum lebar menundukan kepala tidak kuat lagi menahan serangannya, sudah cukup jangan di teruskan, jerit hati ini mengibarkan bendera putih karna hampir saja terkapar.

Makasih ya mak, besok Cecep sungkem, ucapku dalam hati berterimakasih ke emak yang menganjurkan pergi ke mall bersama mereka, dan mendengar tawa kecil Dita yang menggelitik telinga, gini aja cukup, bisa buat bekel sebulan ke depan, pikirku hanya bisa bersyukur dengan kondisi saat ini.

Aline tersenyum simpul, tulisanku benar, pikirnya sambil terus menatapku, "Cep, besok webinar jam 9 pagi," ucapnya dan kembali mengambil gorengan.

Suara sember yang merusah kebahagiaanku dan tersadar setelah beberapa saat, webinar ngapain beli baju, pikirku kemudian menatapnya dengan penuh tanya, "seminar atau webinar," karna belanja pakaian begitu banyak gara-gara emak mengatakan akan ada seminar.

"Webinar ya seminar juga kan," balas Aline kembali tersenyum lebar kemudian memakan gorengan tanpa rasa bersalah bersekongkol dengan emak mengerjaiku.

Aku kembali ingin bertanya tiba-tiba harus tertunduk, pasrah karna kembali terkena senyum manis Dita melupakan semua pertanyaan di otak, "ok," balasku dan menyanyikan lagi cinta dalam hati.

Malam ini kita berbicara pekerjaan mereka, aku memborong dagangan tukang bunga karna Dita kerap tersenyum manis, sampai larut malam kita bercerita sesekali aku tertawa lepas bahagia mendengar candaan dari suara sember Aline, sampai akhirnya mereka turun kembali ke kamar untuk tidur.

Di kamar mereka ganti baju sambil berdiskusi.

"Beneran polos kayaknya," ucap Dita tapi hatinya masih ragu.

"Kalau menurutku dia memang seperti itu," balas Aline mengambil kesimpulan setelah beberapa kali observasi, "salah satu penyebab kepunahan," lanjutnya dan tersenyum lebar, Dita menutup mulut menahan tawa yang hampir meledak.

"Aku baca di beberapa literatur," ucap Aline melepaskan ikatan rambutnya, "orang pinter biasanya gitu," lanjutnya dan Dita mengangguk-angguk setuju, "iya sih, si Jonathan malah lebih aneh," balasnya mengingat teman kantor mereka.

Aline tersenyum sendiri menatap dirinya di kaca, "tapi dia jadi cakep yah sekarang," ucapnya mengalihkan pembicaraan, "dulu keliatannya dekil dan ga peduli sama penampilan."

"Iya, beda banget sama dulu," balas Dita memakai baju tidur dan duduk di kasur, "tapi gw kok masih ragu kalau dia polos," mengingat latar belakang pernah ada di kota besar, "agak aneh, kuliah di Jakarta, terus kerja di tempat bergengsi tapi polos gitu," karna selama ini beberapa rekannya hanya berpura-pura polos, "feeling gw seh nyamar, mainnya di luar cowok gitu loh," dan tertawa kecil berdua.

Mereka melanjutkan pembicaraan sambil tidur-tiduran akhirnya ketiduran, di kamar atas aku susah tidur mengingat manisnya senyum Dita, bolak-balik di kasur sampai akhirnya membuka laptop, merapikan desain mesin penyalur sampai ketiduran.

Pagi hari saat sarapan aku tidak fokus karna semalan tidak bisa tidur, mencoba melawan tapi sia-sia karna dia datang lebih awal, mengatur jalur distribusi yang cermat.

"Mak, enak banget tempenya," ucap Aline memonopoli jalur perlintasan makanan.

"Nambah neng," balas emak yang sangat senang kalau makanan habis.

"Iya mak," balas Aline langsung menyikat dengan cepat tempe terakhir.

Haduh ni bule, pikirku hanya bisa pasrah kekurangan asupan.

Setelah sarapan yang tidak seimbang aku mencoba mengalihkan pikiran ke stok tepung, menghitung jumlah kemasan yang mulai menipis, cukup sampai dua minggu, harus ke pasar, pikirku segera menelepon salah satu kenalan percetakan di pasar.

"Jadiin merk ya mang," ucapku menerangkan logo bergambar serbet kotak-kotak berwarna merah, "iya merknya cap emak," dan menerangkan posisi peletakan merk serta nama.

Lihat selengkapnya