Dia Diantara Curhat Kamu

anakucilibo
Chapter #5

Ngalaksa.

Musim panen tiba para penduduk kampung bersiap untuk melakukan acara adat Ngalaksa, sebuah acara adat untuk mengucapan rasa syukur kepada yang Maha Kuasa atas panen tahun ini, juga untuk menjaga kelestarian adat istiadat.

Aline dan Dita belakangan ini sibuk kasak-kusuk mencari kebaya sunda akhirnya bisa bernapas lega, tapi aku mengalami sesak napas karna neng Tita lah yang membantu mereka mencari kebaya, hari ini sejak pagi buta mereka sibuk berdandan bersama.

Aku merasakan hari ini rasa sarapan sangat hambar, mengibarkan bendera putih membiarkan Aline merajalela, sesekali melirik tatapan ancaman dari emak.

"Awas kalau kalau kabur."

Bagai sebuah telepati yang mengiang-ngiang di telingaku, tertunduk lemas dan semakin lemas mendengar ocehan neng Tita yang ikut sarapan bersama, menyelesaikan sarapan secepat mungkin dan kabur ke kamar.

Di kamar bawah mereka bertiga sibuk berdandan sesekali tertawa kecil sampai tertawa lepas bersama.

"Cakep yah bajunya," ucap Aline mencoba kebaya sunda yang di bawa neng Tita, dia berkaca melihat penampilannya dengan baju kebaya berwarna merah muda, bawahan berbentuk seperti kain kebaya modern menyerupai rok panjang.

"Iya bagus banget," balas Dita merasa senang mengenakan baju kebaya berwana putih dan bawahan seperti Aline.

"Bagus kan, ini model yang lagi trend sekarang," balas neng Tita dengan riang, dia memakai kebaya merah terang dan menjelaskan secara panjang masalah kebaya yang di bawanya.

Di kamar atas aku menelepon Ujang dan menjadikannya mata-mata karna beberapa kali mengintip abah duduk santai di ruang produksi.

"Aman ga?" tanyaku dengan hati berdebar.

"Abah ga ada," jawab Ujang.

"Cek dapur," ucapku karna takut emak mengawasi.

"Sebentar aak," balas Ujang mengendap-endap ke arah dapur, "dapur aman," ucapnya dan melangkah ke depan mengintip ke arah pekarangan rumah, emak yang masuk ke tempat produksi dari dapur langsung mundur dan mengintip dari pintu dapur, memperhatikan Ujang mengendap-endap sambil menghubungi seseorang, mau kabur, pikirnya sudah tau kelakuanku, terus bersembunyi di balik pintu mengawasi dengan seksama.

"Aman langsung bergerak aak," ucap Ujang segera menyalakan motor untuk pelarianku

"Ok," balasku menutup telepon dan bergegas turun.

Nah, ketangkep, ucap emak dalam hati, segera melangkah cepat ke arah ruang tamu, melihat Ujang duduk di motor membelakanginya, bergegas keluar pagar dan bersiap saat mendengar suara langkah turun dengan tergesa-gesa, dia langsung masuk ke dalam gudang kemudian bertolak pinggang, "mau kamana!" serunya melotot dengan muka galak.

Aku sangat terkejut karna dia tiba-tiba muncul dari arah depan gudang, "aaaaaa," ucapku masih shock sampai bengong melihat dia melotot kesal, segera berpikir cepat pura-pura lupa sesuatu, "aaaa, itu lupa," ucapku segera kabur kembali ke kamar, Ujang yang sudah siap menunggu di bawah tertawa geli melihat tingkahku.

"Ini juga sama!" seru emak melotot ke Ujang yang langsung kabur, "aak, duluan yah!" serunya tidak peduli aku bosnya, yang penting tancap gas menghindar sejauh mungkin.

Emak bergegas naik ke kamar tapi kebingungan melihat kamar kosong, dia melangkah ke balkon melihat kiri dan kanan, kamana si cecep, pikirnya kembali masuk ke kamar, memperhatikan pintu kamar mandi tertutup, "Cecep!" serunya menggedor-gedor pintu kamar mandi.

Aduhhhh, pikirku segera memutar otak, "sakit perut mak," balasku memelas dengan suara sedih, dia langsung tertawa geli tidak tahan mendengarnya.

Aku yang berdiri diam di kamar mandi mendengar dia terus tertawa akhirnya pasrah, menunduk lunglai keluar kamar mandi dengan langkah gontai, melihat dia duduk di kasur dan tertawa semakin geli saat melihat wajahku.

Emak sampai harus menarik napas dalam beberapa kali untuk menghentikan tawanya, "ya udah gih sana, tapi kasian si abah nanti ketemu mang Iyot," ucapnya saat aku terduduk lemas di sampingnya, dia mengalihkan pandangan berusaha menahan tawa yang hampir kembali meledak.

"Ya mak," balasku mengalah, perlahan berdiri berjalan lunglai di iringi tawa emak yang tidak lagi bisa di tahan, ikut turun di belakangku melihat ke abah melongok dari dapur, dia menujuk ke arahku memberi kode dan abah ikut tertawa lepas bersama emak yang terus tertawa geli.

Kumaha sih, pikirku melihat mereka tertawa riang di atas penderitaanku, tersenyum kecut melirik mereka berdua terus tertawa tidak peduli, hhhhmmmm, aku menarik napas dalam mempersiapkan telinga serta mental, berjalan tertunduk keluar gudang menuju teras depan rumah.

Hhhhmmm, kembali menarik napas dalam mendekapkan ke dua tangan di dada, aku bersiap dengan segala kemungkinan dan mendengar suara tawa emak dan abah semakin keras, haduuhh, masa senang bener liat anaknya tersiksa, pikirku melirik mereka berdua sambil tersenyum kecut, segera melangkah ke arah teras.

"Degh!"

Aku tiba-tiba tersentak bagai terkena pukulan telak, melihat seorang bidadari duduk tersenyum di bangku teras rumah, dia melambaikan tangan membuat jantung ini berpacu kencang, tensiku naik ke level tertinggi menggelorakan semangat juang hari kemerdekaan.

"Hai," sapa Dita dengan riang menatapku datang dengan baju pangsi.

"Hai," sapaku dengan perasaan takjub bisa melihat dia berdandan sangat cantik walau hanya beberapa detik, segera menunduk menguatkan diri agar tidak terkena pukulan telak sampai pingsan, sesekali melirik merasakan kegembiraan yang memuncak, terimakasih emaaaak!, bersorak gembira dalam hati.

Aku membuka gerbang kecil kemudian melangkah pelan seiring degupan jantung yang berdegup semakin kencang, menghela napas panjang bersiap menaikan wajah dengan segala kekuatan, semoga ga pingsan, ucapku dalam hati siap menerima pesonanya.

"Ehh, si aa," sapa neng Tita sangat riang, tiba-tiba keluar dari dalam rumah dengan dandanan menor melebihi titik maksimal, dia berdiri tepat di hadapanku menghalangi Dita dan tertawa genit yang menusuk telinga.

Tensi darahku drop ke level terendah, gawat, serangan mendadak, pikirku berusaha kuat agar tidak pingsan, merasakan kaki ini lemas hampir tidak bisa menahan berat badan, "iya neng," ucapku dengan lemas, tersenyum kecut melihatnya sangat ceria.

"Baguskan kebaya eneng," ucap neng Tita berputar dan bergaya memamerkan kebaya yang dia kenakan, senyum genit yang menusuk-nusuk membuatku hampir terkena serangan jantung, di ikuti tawa genit yang menghantui seperti berputar-putar mengelilingi diriku.

Dita menutup mulut langsung kabur ke dalam rumah karna tawanya hampir meledak.

Aku kliengan merasakan bumi berputar, "iya bagus," balasku singkat, sangat lemas dan melirik di balik horden mereka semua menutup mulut menahan tawa.

Pagi ini aku berusaha tabah dan menjadi seorang anak yang paling berbakti, melirik abah seakan tertawa melihatku terduduk lemas di samping neng Tita yang terus berkicau, acara sambutan terasa lama dan bertele-tele tidak mengerti kalau aku sudah mengirimkan beragam kode sampai telepati.

Oiiii, buruaaan dah mau pingsan, seruku dalam hati, memegang erat pegangan kursi, tidak berani melirik neng Tita yang terus mengoceh menarik tensi darah ke level paling bawah, sampai akhirnya sambutan selesai dan sedikit celah datang.

Nah, kesempatan, pikirku memperhatikan panitia sedang berdiskusi, tarian rengkong yang harusnya di bawakan oleh enam orang tapi mang Doni yang jadi salah satu peserta kakinya sakit, mereka memanggil Ujang yang biasa ikut dalam tarian rengkong.

Lihat selengkapnya