Kontrak akhirnya selesai, kita tanda tangani bersama di bawah tangga melingkar, Ujang memelukku dan menangis haru karna selama ini aku membantu adik-adiknya sekolah, Aline ikut menangis haru sampai aku kaget, dia ternyata sangat sensitif terhadap hal-hal seperti ini.
Aku percayakan Ujang dan Aline untuk mencari karyawan baru, mereka terpingkal-pingkal membaca beberapa lamaran yang masuk, Ujang yang usil menulis di papan pengumuman balai warga tentang pembukaan lowongan di tempatku, hingga banyak yang menaruh lamaran dengan amplop coklat.
Hhhmm, biar senang lah, pikirku kembali sibuk dengan design gerobak ayam goreng.
Di bawah tangga naik tadinya cuma ada meja kecil serta dua kursi, sekarang ada empat kursi dan meja yang cukup untuk empat orang.
"Cep, sibuk amat" tegur Dita tiba tiba kemudian duduk di dekatku.
"Hai, enggak ko" jawabku dengan santai dan tersenyum manis kepadanya, tak lama Aline menyodorkan kertas lamaran yang di tulis tangan ke Dita dan ikut tertawa lepas bersama mereka.
Hari yang indah, pikirku sangat senang karna Dita duduk dekatku, mendengar dia tertawa lepas dan memanggil namaku dengan lembut, semua ini terkesan lebay dan puitis tapi ini adalah perasaan jones rapuh saat gebetan berada di sisi.
"Cep, sabtu sore ke kota yuk," ajak Dita terdengar sangat manis, sampai hati ini bertekuk lutut memohon hari ini adalah sabtu.
"Ayuk, berdua aja yah," balasku dengan manis, melirik penuh harap tapi sambut tawa lepas Ujang dan Aline karna aku yang sejak tadi hanya diam berpikir serius tiba-tiba berubah puitis.
"Berdua aja, mereka biarin ngiri," balas Dita tersenyum geli, aku tiba-tiba tersadar dan menunduk malu.
Tak lama ada panggilan vidio call, Dita pergi keluar gudang ke arah pematang sawah, di iringi tatapanku yang terus melihatnya.
"Dah jadi cep?" tanya Aline tiba-tiba.
"Ehh, apaan?" jawabku kebingungan karna belum nyambung.
"Gerobak ayam," ucap Aline dan tersenyum lebar melihatku yang kebingungan.
"Oohh, kirain apaan udah tinggal dikit lagi," balasku dengan santai dan membalikan laptop, menunjukan gambar yang aku buat, dia memperhatikan dengan serius.
"Sini, aku aja," ucapnya menarik laptop ke hadapannya, dia langsung sibuk mengutak-atik sesuatu, membuka hp kembali mengutak-atik, sesekali melirik ke arahku dan Ujang yang bersiap karna pastel buatan emak hanya tersisa satu.
Aku memberi tatapan ancaman ke Ujang serta mengirimkan telepati, "awas makan bakso ga boleh nambah."
Ujang tidak peduli, dia malah membalas, "ga di bantuin kabur kalau neng Tita dateng."
"Punya aku," ucap Aline tiba-tiba, dia langsung mengambil pastel tersebut, tak peduli wajahku atau ujang yang kecewa, memakannya dengan wajah tidak berdosa sambil menatap kita berdua.
"Dasar," ucap Ujang manyun tidak mau melihat.
"Ini enak sekali," ucap Aline menunjukan bekas gigitan kepada kita berdua.
"VOC dia Jang," ucapku tersenyum datar dan mengalihkan pandangan.
Aline tidak peduli, sesekali menatap kita dengan wajah tanpa dosa, "kenapa?" ucapnya dan menikmati pastel di tangan, setelah beberapa saat dia memperlihatkan gerobak berwarna kuning cerah, ada gambar ayam goreng dan logo tepung cap emak di laptop, foto Ujang tapi dalam bentuk karikatur dengan topi hitam, jas hitam serta kaca mata hitam, "baguskan," ucapnya dengan riang.
"I'am goreng gangsters," ucapku membaca tulisan di gambar gerobak, dan kita bertiga tertawa lepas.
"Bikin aak!" seru Ujang penuh semangat, aku segera menelepon mang Dudung mengirimkan gambar.
"Jangan lupa minta bon," bisik Aline berbisik dan menatapku, "pembukuan jadi rapih," lanjutnya mengangguk-angguk mengingatkan.
Aku mengangguk dan mengikuti sarannya, bener juga biar rapih, pikirku kembali berdiskusi, meminta bon dan rincian.
Setelah berdiskusi beberapa saat akhirnya aku menutup telepon, "seminggu baru jadi," ucapku memberitahu waktu yang di minta mang Dudung.
"Ya udah ga apa," balas Aline dengan riang, "kita juga butuh waktu bikin resep," mengingag kita belum membuat resep.
Dita kembali sambil tersenyum senang tapi tiba-tiba senyumnya hilang, mengenali sebuah mobil yang datang dan parkir di depan gudang, aduh dia kesini, pikirnya dan melihat Tio turun.
"Assalamualaikum," salam Tio dari depan gudang.
"Walaikum salam," balas kita berarengan, aku segera berdiri dan tersenyum ramah menjabat tangannya.
"Hai, apa kabar," sapaku menyambutnya dengan ramah.
"Alhamdulillah baik," balas Tio.
"Ayo, ke ruang tamu aja," ajakku karna tidak sopan menerima tamu di gudang.
"Ga apa sini aja," balas Tio sesekali melirik Dita yang bete.
Setelah berbicara sebentar Dita minta ijin untuk berbicara dengannya di atas gudang.
"Silahkan," ucapku memasang wajah ceria walau sebenarnya bete dan cemburu.
Mereka segera naik keatas, aku dan Aline melanjutkan diskusi sambil sesekali tertawa, emak bersama abah keluar melihat ada mobil parkir di depan gudang.
"Siapa yang dateng?" tanya abah.
"Si Tio lagi ngobrol sama Dita di atas," balasku.
"Oh," balas abah singkat.
"Jang, tolong bawain teh," ucap emak melirik abah memperhatikan aku dan Aline sedang berdiskusi.
"Ya mak," balas Ujang mengikuti mereka kembali ke dapur.
Abah terlihat sangat gembira melihat kita berdua, memberi kode ke emak yang juga tersenyum senang terus melangkah ke dapur, tak lama Ujang naik ke atas membawa baki berisi teh manis, dia kembali turun ke bawah dan melihat-lihat lamaran yang masuk.
Aku mendengarkan Aline yang sedang menjelaskan konsepnya, "jadi ga cuma buat jualan, tapi branding?" tanyaku masih bingung.
"Iya ini buat branding, kasih sample berbayar," balas Aline dengan mata berbinar-binar, "aku lihat di kampung sini ga ada yang jual," lanjutnya.
Bener juga ni bule, pikirku mendengar penjelasannya yang masuk akal, tiba-tiba suara bentakan keras Tio terdengar marah ke Dita.
"Ngapain kamu!"
Aku dan Aline sangat terkejut dan saling menatap karna kaget, kita segera bergegas naik dan Ujang berlari ke dalam rumah.