Dia Diantara Curhat Kamu

anakucilibo
Chapter #11

Mendua.

Di Jakarta, di kantor UNESCO saat makan siang Dita duduk menikmati makanan di temani Wina rekan sekantornya.

"Gimana di sana?" tanya Wina penasaran, "heboh banget tulisannya si Aline, tag linenya bagus, ngemasnya juga edan," lanjutnya.

"Di sana enak banget," jawab Dita menyelesaikan makannya, "pas dia dapet topiknya, gw sampa di suruh ikut cari data juga," mengingat dia ikut mencari data tetangku, "bener-bener collector item," ucapnya tersenyum simpul.

"Beneran gitu?" tanya Wina penasaran, "gw ke sana yah, gantiin elo," dengan sangat antusias, "loe kan ga sebulan jadinya ga ke sana," karna mendengar dia kembali mendapatan project.

"Enak aja loe, iya nih pengen balik ke sana malah di perpanjang," balas Dita mengingat penugasan baru, "di sana dah kayak di rumah sendiri, ga pengen balik," dan melirik Andrew yang mendekati mereka.

"Hai Dit, apa kabar," sapa Andrew ikut duduk bersama mereka.

"Hai kabar baik," balas Dita dan tersenyum membalas senyumnya.

"Sore temenin gw olah raga yuk di senayan," ajak Andrew dan melirik Wina memberi kode, "elo dah ga sama Tio kan?" karna tau sifatnya.

"Yuk, enggak ko," balas Dita tersenyum senang, rencana berjalan, pikirnya kembali ngobrol bersama tak menentu.

Di Cianjur aku duduk di saung bersama Aline dan emak, mendengarkan penjelasan mereka.

"Kalau masalah rasa kita ga kalah," ucap Aline bersemangat dan emak mengangguk setuju, "iya sama aja," ucapnya mengingat sudah merasakan sebelum di sajikan, "tadi emak nambahin, lada sama tepung beras, tapi ga di timbang, nambahnya juga dikit," lanjutnya mengingat-ingat takaran yang dia berikan.

"Kita masih punya peluang Cep," ucap Aline dengan mata berbinar, "mak, aku mau promosi tepung di warung teh Nuning sama di tempat lain," menatap emak yang mendengarkan dengan serius, "aku di kasih tau, sarang gosip di mana aja?" ucapnya dan tersenyum lebar.

Emak sampai mengernyitkan dahi mendengarnya, "ada sih di beberapa tempat," balasnya mengingat-ingat karna jarang keluar bergosip, "tapi kalau mau update tanya neng Tita," dan melirikku kemudian tertawa lepas bersama Aline.

Haduh, dia lagi, pikirku, "ayuk jalan beli timbangan," ajakku hendak beranjak, malas ikut dalam percakapan ini.

Emak tersenyum lebar seperti Aline, mereka saling melirik memberi kode, aku tersenyum datar melihat kelakuan mereka, lagi genting masih aja, pikirku melirik mereka berdua yang terlihat sangat senang.

"Tanya kakaknya Peri aja," ucap emak tiba-tiba, teringat sesuatu, "di sini warung teh Nuning yang nguasain, tapi di deket rumah Ujang kakaknya si Peri jagoannya," menggambarkan demografi pergosipan di kampung Dadap.

Aline mengangguk-angguk mendengarkan dengan serius, "beberapa aku mau jadiin model," ucapnya penuh arti, "kita udah siapin juga kan dana promosi," menatapku yang mengangguk membenarkan.

"Iya, udah," balasku mengingat pembukuan yang diaturnya, "bisa ga mak?" tanyaku menceritakan bersaran dana yang kita siapkan.

"Bisa," balas emak dengan segera, "jangan segitu, kasih piring aja bisa rebutan," lanjutnya menatapku dan Aline yang mengangguk mengerti.

"Yuk, jalan beli timbangan," ajakku ingin melihat kondisi pasar saat ini.

"Nanti dulu," balas Aline karna masih ada yang kurang, " itu baru satu rasa mereka punya lima rasa," mencoba untuk berpikir dengan serius.

"Iya, nanti dulu," ucap emak ikut berpikir, dasarnya sama aja tapi tambahannya beda-beda" karna mereka berdua telah mencoba semua rasa, mencoba mengingat-ingat, dan memberitahukan beberapa bahan yang harus di beli.

Aline mencatatnya di hp dengan serius, dan mengulangi satu persatu bahan yang di minta, emak mendengarkan apa yang dia ucapkan, "dah itu di beli yah," balasnya menatap kita berdua.

"Yuk, jalan," ajakku tidak sabar, kita beranjak bersama.

Sampai di pasar kita berkeliling memperhatikan branding mereka yang sangat gila, setiap sudut pasar, agen di branding mereka.

Gila ini mah, pikirku melirik Aline yang juga sedang melihat-lihat, "lawan raksasa kita," ucapku dan tersenyum datar.

"Tenang aja, raksasa susah gerak," balas Aline penuh arti kemudian tersenyum lebar, "kita ke kokoh Ciong," ajaknya ingin mendapatkan informasi.

Setiap hari aku, Aline dan emak berkutat dengan bumbu, menawarkan kerja sama dengan para model sesuai demografi gosip, Aline cukup terkejut karna ibu-ibu di kampung ternyata sangat aktif di media sosial, Peri dan Ujang melakukan mapping hingga perbatasan Cianjur, memberi update sarang gosip dan kebiasaan ibu-ibu di sana,

Emak dan abah tersenyum gembira melihat semangat kita, hanya diam memperhatikan tidak ingin mengganggu, hingga pada suatu malam mereka duduk berdua di kamar.

"Mak, ini pegang buat modal mereka kalau kurang," ucap abah menyerahkan beberapa sertifikat tanah di pinggiran kota Cianjur.

"Insya Allah ga kurang," balas emak menatap abah seperti meyakinkan, "mereka pasti berhasil," merasakan sesuatu, "ini buat mereka kedepan," ucapnya tersenyum sendiri karna memiliki firasat lain.

Di hari ke empat kita akhirnya bisa membuat resep baru, itu juga dengan perut mual makan ayam serta lidah seperti mati rasa, penjualan masih jauh di bawah normal tapi Ujang dan Peri terus maju pantang mundur, kita bertahan dari gempuran yang terus datang.

Aku mengambil alih produksi tepung, Aline merancang design kemasan baru dan mempersiapkan pasukannya, sibuk melakukan koordinasi secara online di gudang, aku yang mendengarkan hanya tersenyum mengingat perkataannya semalam.

"Kita harus berterima kasih dengan PT Tepung MT," ucapnya tiba-tiba.

"Kenapa gitu?" tanyaku kebingungan.

"Kalau ga ada mereka, kompetisi tidak berjalan," balasnya seperti memikirkan sesuatu, "dulu pesaing kita banyak dan kecil-kecil ga keliatan," mengingat informasi yang dia dapatkan serta hasil obersvasi di pasar, "sekarang pesaing kita semua keliatan," ucapnya menatapku yang masih kebingungan dengan maksudnya.

"Maksud kamu tinggal 4 merk yang bersaing?" tanyaku mengingat kompetitor kecil berguguran dan hanya 4 pembuat tepung racikan yang bertahan dari gempuran PT Tepung MT.

"Iya, tinggal 4 dan kita sekarang tau gerakan mereka semua," ucapnya dengan mata berbinar.

Hhhhhmmm, aku menghela napas panjang, bener juga ni bule, pikirku kadang tidak habis pikir dengan kepintarannya, melihat Ujang dan Peri yang sibuk menghubungi agen, aku merasa sangat bersyukur memiliki mereka yang mau berjuang bersamaku.

Dita memberi informasi kalau masih harus tetap di Jakarta, sebuah kabar menyedihkan di situasi seperti ini, saat aku sedang bertahan dari gempuran raksaksa yang tidak mau mengalah sedikitpun, tiga minggu berlalu dengan kerja keras rasa rindu kembali datang.

Pengen ngeliat Dita, pikirku setelah sarapan, duduk diam termenung sendiri.

"Cep, nanti siang ke sarang gosip," ucap Aline siap melakukan branding dan pasukannya juga sudah siap.

"Ke curug ngumpet dulu yuk, trus ke punggung bukit," ajakku ingin menghirup udara segar menghilangkan kepenatan dan rasa rindu yang menggunjang.

"Ayuk, aku belum pernah ke sana," balas Aline sangat antusias, segera kembali ke kamar untuk mengambil kamera, dan keluar melihat emak dan abah sedang duduk di pekarangan rumah, "mak, abah jalan dulu yah, ke curug ngumpet," ucapnya dengan riang dan memakai sepatu.

"Iya, hati-hati," balas emak melirik abah yang hanya tersenyum, mereka selama ini terus memperhatikan kita, saling melirik tapi tidak mengatakan apapun, sampai kita pergi mereka hanya duduk diam di beranda rumah.

"Tuti dah pulang," ucap abah tiba-tiba memecah kesunyian.

"Cecep dah hampir siap," balas emak mengingat sikapku yang sudah tidak lagi seperti dulu.

Abah mengangguk-angguk setuju, "nanti beli ayamnya di situ aja," ucapnya tersenyum penuh arti dan berdiri, "abah ke situ dulu, silaturahmi," lanjutnya melangkah santai keluar rumah.

Di curug ngumpet kita duduk berdua menjuntaikan kaki ke bawah jurang kecil, menghirup udara segar sambil menikmati alam sekitar, mendengarkan gemericik air dan burung-burung yang bernyanyi merdu.

"Nanti kalau kamu ke Jerman bisnis kita gimana?" tanyaku karna tepung dan ayam goreng saling terkait.

Lihat selengkapnya