Akhirnya mereka pamit pergi, membawa keceriaan canda serta tawa di rumah, tanpa terasa hari ini sudah seminggu berlalu, aku merasa sepi duduk diam melihat Peri yang sibuk produksi tepung dan Ujang yang duduk santai beristirahat sambil ngupil.
Hhhhhmmm, bete, pikirku dan mengingat Tuti menjadi sangat dekat, tapi rasanya tetap kosong apa lagi saat meracik bumbu, sendiri di ruangan yang dulu penuh canda tawa bersama Aline.
Aku dan Dita rutin berkirim pesan atau vidio call, Tuti mulai berani menanyakan tentang diriku ke Aline, melihat kita sangat dekat.
Di jakarta Dita juga mulai kembali di kelilingi kumbang yang bernyayi merdu, dan pagi ini dia melihat Aline datang dengan wajah berseri ceria.
"Hai ceria banget," sapanya karna Aline terus tersenyum lebar, "orang tuaku liburan panjang di Bali tiga bulan lagi," balasnya dengan riang dan memperhatikan wajah sahabatnya, "kenapa ko mukanya bingung?"
Dita sedikit termenung dan menarik napas dalam, "apa gw ngalah aja yah ikut dia," ucapnya, menatap Aline yang hanya diam.
"Dit, makan yuk," ajak Andrew menghampiri mereka berdua.
"Ayuk," balas Dita tiba-tiba kembali ceria, "duluan yah," memberi kode Aline yang mengangguk, "dada," balasnya dan tersenyum lebar.
Aline tersenyum memperhatikan sahabatnya, dan kembali sibuk bertukar pesan.
Waktu kembali berlalu sebulan sudah mereka pergi, aku punya cara menghilangkan sepi, vidio call dengan Aline saat meracik bumbu, sampai akhirnya aku bercerita ke abah dan emak tentang hubunganku dengan Dita saat kita makan malam.
"Dita mau diajak nikah," ucapku menatap mereka berdua, "tapi dia minta Cecep pindah ke Jakarta," lanjutku dan menarik napas dalam.
Abah menatapku dengan dalam, "kejar dia ke Jakarta," ucapnya tapi wajahnya menunjukan hal berbeda, emak hanya diam menatapku dengan penuh arti, membiarkanku mengambil keputusan.
"Cecep, pikirin dulu," balasku tidak ingin salah mengambil keputusan.
Malam ini aku berdiri diam melihat-lihat lampu kota cianjur, mencoba berpikir dengan tenang, pindah ke jakarta, bisnis bisa di percayakan ke Ujang, monitor pakai applikasi, bisa juga di kembangkan di sana atau kerja lagi, pikirku terus diam merenung.
Aku memikirkan jarak Cianjur Jakarta, masih bisa di tempuh 4 jam, cepet ga terlalu jauh, pikirku mengingat nanti akan ada tol, berhayal tinggi bersama Dita, sebuah mimpi indah yang menjadi kenyataan.
"Abah sakit."
Suara isak tangis emak teringiang di telinga, menarikku kembali ke alam nyata melihat lampu kota Cianjur yang tertutup kabut, hal baru yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, dan melangkah lunglai masuk kamar.
Pagi hari datang dengan ceria tapi aku merasa hampa, perlahan turun tidak ada semangat sama sekali, duduk diam menatap abah dan emak.
"Sudah ambil keputusan?" tanya abah menatapku dengan dalam.
Hhhhmmmm, aku hanya menarik napas dalam dan menggelengkan kepala, "ga tau harus gimana," jawabku dengan jujur, menatap mereka berdua dan terbayang wajah Dita.
Emak hanya diam tidak berkata-kata, dia mengerti putranya sedang bertarung melawan hati kecilnya, abah juga hanya diam menyerahkan segala keputusan kepadaku.
"Kalau masalah jodoh mengalir aja."
Suara mang Doni kembali terdengar di telingaku, mengingat daun yang mengambang mengikuti aliran air, menghantam bebatuan mencari tempat berhenti, mencoba menempel ke sebuah batu tapi kembali terhanyut.
"Cecep akan tetap di sini," ucapku membuat sebuah keputusan, hati ini terasa hancur, mimpi indah semua luruh, tapi ini adalah keputusan terbaik, dan jalan yang harus aku tempuh.
Emak menatapku dengan dalam, "pasti ada yang ingin berjuang bersama kamu, saat itu kamu harus berani mengajaknya menikah," menguatkan untuk tetap pada keputusanku.
"Iya mak," balasku menguatkan niat untuk menjaga orang tuaku, mencoba tersenyum ke abah yang mengangguk menguatkan, menahan rasa sakit menusuk-nusuk di dada, hal baru yang pertama kali aku rasakan.
Waktu terus bergulir, aku mencoba mengikis sedih dengan kesibukan, mempelajari sosial media serta pembukuan, Ujang dan Peri seperti mengerti keadaanku, mereka menghibur dengan canda serta selalu mengajakku berdiskusi.
Di Jakarta, Aline terus memperhatikan sikap sahabatnya, mendengarkan setiap curhatnya dan tau apa yang terjadi, sampai di suatu hari dia tiba-tiba mengajukan resign, keputusan yang membuat semua rekan-rekannya terkejut.
"Loe beneran resign?" tanya Dita menatapnya dengan wajah tidak percaya, "dadakan banget sih?" kebingungan karna kemarin masih seperti biasa.
"Iya, aku harus pulang ke Jerman," balas Aline dengan santai, dan memeluk sahabatnya dengan erat.
"Lin, di panggil si bos," ucap Wina menghampirinya, "ih, loe dadakan banget," dan memeluknya dengan erat.
Aline hanya diam sambil tersenyum lebar, "ke si bos dulu," ucapnya bergegas melangkah.
Dita hanya diam menatapnya dan teringat saat sahabanya curhat di minta kembali ke Jerman, hhhmmm, menghela napas dalam karna tidak bisa berbuat apa-apa, kembali melihat pesan-pesanku, dia anak tunggal, pikirnya mengingat abah dan emak, mencoba mengerti dan memikirkan rencananya.
Tak berselang lama Aline kembali menghampiri Dita, "kamu mau ikut ke Cianjur, aku mau ke sana?" dan duduk di sampingnya.
"Enggak ah, gw udah bilang ko gw tunggu di jakarta," balas Dita dan menarik napas dalam.
"Aku mau ke Cianjur bulan depan, kangen sama emak tapi ga bilang sama Cecep takut dia repot jemput," ucap Aline melihat Dita yang sibuk membalas pesan Joni.
"Coba gw pikirin, gw jujur bimbang ga rela dia sama orang lain tapi gw males tinggal di Cianjur," balas Dita dengan kesal, "aku sedih kamu tiba-tiba resign," memeluk sahabatnya dengan erat.
"Iya, bulan depan orang tuaku datang, nanti setelah dari Cianjur aku susul mereka ke Bali, dan kembali ke Jerman," ucap Aline menatap sahabatnya yang galau kemudian tersenyum penuh arti.
"Dia mapan banget sih, baik lagi," ucap Dita mencoba berpikir, "tapi si Andrew sama Joni anaknya petingging BUMN, ga kalah mapan," mencoba menimbang-nimbang, "ya, kita liat aja dulu," ucapnya menatap Aline yang hanya diam dan tersenyum mendengarnya.
Di Cianjur rutinitas tiba-tiba kembali terasa hampa, gorengan yang di buat emak atau pastel tidak lagi menarik, berbicara dengan Tuti sangat menyenangkan tapi aku merasa tidak ada yang berkembang, hanya seputar kampung dan sekitarnya.
Akhirnya aku pergi ke punggung bukit, tidur-tiduran di rumput teringat kenangan bersama mereka, Dita dengan senyum mautnya, kecantikan serta segala sesuatu tentangnya membuatku ingin bergegas ke Jakarta saat ini juga, dan melihat awan yang berarak beriringan membuatku menoleh ke kiri.
"Kita peraang!"
Suara Aline kembali terngiang, selama ini dia membantuku berjuang, tawa canda, peperangan rebutan makanan, aku menjadi diriku sendiri saat bersamanya, dan perasaan ingin berjalan jauh bersamanya.
Hhhhmm, aku menarik napas panjang duduk, satu tahun yang indah, pikirku merenung memandang jauh ke depan.
Jones memang kadang rapuh, puitis dan kurang bersemangat tapi ya sudahlah, mengingat perkataan mang Doni untuk mengalir saja, aku mencoba kembali bersemangat, melangkah pulang sambil berpikir masih ada Tuti, kembali tersenyum sendiri memutuskan untuk mencoba mendekat dengannya.
Di Jakarta setelah farewell party Aline termenung di kamar, mereka sangat baik, pikirnya sampai tersenyum sendiri, selama ini dia telah berkeliling Indonesia, tapi tidak pernah merasakan sebuah kenyamanan seperti di rumah sendiri.
Menatap keluar jendela kamar melihat lampu-lampu gedung, teringat kembali ucapan sahabatnya.
"Bisa jadi plan C setelah Andre," bisik Dita di rumah sakit tergiang di telinganya.
"Gw lupa semuanya pengen sama dia," ucap Dita pada suatu malam di Cianjur.
Memperhatikan keseharian Dita yang galau ingin bersamaku, tapi dia terus mendekati Joni atau Andrew manager baru, selalu menimbang masalah materi, tanpa mempertimbakan perasaan orang lain.
Kamu sahabatku, aku mengerti keadaan kamu, tapi kali ini kamu keterlaluan, pikirnya memikirkan sikap sahabatnya, karna tidak semua orang bisa menerima hal itu, mengingat seorang yang masuk dalam tulisannya tentang perjodohan, tapi sekarang menguasai hatinya.
Aline tersenyum sendiri, mengingat semua yang dia lakukan, tapi tiba-tiba teringat Tuti wanita polos baik dan cantik yang mengatakan aku mendekatinya, aku bisa mengaturnya kembali, pikirnya tapi hatinya kecilnya memberontak.
"Cecep berhak mendapatkan orang seperti dia!", jerit hati kecilnya seperti mengingatkan dirinya sendiri, dia merebahkan diri menatap langit-langit kamar, mengingat semua yang pernah kita alami bersama, dan informasi dari Ujang dan Peri yang menjadi mata serta telinganya.
"Aku sangat mencintai dia," ucap Aline melawan hati kecilnya, dan mengingat semua informasi yang dia miliki.
"Kalau mau berjuang bersama di sini jangankan besok hari ini juga si Cecep berangkat ke Jakarta, melamar kamu," cerita Dita tentang kunci dari emak.
"Aku harus mengurus abah dan emak kalau kamu mau berjuang di sini bersamaku, jangankan besok malam ini kita berangkat ke Jakarta untuk melamar kamu," ucapku malam itu ke Dita.
Aline kembali tersenyum sendiri, dia sengaja menunjuk Tuti sebagai penggantinya, tidak ingin aku terfokus dengan Dita, Hhhhmmmm, menarik napas dalam mengingat pesan Ujang yang membuatnya tiba-tiba mengajukan resign.
"Buruan aja ke sini, biasanya abis lebaran pada ngelamar."
"Dia masih bimbang, tapi kalau di paksa emak sama abah pasti nurut."
Besok aku akan mengatakan mau berjuang di sana, pikirnya, segera bangun membuka hp melihat foto kita bertiga dan menutup wajah Dita.
Dia orang baik, aku ingin memiliki dia, pikirnya menatap foto kita berdua, tapi aku harus siap kalau rencanaku gagal dan harus pulang ke Jerman, ucapnya dalam hati, beranjak membuka laptop, menulis sesuatu kemudian pergi tidur.
Hari berganti, di Cianjur waktu membawa kabar gembira, penjualan sudah naik di atas rata-rata.
Menjelang sore, emak tersenyum manis membawa gorengan tahu isi, aku tidak lagi takut karna neng Tita sudah berubah, entah apa yang membuatnya seperti itu, "makasih ya mak," ucapku dengan manis.
Emak hanya diam terus melangkah ke parkiran, dia dateng juga, pikirnya karna telah menunggu, "Cep sini," panggilnya dari depan, aku beranjak dan dia menunjuk ke arah jalan, senyum lebar langsung mengembang di wajahku.
Aline berjalan sambil menikmati hembusan angin, merasakan gelitik dedaunan di ujung jemari, mendengarkan bisikan angin yang memangil di antara batang-batang padi, memeluk emak dengan hangat dan tertawa lepas bersamaku.
"jualan naik yah tinggal kita maksimalin," ucapnya langsung mengambil tahu isi dan memakannya dengan wajah tanpa dosa.