Sudah lama aku tidak merasakan nuansa hangat seperti ini. Seingatku, terakhir sebahagia dan merasa selengkap ini sekitar enam tahun lalu, saat aku masih sekolah dasar.
Saat ini kami berempat bisa kembali makan dalam satu tempat yang sama, meski bukan meja makan.
Kami ada di tepian tanah lapang di mana ada banyak bunga-bunga mekar berwarna-warni di tepian. Cuaca juga sejuk, seperti di Batu. Suasana hangat sekaligus tenang.
Aku dan Mas Cip, satu-satunya saudara kandungku, seperti biasa, asyik bercanda. Jangan dikira candaan kami hangat. Cara kami bercanda seperti kucing dan tikus. Tapi ya beginilah kami. Salah satu dari kami tidak ada, rumah akan menjadi terlalu hening.
Bapak dan Ibu asyik dalam dunia mereka sendiri. Mereka mesra, dan selalu mesra. Mereka bahagia, seperti akan selamanya senantiasa bahagia. Banyak yang iri dengan keromantisan alami mereka.
Kenapa aku bilang alami? Ya karena tidak dibuat-buat. Sesuatu yang berasal dari hati, akan mudah bukan, untuk terasa dalam hati? Apa kelak aku dan Mas Cip bisa punya pasangan seindah mereka? Semoga saja.
"Ah!!! "
Aku memekik karena merasa wajahku mendadak basah. Dan segala kesempurnaan barusan mendadak sirna. Aku mengerjap.
"Habis subuhan pantang tidur lagi. Katanya mau magang di kantor. Latihan bangun pagi, Nduk."
Omelan Mas Cip terbit diiringi mataku yang masih berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang menusuk mata. Ternyata aku tertidur di tempat salat.
"Mas, bisa nggak, kalau bangunin adik semata wayang itu yang lembut dan penuh kasih?"
Mas Cip terbahak tapi dibuat-buat. "Lembut? Lelembut?"
Dan sekejap kemudian sebuah handuk sudah melayang ke wajahku.
"Sana! Cepetan mandi. Lalu ikut ke kantor. Mas kenalin sama atasan."
"Mas mau jual aku?"
"Lambemu!"
Aku tergelak. Iya, aku ingat. Mas Cip memang akan mengenalkanku apada atasannya. Nanti beberapa minggu lagi aku lulus SMA, siapa tahu bisa langsung magang di kantor Mas Cip.
Aku mandi dengan kecepatan seperti bus antar kota. Sebentar kemudian aku sudah selesai berganti baju, berdandan secukupnya mumpung sekolah tidak ada kegiatan menjelang kelulusan, lalu duduk di sebelah Mas Cip, di meja makan rumah kami.
Biasanya begitu mendengar aku duduk, Mas Cip segera memulai makan. Tapi kali ini dia seperti melamun. Dia tak sadar aku sudah menunggunya memulai makan.