Entah, ada apa dengan hari ini. Bisa-bisanya dari pagi aku dan Mas Cip sangat melankolis begini. Mas Cip mengantar kepulanganku dari kantornya dengan mata sendu. Aku berusaha memberinya senyum terjahil yang bisa kuberikan. Dia, tak urung ikut tersenyum.
Tinggal Mas Cip yang kupunya. Tapi aku tak masalah dia menikah dengan Mbak Sasi, anak dari atasannya itu. Mbak Sasi baik padaku sejauh ini. Semoga demikian seterusnya. Mbak Sasi tak berkeberatan ikut bersih-bersih rumah kami yang bagai gudang itu. Nanti setelah aku lulus SMA, selama aku belum dapat pekerjaan aku akan mencicil bersih-bersih rumah. Paling tidak saat pernikahan mereka, rumah kami akan lebih layak huni sebagai jaga-jaga kalau ada saudara kami yang hendak menginap.
Aku bukannya langsung pulang, malah beralih menuju makam bapak ibu. Tidak terlalu jauh dari rumah. Satu kilometer tidak jauh meski aku jalan kaki. Kami sudah terbiasa ke mana-mana jalan kaki. Kami terbiasa meski matahari terik tetap berjalan. Kulitku tetap kuning langsat saja meski sering berjalan kaki di siang hari. Itu berkah bukan? Wajahku juga tidak terpengaruh perubahan hormon saat puber, tidak ada jerawat. Aku dikenal sebagai perempuan berparas manis dan sering jadi primadona. Tapi, tentu saja aku tidak mudah terpengaruh oleh rayuan gombal para buaya remaja itu. Selagi mereka tidak se-effort Mas Cip, aku tidak akan goyah.
Digoda dengan seikat bunga? Hah, aku tidak makan bunga. Aku dan Mas Cip perlu beras untuk hidup. Memberiku sebotol parfum yang mungkin mahal? Maaf aku juga tidak perlu. Kami lebih perlu minyak tanah untuk memasak makanan sehari-hari.
Aku sampai di depan makam bapak dan ibu. Hanya makam mereka yang terawat karena di sela kesibukan kami bertahan hidup, paling tidak sebulan sekali kami akan datang menyapa mereka. Makam mereka paling hijau dan rapi, dan ada tanaman mawar di dekat nisan mereka. Kami yang menanamnya.
Aku bersila di antara makam mereka. Mengamati bergantian nama di nisan itu.
“Pak, Bu, bentar lagi Mas Cip menikah. Tapi jangan kuatir, aku akan baik-baik saja. Mas Cip tidak akan melepaskanku sampai aku sendiri yang menikah. Bapak sama ibu bahagialah di sana. Oh iya, satu lagi. Semoga mulai minggu depan aku bisa magang di tempat yang direkomendasikan atasan Mas Cip.”
Aku kembali termangu. Dalam hati mendoakan mereka, lalu mendoakan kebahagiaan untuk Mas Cip juga. Semoga Mas Cip dan Mbak Sasi bisa seromantis bapak dan ibu, tapi dengan usia yang jauh lebih panjang, sampai mereka jadi buyut kalau perlu.
Suara seseorang membersit ingus di kejauhan membuyarkan lamunanku. Aku menyipitkan mata berusaha menajamkan pandangan. Aku melihat seseorang sedang bersimpuh di dekat makam, yang sepertinya masih lumayan baru.
Ah, aku ingat. Dia Rama, teman SMA sejak setahun lalu. Dia pindahan dari Tuban. Makam siapa yang dia kunjungi ya? Bukankah orang tuanya katanya masih di Tuban? Aku semakin takjub, saat melihat siapa yang di sisinya. Aku yakin sekali, dia Lestari. Satu-satunya kawan karibku yang sangat dekat, dan menerimaku sebagai sahabat tanpa syarat.
Di sekolahku yang terkenal favorit, isinya memang kebanyakan kaum berduit. Hanya aku yang mungkin sangat minim. Tapi Tari tidak masalah meski kadang datang ke rumahku untuk belajar bersama.
Satu yang kusadari saat ini. Tari ternyata sekarang bersama Rama. Dulu, Rama nampak ada ketertarikan padaku, tapi dia tidak cukup percaya diri sepertinya untuk mendekatiku. Dulu, dia menggunakan Tari sebagai jembatan. Tapi, mana bisa aku berminat pada laki-laki seperti itu? Lihatlah Mas Cip yang sedahsyat itu dalam memperjuangkan aku. Rama yang bahkan mendekat saja tidak punya nyali, mana mungkin kuperhitungkan?
Kabar dari Tari, dia agak minder karena tidak sekaya yang lain. Aku ingin tergelak. Lha dia kira aku sebangsawan apa? Makan dua kali sehari dengan lauk tempe sepotong itu aku sudah bersyukur.
Memang Rama berbeda, karena dia satu-satunya laki-laki dari kaum biasa yang terlihat tertarik padaku. Lainnya memang dari kaum berduit sehingga hatiku mudah saja membuat benteng. Untuk apa aku dekat dengan mereka kalau ujung-ujungnya akan terluka? Orang tua mereka jelas akan memilih yang sederajat. Aku yang nggak jelas begini mana bisa diperhitungkan?
Aku pernah kerja kelompok ke rumah salah satu dari mereka, dan ibunya melihatku dari ujung kuku kaki sampai rambut yang tidak berkilau sepertinya. Itu sudah cukup membuatku tahu diri.
Tapi kalau boleh jujur, dekat dengan mereka itu menyenangkan. Para lelaki tidak serumpi perempuan. Telingaku aman dari pembicaraan seperti liburan ke luar kota, trend baju, salon yang bagus dan entah apa lagi. Kecuali Tari, tentu.
Heran kenapa aku bisa masuk sekolah seperti ini? Tentu karena aku peraih NEM tertinggi saat SMP. Aku memang sedikit berjuang bisa masuk sini supaya tidak terlalu jauh dari rumah.
Aku memilih segera pergi dari makam, tak ingin mengganggu Tari dan Rama. Bisa jadi suasana menjadi canggung kalau kami bertemu, mengingat Rama yang pernah ada rasa padaku dan Tari yang sahabat terdekatku saat ini dekat dengannya.
Aku melangkah sehati-hati mungkin untuk tidak menarik perhatian mereka. Aku sudah sampai di tepian jalan saat seseorang mendadak berjalan di sisiku. Naluri waspadaku muncul setiap aku sendiri tanpa Mas Cip. Tapi saat menoleh ke sosok itu aku menjadi lega.
“Ngapain Dhis?”
Yudhistira, salah satu kawan dekatku itu ikut berjalan di sisiku. Dulu dia termasuk yang getol sekali melakukan pendekatan, dan lumayan dekat dengan Mas Cip.
“Aku lagi cari angin, males di rumah. Lihat kamu masuk area makam aku tungguin aja sekalian.”