Dia Pergi

Dina Ivandrea
Chapter #1

Doa yang Memaksa

Telah begitu lama aku tidak menyentuh cermin. Pikirku, buat apa? Siapa yang akan peduli? Yang penting aku tetap mandi dan menjepit rambutku agar tidak menutupi mata dan tidak membuat risi leher ini. Telah begitu lama pula aku disangka nenek dari bocah yang sekarang berusia empat tahun. Wajah kusam dan tubuh kisut telah menemani tahun-tahun terakhirku semenjak bergelar "istri".

Tak perlu basa-basi, aku dulu cantik sekali. Namun, kata orang, aku salah memilih pasangan. Satu kesalahan saja kubuat, seumur hidup aku harus menanggung beban berat di dalam batin yang kadang meledak. Tak terhitung sudah berapa liter air mata yang telah tumpah, membentuk sungai yang mengalir di sepanjang perjalanan menuju ujung kehidupan.

Sungai itu semakin deras arusnya ketika aku melihat suami istri bercanda dan berpeluk mesra, atau ketika seorang ayah menimang buah hatinya dengan senyuman yang dibalas tawa riang. Semua hal sederhana yang merupakan kewajaran, itulah yang kuimpikan setelah bergelar "nyonya". Ya. Nyonya Kasihan, istri dari Tuan Badjingan yang telah membuatku menjadi janda tanpa surat, sebab dia hanya menikahi secara siri, dan telah menceraikan melalui sebaris tulisan dalam chat WhatsApp.

Semenjak itu, aku berkesimpulan bahwa laki-laki yang belum selesai dengan dirinya sama sekali tidak layak untuk dijadikan suami, atau mereka hanya akan menciptakan penderitaan demi bagi istri, keluarga, dan orang-orang terdekatnya.

Aku tidak pernah setuju dengan kalimat "Kenali dulu sebelum menikah." Nyatanya, ada yang berpacaran belasan tahun, kemudian mengikat janji suci. Tak lama berselang, mereka bercerai. Di sisi lain, ada yang hanya berkenalan, tak kurang dari sebulan mereka menikah, dan terus bersama hingga beranak cucu.

Bagiku, menikah adalah berjudi dengan mempertaruhkan masa depan. Banyak yang menang, bahkan menang banyak. Namun, tak sedikit juga yang habis-habisan hingga tak meninggalkan apa-apa—akulah itu. 

Telah bertahun-tahun aku hidup tanpa tujuan, yang penting anakku bisa makan. Sayang, aku tidak bisa mengupayakan kebahagiaannya. Dia butuh ayah, supaya tak ada lagi temannya yang mengejek.

Gracioku sering meneteskan air mata disertai isak yang dalam tempo sekejap berubah menjadi raungan yang menusuk dada, menghunjam jantung, menyesakkan isi kepala, menyisakan ratapan yang tak kunjung reda, memanggil-manggil dia yang tak punya hati. Semua itu terjadi baik secara sadar maupun di tengah lelapnya. Entah sedalam apa lukanya, yang pasti dia merindukan manusia yang telah meninggalkan kami, entah ke mana, bersama siapa, dan untuk berapa lama.

Tak banyak yang dapat kulakukan. Aku hanya bisa berjaga-jaga agar dapat langsung memeluknya kalau-kalau dia terbangun dan menjerit lagi. Seperti malam ini, dia sesenggukan. Dia terpejam, tetapi bulir bening terus berjatuhan dari kedua sudut mata. Dadaku sesak seketika.

Kuusap kepala bocah berambut ikal itu. Kubilang "sayang", kuucapkan kata-kata berkat, kupeluk dan kutenangkan dia walau hati ini hancur lebur.

Lalu, aku menyatukan kedua tangan, merapalkan doa membabi buta, meminta Tuhan mengembalikan dia, terserah bagaimana bobroknya, asal rindunya Cio bisa terobati, atau hadirkan saja orang yang benar-benar baik agar Cio tidak tumbuh tanpa sosok ayah. Hatiku pahit, tetapi harapan tetap setinggi langit. Aku pasrah, tetapi belum menyerah.

Lihat selengkapnya