Pukul 7 pagi. Aku dan Cio belum lagi mandi. Kami masih asyik bercengkerama di tempat tidur, mengukir cerita manis untuk kenangan di masa depan, memulai kehidupan dengan segenap kekuatan untuk bahagia, sambil memikirkan akan makan apa anakku hari ini. Tak lupa pula rasa cemas yang mulai mengintip dari balik hati, yang selalu kutepis tiap kali muncul.
Jujur saja, aku sedikit berharap, dan jika Andre ingkar, aku tak mau lagi menggubris. Sudah puas aku kalau hanya dibohongi. Nyatanya anganku mulai berkelana, mengandaikan banyak pengandaian.
Teleponku berdering. Nama "Andre SenCi" terpampang di layar ponsel. Terima kasih kepada grup WhatsApp SenCi yang telah memungkinkan kami saling menyimpan nomor—SenCi adalah nama beken SMP Negeri Cikarang.
Sekilas dadaku terasa seperti disilet, dan rasa itu hadir seiring dengan bergesernya tombol mengangkat telepon. Jempolku sedikit gemetar. Kupencet tanda "speaker" agar suaranya terdengar lebih jelas.
"Selamat pagi, Non," sapa pemilik suara bariton itu.
"Ya, pagi." Aku senyum-senyum sendiri. Senang rasanya dipanggil "Non".
"Lagi apa? Udah bangun, nih, pagi-pagi."
"Udah, dong."
Aku sedikit heran saat Andre bilang "pagi-pagi", dan aku juga heran kenapa dia sudah bangun. Sungguh jauh berbeda dengan yang pernah kumiliki, yang baru bisa membuka mata setelah matahari tepat di atas kepala. Mungkin itulah kunci kesuksesan Andre selama ini.
"Ih, Mama lope-lopean ya? Ih, Mama pacalan, ha ha ha!"
Aku terkesiap. Mataku membelalak. Tak kusangka anakku berkata seperti itu. Rupanya dia melihat gambar profil Andre, gambar smile dengan satu tangan menunjuk, dan lidah berwarna merah yang menjulur, bentuknya seperti hati.
Aku tergelak. Cio terus menggoda. Ada rasa canggung, tetapi hanya sedikit.
"Mana anaknya?" Andre menyela.
"Dede. Nih, omnya mau ngomong. Halo, gitu." Kudekatkan ponsel ke wajah Cio.
"Halo," sapa Cio. Surprise! Baru kali ini Cio bersikap ramah terhadap orang asing.
"Halo, Dede. Lagi apa? Udah mamam belum?"
Apa? Andre ikut-ikutan memanggil Cio "Dede"? Padahal anak-anak SenCi lainnya selalu panggil nama, dan Cio selalu malu-malu dan ingin segera menyudahi pembicaraan. Kali ini sungguh berbeda. Mereka tampak akrab mengobrol. Cio banyak tertawa. Oh, Tuhan. Pertanda apa ini?
"Om Lope sini, dong, main ke yumah dede."
Apa? Anakku menyuruh Andre untuk datang ke rumah? Tidak! Bagaimana mungkin anak itu bisa langsung akrab dalam sekali obrolan? Dadaku bak disiram air es. Ya, Tuhan. Jangan membuatku berharap.
Andre menyudahi panggilan karena ada urusan pekerjaan. Dia berjanji akan telepon lagi jam sepuluh. Hatiku mulai susah, terlebih ketika Cio mengajakku untuk main ke rumah "Om Lope". Andre sempat bilang kalau sekarang dia sudah tak lagi di Pematangsiantar, dan sekarang kembali ada di Bekasi. Artinya, jarak sudah tak lagi jadi penghalang. Ah. Aku tak ingin bertemu dengannya. Aku malu dengan keadaanku sekarang. Namun, bagaimanapun juga aku harus mencari tahu. Jangan-jangan dia juga memboyong keluarganya.
***