"Jadi, gimana eksekusinya kalau istri lo aja kayak gitu? Nggak mungkin, dong, setahun enggak sama sekali," tanyaku, menanggapi omongan Andre. Aku sedang di rumah Mama Aca, menemani Cio. Mama Aca sedang memasak. Aku di depan, dan kami sedang mengobrol tentang penyebab perceraiannya. Dia yang memulai, bukan aku yang bertanya.
"Asyik. Udah dalam, nih," godanya. Aku tidak canggung. Rasanya biasa saja, seperti mengobrol dengan teman lama.
"Ya, paling lima jari. Mau gimana lagi. Daripada gua kena kanker prostat," lanjutnya.
Astaga. Ternyata di balik keceriaannya, Andre menyimpan banyak kesedihan. Andai aku yang jadi istrinya, tidak mungkin kubiarkan dia berangkat atau pulang kerja tanpa aku membukakan pintu baginya. Tidak mungkin kubiarkan dia makan sendirian tanpa aku yang mengambilkan, lalu duduk di sampingnya, kalau perlu menyuapinya. Tidak mungkin kubiarkan dia uring-uringan dan sakit kepala tanpa kuberikan dia cara terindah untuk menyalurkan hasratnya. Kenapa kami tidak bertemu sejak dulu? Padahal jarak rumah orang tua kami hanya empat gang.
Aku mulai berani berkhayal lebih tinggi. Namun, sebuah kesadaran tiba-tiba datang mencengkeram. Aku dan Andre sekarang ini berbeda, Dan aku, sampai kapanpun tidak bisa menikah lagi sebelum Vino mati. Ya Tuhan, kenapa tidak kau cabut saja nyawa orang-orang yang tidak bermanfaat? Apa sebenarnya skenario-Mu dalam hidupku?
Tidak! Aku harus mengakhirinya sekarang sebelum semuanya terlanjur menjerat jalanku. Mumpung baru seminggu. Mumpung Cio belum terlalu dekat dengannya. Mumpung semua masih bisa diselamatkan.
"Ya udah. Gimanapun ceritanya, semoga lo bisa menemukan jalan terbaik buat keluarga lo. Kasihan anak-anak kalau orang tuanya pada egois. Selagi masih bisa diperbaiki, ya berusahalah," kataku dengan hati pilu, karena bukan ini yang ingin kuucapkan.
"Ya sudah. Kalau lo emang nggak bisa nerima keberadaan gua, nggak apa-apa. Yang penting lo sehat, lo bahagia, lo juga bisa balikan lagi sama bapaknya Cio," sahut Andre. Nada bicaranya terdengar biasa saja. Apa mungkin dia akan mencari wanita lain?
"Iya, makasih doanya, tapi gua nggak janji gua akan sehat terus. Udah ya, nanti lagi. Bye." Kututup paksa obrolan kami. Dadaku seperti dipukul palu.
[Kenapa ngomongnya begitu? Boleh, gua telepon lagi?] Andre mengirim pesan.
[Nggak apa-apa. Gua, kan, punya autoimun, jenisnya rheumatoid arthritis. Udah belasan tahun. Yang lain juga udah pada mati. Gua masih hidup aja udah bersyukur. Tapi, ya, kayak gini, lah, keadaannya.]
[Gua mau lo sehat. Gua punya kenalan dokter ahli penyakit dalam, nanti gua tanya sama dia gimana solusinya.]
[Iya, makasih.]
Aku menyudahi sentuhan dengan ponsel, lalu menyadari betapa diriku seolah baru kembali dari dunia lain. Aku keluar dari rumah Mama Aca yang ternyata hanya ditungguin oleh Reyhan, anak pertamanya, sedang bermain game online. Aku keluar mendapati kedua sahabatku di warung Ibu Usy.
"Tante, sini, duduk. Ngerujak deui¹, yuk, ah," kata Mama Aca.
Rujakan adalah salah satu hiburanku. Mereka tak pernah berhitung kalau punya bahan makanan. Kebetulan ibuku juga sering membawakan buah-buahan—di depan rumahnya ada pohon belimbing dan jambu air. Di belakang rumahnya ada pohon jambu klutuk—kami bisa rujakan kapanpun kami mau.
"Ibu, petisnya kurang, nih. Mana, tambah lagi, sini," pinta Mama Aca pada Ibu Usy seraya mengulek sambal.
"Udah, cuma segitu doang. Itu juga si Nia yang kirim dari Madura," kata wanita asli Bangkalan itu.
Aku kebagian mengupas mangga muda. Kulakukan semua dengan pikiran yang tertuju pada satu nama. Akankah semua berakhir? Rasa sesaknya masih belum mau pergi sedari tadi. Sepertinya aku harus mengatakan sesuatu.
[Kalau bisa besok nggak usah telepon dulu ya. Gua lagi mau menetralisir perasaan.]
[Oh gitu. Okay, deh.] jawabnya, lima menit kemudian. Empat menit sebelumnya aku sibuk buka tutup ponsel, menanti balasannya. Jujur, aku kecewa. Kenapa dia tidak melarangku?