Dia Pergi

Dina Ivandrea
Chapter #4

Justru Paling Pas

"Nggak usah dinetralisir lagi, ya, perasaannya. Udah, biarin mengalir aja. Gua juga nggak bisa menetralisir perasaan, kok," ujar Andre, masih melalui sambungan telepon.

"He he. Enggak, kok. Bukan apa-apa. Cuma nggak bisa konsentrasi aja karena akhir-akhir ini otak gua terganggu sama satu subjek. Nggak bisa fokus nulis." Andre tahu aku seorang penulis.

"Ya sama."

"Sama, apa?" desakku.

"Enggak, kalau gua nggak bisa by phone. Paling enggak gua ajak ngopi. Kan, gitu."

"Kopi gua pahit, Bos. Selera kita mungkin beda," kilahku. Aku tahu arah pembicaraannya.

"Sama. Kopi gua juga pahit. Semua teman-teman udah hafal, kalau gua bertamu, pasti dikasihnya kopi pahit."

Apa? Sama? Padahal aku sama sekali tidak suka kopi. Bagaimana kalau satu kali Andre mengajakku minum kopi? Matanglah aku! Huh! Aku menyesal bilang begitu.

"Enggak, ah. Gua nggak mau ketemu. Gua nggak layak untuk nemuin lo. Takut lo kasihan nantinya. Mengasihani gua bukanlah porsi lo."

"Loh, kenapa? Kok, gitu ngomongnya?" Suara Andre terdengar cemas.

"Nggak apa-apa. Lo terlalu indah buat gua. Sedangkan gua cuma upik abu. Upiknya hilang, tinggal abunya."

"Ha ha ha. Lucu juga, ya, anaknya pak Adit."

Andre bisa berkata begitu karena dia memang mengenal almarhum ayahku. Semenjak SMA, dia sering mengobrol dengan ayahku yang sering nongkrong di samping rumahnya sambil bermain remi atau gaple. Saat itu Andre sudah yatim piatu.

"Lo anak pertama, kan, ya?" tanya laki-laki yang sukses sebagai perantau di Siantar.

"Iya, nggak cocok sama anak terakhir," jawabku, ingin tahu reaksinya sebab dia anak terakhir.

"Kata siapa? Justru paling pas!" sahutnya dengan kata "pas" dipanjangkan.

Andre berjanji akan bicara melalui telepon saja nanti malam. Aku yakin dia akan menyatakan perasaannya padaku. Aku bimbang, tetapi sepertinya aku harus jujur padanya. Intinya aku tak bisa ..., tetapi aku juga takut kehilangan.

***

Malam belum terlalu larut. Jam di ponselku menunjukkan angka sembilan, jalanan masih ramai, tetapi aku memilih mengunci pintu, sebab Cio sudah tidur, dan aku sedang menantikan hal yang lebih baik dari sekadar mengobrol di warung.

Akhirnya ....

"Halo." Suara indah itu kembali terdengar. Jantungku berdebar kencang menantikan inti dari pembicaraannya malam ini.

Lihat selengkapnya