Mei 2022
Sudah hampir sebulan hari-hariku terisi dengan keindahan demi keindahan. Aku semakin suka berdandan dan memperbaiki penampilan. Aku juga sudah mulai berani menampakkan wajah saat melakukan panggilan video dengan si Ganteng. Tentu saja dengan memamerkan angle terbaikku. Kurasa aku siap bertemu dengannya.
Aku tak lagi dapat menyembunyikan perasaanku. Aku memang sedang jatuh cinta. Mungkin ada banyak orang lain yang juga menyadarinya, karena aku yang hampir tak pernah memasang status di WhatsApp, sekarang sering membagikan kegiatan tanpa lupa memamerkan wajah.
Di lain sisi, aku semakin terbuka pada Andre mengenai apa yang sedang kualami, termasuk kekhawatiranku menjelang tahun depan, di mana Gracio sudah harus masuk TK. Gracio belum punya akte lahir, karena aku tidak punya akte nikah. Lagipula surat keterangan lahir Cio menghilang entah ke mana, padahal aku menaruhnya di tas dokumen. Aku mencurigai Vino.
Cukup lama aku berdiam diri. Adik-adikku sudah membantu membuatkan kartu keluarga, masakan aku terus merepotkan? Namun, waktu terus berjalan dan aku hanya bisa kebingungan. Tak ada uang memang bisa membuat IQ-ku menurun.
Andre meyakinkanku bahwa surat keterangan lahir anakku akan ada di tangannya dalam satu hari. Aku tidak percaya, karena setahuku harus ada surat kehilangan dari kepolisian lebih dulu baru bisa mengurus ulang surat keterangan lahir. Aku tidak berani mengurusnya sendiri karena keterbatasan keuangan.
Andre hanya meminta fotokopi dokumen-dokumen lain dari rumah sakit sebagai pelengkap data. Untuk itulah sekarang aku berada di minimarket perempatan jalan. Andre memintaku untuk bertemu sekarang karena hari ini dia ada rute ke perumahan Citra, melewati jalan tengah perumahanku yang juga rumah masa kecilnya.
Aku mengenakan pakaian terbaikku—dress selutut berbahan jersey dengan motif dedaunan berwarna hijau. Rambutku yang sepanjang leher kusisir dengan rapi. Wajahku berhiaskan bedak dan lipstik warna merah muda yang kuoles tipis-tipis.
Saat ini aku berdiri di depan ATM, sementara Cio asyik mencecap es krim di tangannya. Kami janjian jam satu. Ini sudah lewat lima menit. Aku sengaja berdiri berlama-lama di depan ATM agar jika Andre tiba, aku tidak mati gaya.
Deg! Jantungku memukul terlalu kencang. Andre datang! Dia baru saja turun dari mobil. Aku harus segera beraksi. Kumasukkan kartu ATM-ku untuk mengambil uang di dalamnya. Lima puluh ribu saja, karena memang hanya itu yang bisa kuambil.
Sudah cukup lama aku di depan ATM tapi Andre belum menyapaku juga. Terpaksa aku balik badan.
Aku kaget bukan kepalang. Andre sudah ada di hadapanku. Dia tersenyum manis, sementara aku terpaku dan membisu. Sepertinya ada gangguan di otakku yang tidak segera memerintahkan bibir ini untuk bicara. Aku terkesima menatap wajah bening di hadapanku. Andre tinggi sekali—dia bilang tingginya 178 sentimeter. Aku hanya lebih sedikit dari bahunya.
Andre lebih tampan dari yang selama ini kulihat di layar ponsel, dan wajahnya sama sekali berbeda dari Andre yang kukenal dulu. Dia menggunakan jaket coklat dan topi berwarna krem. Dia juga mengenakan celana jeans warna biru tua dan sepatu pantofel warna hitam dengan tas ransel di pundaknya. Sungguh perpaduan sempurna.
"Mana dokumennya?" Akhirnya Andre buka suara, karena aku hanya diam saja.
"Oh, ini." Kuserahkan map berwarna merah hati ke atas freezer es krim dan dia memeriksanya.
"Sebentar, ya." Aku menuju ke kasir untuk membayar susu kotak yang diambil anakku—es krimnya sudah kubayar tadi. Cio mengikutiku dari belakang.
Ketika aku menoleh ke arah jam 4, ternyata Andre sudah berdiri di sana, mengamati tubuh bagian bawahku dengan pandangan sedikit nakal. Aku tahu, dia pasti menyukai sesuatu. Ah. Bahagianya disukai oleh laki-laki sempurna, tetapi kenapa dia juga disia-siakan oleh pasangan? Kenapa tak Kau berikan dia untukku saja, Tuhan? Kenapa baru sekarang kami dipertemukan?
Ingatanku melesat ke tahun-tahun di mana belum ada Vino, benalu yang telah menggerogoti harta yang kumpulkan selama belasan tahun bekerja. Andai uangnya kubelikan rumah, pasti aku tidak sesusah ini sekarang.