Dia Pergi

Dina Ivandrea
Chapter #6

Pertemuan Ketiga

Aku masih belum mengizinkan Andre untuk datang ke rumah setelah lebih dari sebulan kami saling dekat. Di sisi lain, Cio terus memintaku untuk main ke rumah Om Lope—Andre sudah berkali-kali menyuruh Cio untuk memanggilnya "Papi", tetapi sepertinya anakku masih canggung dan terus memanggilnya "Om Lope". Aku sendiri sudah membiasakan diri memanggilnya "Papi" di depan Cio.

Entah ilmu apa yang Andre pakai untuk menaklukkan anakku. Awalnya aku bersikukuh untuk tidak mau main dulu ke sana, sebab gengsiku terlalu tinggi untuk menghampiri rumah laki-laki. Namun, aku menyerah juga karena Cio terus merengek. 

Andre merasa menang. Dengan girangnya dia mengirimkan peta lokasi rumah sekaligus kantornya di Bekasi Barat, cukup jauh dari tempat tinggalku di Tambun. Baiklah. Mumpung hari Minggu, tidak ada aktivitas di kantornya, dan aku juga sudah selesai beribadah. Kami pun berangkat.

Saat ini aku berada di salah satu mal di area terminal Bekasi. Cio kelelahan dan kepanasan sehabis naik angkot. Aku berinisiatif untuk mengajaknya ngadem di mal. Sebelumnya Aku sudah mengabari Andre bahwa kami datang sedikit telat.

[Aku nanti mampir di mal Bekasi dulu ya. Lo mau ke sini?]

[Kagak ah. Ogah amatan. Udah gua tunggu di rumah aja.]

Baru kali ini aku mendengar Andre bicaranya tidak enak. Padahal aku sudah sedikit kecewa karena ternyata mobilnya sedang masuk bengkel sehingga dia tidak bisa menjemput. Kupikir, mungkin ini sisi buruknya. Dia hanya manusia biasa, bukan malaikat.

Aku hanya beli sebotol air mineral, sebungkus snack dan sepotong es krim untuk Gracio. Kuminta dia untuk tidak berlama-lama di dalam mall supaya bisa cepat tiba di rumah om Lope. Kali ini Cio menurut. Rumah Om Lope ternyata lebih menarik di matanya. Padahal, biasanya mal menduduki tahta tertinggi.

Ketika aku berada di kasir—Cio menunggu di luar—tiba-tiba ada satu pria bertubuh tinggi, memakai baju garis-garis hitam abu-abu, mengenakan topi hitam dan tas selempang, mendekat dari arah luar dan langsung menyelak antreanku. Sepertinya dia ingin membayar sesuatu.

"Berapa, Mbak?" tanyanya sambil menunjuk semua belanjaanku. 

Aku bingung dan belum menyadari apa yang terjadi hingga aku melihat wajah orang itu. 

"Astaga, Papi! De, ada Papi, nih!"

Kutepuk lengan kiri laki-laki yang sudah memberiku kejutan luar biasa indah. Aku benar-benar merasa diperlakukan secara istimewa. Darahku sempat berdesir kencang saat menyadari bahwa itu Papi. Ternyata dia memang malaikat, malaikat penjagaku.

Andre tertawa puas. Tawa yang selalu membuatku kecanduan. Entah bagaimana menggambarkannya. Seperti suara bayi tertawa, renyah, lucu, dan ada satu nada tinggi dan panjang di ujungnya. Semua yang ada padanya terlalu indah bagiku.

Lihat selengkapnya