Dia Pergi

Dina Ivandrea
Chapter #7

Mungkin Sudah Waktunya

Dua lampu di rumahku mati hampir berbarengan, lampu dapur dan kamar mandi. Tiap kali terjadi hal-hal seperti lampu yang mati, keran air yang bocor, atau gagang pintu yang lepas, atau hal-hal sepele lainnya, aku hanya bisa menangis tak berdaya, sebab, aku tak bisa berbuat apa-apa. Uang yang kupegang pas-pasan, dan aku tak bisa mengganti lampu sendiri. Kepanikanku mendominasi, padahal aku punya banyak saudara laki-laki.

Andre meneleponku, panggilan video. Mataku masih sembab. Sakit hatiku masih terasa ketika dulu Vino memaksaku untuk hidup mandiri, padahal aku punya suami.

"Kenapa? Kok, nangis?" tanya lelaki itu dengan muka bantalnya. Dia baru bangun rupanya. 

Kuceritakan saja apa yang kualami. Dia heran kenapa aku menangis karena perkara ringan. Entahlah, kata beberapa pendeta, aku terlalu mengasihani diri. Aku benci dengan istilah itu, karena mereka tidak tahu kesedihan di hatiku. 

Aku hanya hidup berdua di kontrakan yang biaya sewa perbulannya dibantu separuh oleh Ziva. Pekerjaanku hanyalah mengajar les, menulis, juga mengerjakan pekerjaan serabutan lainnya, yang penting aku bisa dapat uang. Itulah sebabnya aku sering merasa bingung ketika berurusan dengan hal-hal yang berbau dengan uang.

Andre berjanji akan membelikan dua lampu dan akan menggantinya. Itu artinya mau tidak mau aku harus mengizinkan Andre untuk datang ke rumah. Mungkin memang sudah waktunya.

***

"Udah, ya. Nyala semua."

Aku terpaku. Ternyata masalah yang sering kutangisi selesai dengan begitu mudahnya. Andre yang fobia ketinggian rela naik ke atas meja kompor dan kursi demi mengganti lampu. Aku merasa bodoh, sebab bertahun-tahun aku hidup dengan orang yang sama sekali tidak mau kumintai tolong. Pikiranku tumpul.

"Makasih banyak, ya, Mas."

"Sama-sama, Sayang."

Entah kapan tepatnya, aku lupa, tetapi sekarang aku telah terbiasa memanggilnya "Mas", karena dialah yang mulai membahasakan dirinya seperti itu, dan cara memanggil kami pun tanpa kami sadari begitu random. Kadang aku-kamu, kadang lo-gua. Kupikir ini semua adalah karena kami teman lama. 

Memang betul kata orang, punya pasangan teman atau sahabat sendiri merupakan hal yang menyenangkan. Sekarang aku merasakannya. Kami terbiasa saling panggil lo-gua sejak masa remaja, tetapi ketika kami berada di keadaan yang lebih pribadi secara otomatis panggilan kami berbeda, menjadi "Mas" dan "Sayang", dan kalau sedang bersama cio panggilan kami berubah lagi menjadi "Papi" dan "Mama".

Lihat selengkapnya