Dia Pergi

Dina Ivandrea
Chapter #8

Permata yang Disia-siakan Pemiliknya

"Mbak, kata orang-orang, kamu sekarang jadi cantik, semok, nggak kayak dulu, peot," kata Ziva, di sela jam pergantian murid.

"Kata siapa?" 

Ziva menyebutkan nama beberapa orang yang memang saat berpapasan denganku, melihatku dengan pandangan tak biasa. Ternyata aku dulu sejelek itu. Aku sekarang lebih cerah, berat badanku bertambah. Andre bilang wajahku mirip Nagita, tetapi dia juga pernah bilang aku mirip Anna Maria, istrinya Roy Marten.

"Mama udah tahu soal aku sama Andre?" tanyaku. Ziva sendiri sudah tahu tentang Andre sejak beberapa waktu lalu karena Cio keceplosan bercerita. Ziva senang melihat kakaknya sekarang bahagia.

"Iya, udah. Nggak apa-apa, kok, kata Mama biarin aja, biar senang hatinya. Kamu udah bertahun-tahun menderita."

Seketika itu juga mataku panas. Dadaku sesak. Napasku tersengal-sengal. Sekuat tenaga aku menahan air mata, tetapi gagal. Tumpah juga. Aku bahkan tak bisa berkata-kata. Perlakuan Vino bertolak belakang dengan apa yang ada padaku sekarang. Kulihat mata Ziva juga berkaca-kaca. Wajah dan hidungnya merah. Bertambah deraslah air mataku.

"Yah. Sekarang, sih, aku jalanin dulu. Yang jelas, aku butuh Andre buat nemenin Cio juga, sebab tumbuh kembang Cio nggak akan terulang. Setidaknya ada sosok ayah yang nemenin dia."

"Iya. Yah ... bener-bener tuh orang. Binatang aja ingat sama anak. Nah, dia, boro-boro. Kenapa nggak diterkam harimau aja, sih!" Ziva geram, seperti semua orang geram pada Vino.

"Ha ha ha, tapi percuma juga dia mati kalau mantannya Papi masih hidup. Tetap nggak bisa bersatu."

"Iya, sih. Yah. Jalanin aja dulu, lah. Kita nggak tahu ke depannya gimana," ucap adikku yang kata orang wajah dan body-nya mirip BCL, tetapi menurutku lebih pas Andrea Dian. Plek ketiplek.

Kadang aku iri dengan kehidupan Ziva yang serba mudah. Suaminya bekerja di pabrik besar dengan segala tunjangan mulai dari rumah sakit, kacamata, bahkan beasiswa anak hingga rekreasi tahunan. Belum lagi bonus ini dan itu di luar gaji dan lembur yang jumlahnya lebih dari cukup.

Suami Ziva pintar memasak, Ziva tidak. Kekurangannya hanyalah bawel dan sering mengomel. Tidak apa-apa kalau suamiku seperti itu, asal tidak menelantarkan. Andai Andre yang jadi suamiku, aku akan sangat bersyukur dan akan memberikan yang terbaik untuknya, sebab dia tahu bertanggung jawab dan menafkahi. Hampir di setiap pertemuan kami dia menyelipkan uang untuk belanja.

***

[Oh, pasang foto, biar dikomentarin cowok lain. Biar dipuji.]

Aku sedikit terkejut dengan reaksi Andre ketika melihat statusku di story Facebook. Padahal, aku memasang foto berdua dengan Cio agar dia melihatnya dan setidaknya bilang aku cantik atau bagaimana. Kuhapus aja story-nya agar tidak menjadi masalah. Yang jelas aku tahu dia tidak menyukai hal itu.

Tingkahnya membuatku gemas. Aku semakin mencintainya. Tak lama, Andre menelepon, panggilan video. Dia melanjutkan omelannya. Aku menanggapinya dengan santai. Sengaja aku menguap lebar-lebar di hadapannya. Seperti biasa, walau sedang mengomel, Andre tak pernah lupa bereaksi kalau melihatku menguap. Dia memaju-mundurkan layar ponselnya beberapa kali.

Lihat selengkapnya