Dia Pergi

Dina Ivandrea
Chapter #9

Filosofi Angka 8

Kami tadi naik motor sambil bercanda di sepanjang jalan. Bahagia Andre sederhana, bisa tertawa bersama. Dia bilang, mantan istrinya tidak pernah bicara saat dibonceng sepeda motor dan mereka saling membisu hingga tiba di tempat tujuan—sesuatu yang aneh bagiku.

Sekarang kami ada di sebuah restoran Sunda yang cukup luas dengan saung-saung etnik dan area bermain yang tertata dengan apik di satu sudut. Andre pernah datang ke sini bersama mantan kekasihnya, Surti namanya. Mereka menjalani hubungan hanya tiga bulan, setelah itu Surti meninggalkannya dan kembali ke pelukan sang mantan suami.

Seperti biasa, Andre memesan makanan dengan porsi besar, hampir dua kali lipat. Aku menolaknya, tetapi Andre bilang kalau sisa bisa dibawa pulang. Dia lantas memilih nomor 8 dari saung-saung yang masih kosong. Letaknya cukup jauh dari tempat pemesanan makanan.

"Kenapa nggak yang dekat aja, sih?" protesku.

"Nanti papi gendong kalau capek. Papi suka, loh, nomor 8. Dia itu melambangkan infinity, berlimpahan dan kesuksesan yang nggak ada habisnya. Lagian itu, kan, tanggal ulang tahun papi."

Aku mengangguk. Mencoba memahami pola pikirnya sebagai orang yang telah meraih kesuksesan. Ternyata segala sesuatu yang dia lakukan tidak asal-asalan, melainkan ada filosofinya, ada buah dari pemikirannya, meski sekadar urusan memilih saung.

Andre membimbingku menaiki tangga saung. Kedua lututku yang sudah tidak berfungsi dengan baik karena autoimun membuatku kesulitan naik turun. Dia tampak melindungiku dan tidak ingin mempermalukanku. Aku jadi ingat ketika menuruni tangga di playground Ceria, Andre yang turun duluan memalingkan wajahnya saat aku tergopoh menuruni anak tangga satu demi satu. Mungkin dia tak ingin aku malu. Sekarang aku tidak takut lagi naik turun tangga. Ada Andre yang selalu menopangku.

Andre menyulut sebatang rokok. Entah kenapa penggila warna ungu itu tiba-tiba murung. Kurasa ada hubungannya dengan turunnya omzet bulan ini dan mobilnya yang rencananya mau dijual.

"Kita ajak Oma ke Kosambi, yuk. Sebelum mobil kejual. Sekalian mau nemuin orang, urusan kopi. Mau ada bisnis. Doain, ya, biar jadi."

Aku mengiyakan saja apa katanya. Sejujurnya aku kurang fokus mendengar dia bicara, karena aku sedang menikmati pemandangan indah di hadapanku. Andre tampak seksi saat bercumbu dengan rokoknya yang terselip di antara telunjuk dan jari tengah—jari-jari yang panjang.

Makanan datang. Sebakul nasi, dua ekor gurame goreng ukuran besar, sayur asem, tahu-tempe, ikan peda, ikan asin, lalapan, sambal terasi, dan juga dua ekor ayam goreng, untuk jaga-jaga kalau Cio tidak suka ikan. Itu inisiatif Andre.

Kuambilkan lebih dulu untuk papiku, setelah itu aku menyuapi Cio sambil mengamati caranya makan. Lahap sekali, sampai keringatnya bercucuran karena kepedasan. Semakin berkeringat, semakin tampak bersih wajahnya. Hari ini Andre ganteng sekali dengan kemeja lengan panjang warna merah bata yang digulung sampai lengan dan celana jeans biru muda yang sobek di bagian dengkulnya.

"Enak nggak?" tanyanya. 

"Enak. Cuma, sayur asemnya masih lebih enak bikinanku."

"Oh, iya. Jelas, dong, Sayang."

"Iya tapi pilih ke sini kan mau mengenang saat-saat bersama ayank Culti," godaku setelah selesai minum dan mengelap mulut.

"Mulai, deh." Andre cemberut sambil melirikku. 

Gemas sekali melihat wajahnya. Kudaratkan saja ciuman mendadak ke bibirnya. Dia kaget dan tampak senang sekali. Wajahnya mendadak semeringah. 

"Gua suka banget diginiin. Cuma lo yang kayak gini," ujarnya.

Lihat selengkapnya