Dia Pergi

Dina Ivandrea
Chapter #10

Kejutan Ulang Tahun

Andre datang menjemput dengan sepeda motor yang penuh dengan bawaan. Hari ini adalah ulang tahunku. Dia sengaja datang sepulang dari bekerja, hendak merayakan ulang tahunku di sebuah restoran keluarga dengan konsep live music. Kami sering makan di sana. Cio menyebut restoran itu "musik". Andre kerap mengajak Cio dengan berkata, "Dede, ayo kita ke musik."

Cio dengan riangnya duduk di depan—Andre sudah membelikan jok motor yang dipasang di sambungan depan—dan terus menyanyikan lagu "sibidi dap dap dap yes yes" yang kami tidak tahu maknanya.

Kami melewati banyak tempat wisata kuliner, warung-warung makan, dan tempat jajanan yang hampir semuanya sudah kami cicipi. Aku bersyukur punya Andre yang melengkapi hidup kami. Kami cocok dalam banyak hal, termasuk hobi jalan-jalan dan makan.

Sementara Cio asyik sendiri, Andre mengubah posisi spion kanan dan kirinya agar bisa melihatku dari sana. Dia sering sekali melakukan itu. Aku merasa tersanjung diperlakukan dengan begitu istimewa. Oh, Andre. Terbuat dari apa hatimu, Sayang? Bahkan semua keunikan dan kebaikan kau borong tanpa sisa. Mana bisa lagi aku berpaling? Habis sudah semua cintaku untukmu.

Tiba-tiba, "Ma, kapan-kapan kita makan sikut lagi, ya," pinta Cio ketika kami melewati restoran seafood di sebelah kanan jalan.

"Hah? Sikut?" tanya Andre disusul tawa lepas.

"Seafood, loh, maksudnya, Pi," ungkapku sambil menahan tawa. 

"Sikut! Iya, kan, Pi?" Cio bersikukuh. Kami pun mengiyakan saja apa kata bocah yang sebentar lagi masuk TK itu.

"Iyaa."

Cio dan Andre memang sudah tak bisa dipisahkan lagi. Mereka terus menciptakan chemistry dari hari ke hari. Tiada hari tanpa bertemu, tiada hari tanpa makan bersama, tiada hari tanpa jalan-jalan dan jajan, tiada hari tanpa video call. Semua dilakukan bertiga, seperti layaknya keluarga bahagia. 

Jika ditanya anak siapa, Cio pasti akan dengan mantap menjawab, "Anak Papi." Aku bahagia, bukan karena Vino telah terbuang—Cio masih sering bilang kangen Papa dan kadang terbangun di tengah malam atau menjelang subuh dengan tangisan atau sesenggukan, tetapi intensitasnya sudah berkurang. 

Aku bersyukur, kehadiran Andre dapat mengurangi luka batin Cio akibat ketiadaan sosok ayah. Entah bagaimana kedepannya, yang penting Cio bahagia, Andre juga, aku juga. Ya. Aku tidak mengizinkan lagi hidupku diintervensi oleh persoalan. Aku dan Andre sepakat bahwa kami akan selalu menciptakan energi kebahagiaan dan kebaikan agar semua yang baik-baik datang ke dalam hidup kami.

Tentang aku dan Tuhan, sebenarnya aku tahu ini tidak sesuai dengan firman-Nya. Namun, sekali lagi, tumbuh kembang Cio tidak akan terulang. Aku tidak ingin membiarkan lembar-lembar kehidupannya kosong, seperti pada waktu kami bersama Vino yang memang sudah sejak awal pernikahan sering pergi dalam waktu cukup lama, kemudian pulang tanpa membawa hasil.

Dan lagi, haruskah aku bertahan dengan manusia toxic dan menghancurkan hidupku sendiri? Bukankah lebih baik aku sendiri? Tetapi Tuhan tahu aku menderita dan butuh teman. Lalu dikirim-Nyalah Andre untuk mengisi hari-hariku. Itu kata Andre. Dia bilang, "Tuhanlah yang mempertemukan kita."

Keluargaku, ketiga kakaknya—sebab Andre sudah yatim piatu, teman-teman kami, semua sudah setuju untuk kami bisa bersatu, tetapi masalahnya, gereja tidak bisa menikahkan kami. Perang batin yang kurasakan adalah, aku ingin menikah dengan Andre, tetapi aku tahu ini salah, mungkin dosa. Entahlah, aku bukan ahli agama.

Kami masih terus berjalan. Sesekali, duo kesayangan di depanku itu bergoyang. Mereka berdua memang tidak bisa mendengar musik ceria, pundak kanan dan kiri mereka langsung bergantian naik turun. Tiada hari tanpa bahagia. 

Lihat selengkapnya