Dia Pergi

Dina Ivandrea
Chapter #12

Habis Bertengkar Terbitlah Mesra

Setelah bosan diam-diaman, aku bertengkar hebat dengan Andre, membahas screenshot yang kukirimkan kemarin. Rupanya Andre baru bangun tidur dan baru membuka WhatsApp. Ini keterlaluan. Yang kemarin saja belum selesai, hatiku sudah terluka lagi akibat perbuatannya di hari-hari kemarin yang baru ketahuan sekarang-sekarang ini.

Andre balas marah karena aku membuka percakapan pribadinya. Dia bilang itu privasi. Padahal, dia sendiri telah mengobrak-abrik privasiku. Ketika aku mempermasalahkan chat-nya dengan Surti, dia terus menerus menyangkalnya. Katanya, dia hanya mencintaiku. Dia pikir aku percaya?

"Tapi, kan, dia nggak balas. Dia udah nggak pernah balas chat papi sejak ninggalin papi," ujar Andre tanpa dosa ketika aku melabraknya melalui sambungan telepon.

"Tapi kamu chat Surti setelah kamu jalan sama aku tiga bulan, Mas! Maksudmu apa, hah?"

"Tapi, kan, udah enggak lagi. Udah setahun lewat."

"Ya baru sekarang aja ketahuan. Kalau kamu diam-diam berhubungan lagi sama dia, kan, aku nggak tahu," omelku.

Akhirnya, aku benar-benar memblokir nomor Andre karena dia tetap tetap tidak mau mengakui kesalahannya. Tak ada pilihan lain. Aku marah, aku benci, aku kecewa.

Sehari dua hari aku masih kuat mendiamkan si pendusta. Namun, setelah reda amarahku, rasa rindu mulai membuncah. Teringat kembali semua kenangan indah bersamanya. Lalu, otak ini mulai mempresentasikan kebaikan-kebaikan yang telah Andre lakukan.

Aku seperti diingatkan kembali bahwa Andrelah yang membuat ulang surat keterangan lahir anakku, bahwa Andre juga yang memeluk dan mengajak Cio bermain, dan memberikan semua keperluan Cio layaknya seorang ayah kepada anaknya. Kalau tidak ada Andre, aku akan sendirian lagi.

Ingatanku tiba-tiba memutar memori di mana Andre rela menyelam di tumpukan area mandi bola demi menemani Cio. Bocah bermata sipit itu senang sekali kalau melihat Andre pura-pura tenggelam, lalu muncul di tempat tak terduga. Andre bahkan sempat kehilangan satu cincinnya seharga puluhan juta—untunglah pihak playground menemukan dan mengembalikannya.

Dadaku sesak. Belum pernah Cio diperlakukan seperti itu oleh ayah kandungnya. Mereka terakhir bertemu saat Cio berusia tiga tahun. Itupun Vino hanya datang mengunjungi selama beberapa jam saja, entah dari mana dan akan pergi ke mana. Kami tak pernah bicara.

Terhadap ayah kandungnya, Cio takut. Mendekat pun tak berani kalau tidak dipanggil. Kalau ingin meminta sesuatu, Cio selalu memintaku untuk menyampaikannya kepada Vino. Namun, kepada Andre Cio begitu bebas, begitu lepas, begitu hangat, begitu ceria.

Sebelum Cio punya ponsel sendiri, Andre selalu membebaskan anak itu untuk memegang ponselnya, men-download game kesukaannya. Awalnya Cio takut-takut karena Vino tidak pernah mengizinkan Cio untuk menyentuh ponselnya—takut rahasianya terbongkar.

Suara-suara di kepalaku terus menuduhku hingga aku kewalahan dan tergiring untuk segera kembali ke pelukan Andre. Dia ayah yang baik, suami yang baik, aku harus memaafkannya.

Ingatanku melesat lagi, memunculkan peristiwa demi peristiwa mengharukan ketika Andre memberi uang belanja, bertanya mau dibawakan apa, memeluk dan menggandeng tanganku, membangunkanku kalau aku duduk di lantai, dan belasan perbuatan manisnya padaku.

Aku memutuskan untuk membuka blokiran WhatsApp. Hari sudah gelap. Tiba-tiba Cio datang dari luar dan berteriak, "Ma, Papi, Ma!"

"Apa? Panggil, De!" aku panik. Rasanya ingin melompat keluar tetapi takut jatuh.

Aku kaget bukan kepalang. Hatiku campur aduk rasanya. Andre sudah berdiri di depan pintu dengan senyuman yang kali ini tidak manis karena setengah menangis. Oh, Andre. Rupanya kau terluka juga. 

Cio sibuk mempersilakan Andre masuk. Digelarnya karpet, diambilnya minum, dan dibantunya Andre membuka jaket coklatnya.

Lihat selengkapnya