Januari 2023
Gracio sakit. Badannya panas lagi. Sudah tiga hari demamnya belum turun juga. Kata Ibu Usy, biarpun demam, kalau anak masih ceria, tidak masalah. Kalau sudah mengantuk dan tidur terus sampai tidak mau bangun, itu yang bahaya—tetap saja aku khawatir, sebab Cio punya riwayat kejang. Aku harus bicara pada Papi.
[Mas, Dede badannya makin panas. Obat warung udah nggak mempan. Gimana, ya.]
[Ya udah ke dokter aja. Pakai uangmu dulu nanti papi ganti, ya. Ini papi sebentar lagi pulang.]
Lega sekali hatiku membaca pesan Andre. Padahal uang yang kupunya adalah pemberian darinya, tetapi dia masih berkata seperti itu. Andre benar-benar pengayom. Inilah yang sejak dulu ingin kurasakan, seperti istri-istri pada umumnya.
Aku bersyukur memiliki Andre walau dia belum sah menjadi suamiku. Sekarang, aku tidak panik lagi, tidak takut lagi, tidak bingung lagi kalau Cio sakit. Tidak seperti dulu, pikiranku buntu karena tidak ada uang untuk berobat. Semua kuhadapi sendiri karena Vino selalu marah-marah kalau anaknya sakit. Aku tahu, dia begitu karena tak pegang uang—dan tidak pernah mau mencari.
Cio sudah sering demam sejak bayi. Anakku itu punya kebiasaan menggigit kuku dan memegang benda-benda kotor, juga kucing liar. Aku sudah kewalahan menasihatinya, dan dia juga sudah berkali-kali pergi ke dokter karena kebiasaan buruknya itu. Aku harus banyak memaklumi, karena memang tidak sosok ayah yang mendampingi yang mendidik selama periode emasnya.
Untunglah Cio sekarang punya Papi yang sigap dan tidak pernah tidak bisa menyelesaikan semua permasalahan kami. Aku pun bersiap.
Langkahku terasa ringan menuju klinik tempat Cio biasa berobat, letaknya di tepi jalan utama, tak sampai 200 meter dari kontrakan.
Klinik tampak sepi. Hanya ada satu orang di ruang periksa. Gracio sudah mendaftar dan sudah ditimbang. Bobotnya 22 kilogram.
Tiba-tiba Cio berteriak, "Papiii!"
Aku tertegun. Kenapa Andre bisa secepat itu tiba di sini? Ayah dan anak itu berpelukan. Andre langsung menggendong dan memegang dahi Cio serta bertanya apa yang dia rasakan. Aku bersyukur sekarang Cio punya ayah yang begitu tulus menyayanginya. Tiada hari tanpa rasa syukur.
"Mas. Kok, kamu ada di sini, sih?"
"Iya, papi ada di daerah Tambun juga, ada urusan tanah. Daripada nganggur nggak ada kerjaan, orderan juga belum ada, bagus gua ngerjain apa aja, yang penting jadi duit. Doain aja ya. Tadinya gua nggak mau bilang, nanti aja kalau udah goal, tapi gua pikir doa restu istri itu perlu," katanya sambil membiarkan Cio bermain-main dengan rambutnya.
Sekali lagi aku terharu. Andre benar-benar sudah menganggapku sebagai istrinya. Ah, Tuhan. Kalau saja Engkau mengizinkanku ....
"Gracio Immanuel!"
Nama Cio sudah dipanggil dari dalam ruang periksa. Aku yang dulu susah payah menentramkan hati anakku yang ketakutan tiap diajak berobat, kini tidak lagi. Ada Andre yang sentuhan ajaibnya mampu membuat Cio tenang. Anak itu mau diajak masuk ke dalam tanpa tangisan.
Hingga saat ini aku tetap mengagumi sosok Andreas Surya Randy, bocah bongsor berkulit putih dengan pipi kemerah-merahan yang dulu bersama-sama denganku dalam kebaktian Sekolah Minggu. Andai saja.