Cio senang Papi datang menjemputnya pakai mobil. Hari ini kami akan pergi ke Kosambi bersama Oma.
"Halo, Dede, udah siap belum?" tanya Papi setelah menutup pintu mobil dan menguncinya melalui remote.
Kegantengan Papi Andre bertambah 100 kali lipat saat membawa mobil. Itu sesuatu yang nyata, bukan omong kosong. Ketika seseorang yang biasanya mengendarai kendaraan roda dua lantas sekarang membawa roda empat, vibrasinya naik. Sayang, ini adalah saat-saat terakhir kami menaiki si Putih.
"Kita jemput Oma dulu, ya, De," kataku. Cio begitu ceria. Dia memang senang naik mobil pakai AC.
Aku membawa beberapa bungkus camilan untuk di jalan. Cio membelikan telor gabus untuk papinya. Andre mengambil sisa kerupuk semalam, sudah tinggal setengah plastik. Dia suka sekali kerupuk rambak warna coklat yang sudah ada sejak kami masih kanak-kanak.
Kami sudah tiba di depan rumah Mama.
"Nggak usah turun, aku udah WA Oma, dia udah siap."
Alih-alih menjawab, Andre malah meledakkan plastik pembungkus kerupuk yang dia tiup, dia ikat ujungnya, dan dia tepuk keras-keras. Aku kaget. Dadaku sakit. Aku marah, tentu saja, kenapa tidak.
"Awas aja, ya, kalau berani kayak gitu lagi di depan Oma, terus Oma kenapa-kenapa gara-gara kamu kagetin, habis kamu!" ancamku. Seperti biasa, Andre tertawa seperti tanpa dosa.
"Dede, papi dimarahin sama mama, tuh, De. Mama galak, ya, De."
"Iya, Pi, Mama galak. Ya udah, kita beli mama balu aja yuk, Pi."
Tawa Andre pecah. Cio juga. Terbayang keakraban mereka hingga Cio dewasa nanti. Namun, untuk menuju ke sana aku butuh banyak tenaga dan amunisi. Aku butuh penerang, tak bisa berjalan sendiri. Aku mulai galau, terutama setelah Andre terus-terusan mendesakku untuk meminta surat pernyataan dari Vino agar kami bisa segera menikah. Masalahnya bukan hanya itu.
Mendadak aku mengalami mood swing. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan, tiba-tiba terasa menyedihkan. Aku memikirkan terlalu banyak hal yang sebenarnya di luar kendaliku. Andre mengira aku marah karena ucapan Cio. Tentu saja tidak. Kupaksakan untuk tersenyum walau hati ini berisik.
Keberadaan Mama lumayan bisa mencairkan suasana. Aku bisa sedikit-sedikit menyahut sambil berusaha mengembalikan mood. Apalagi beliau membawa cocktail yang manis dan segar, yang biasa Andre sebut es buah yang dibungkus dalam beberapa plastik santan ukuran seperempat kilo. Kuhabiskan saja bagianku. Kata orang, makanan atau minuman manis bisa membuat kita bahagia.
***
Kami tiba di sebuah perumahan elit di daerah Kosambi. Instingku berkata bahwa ini adalah tempat usahanya Wati, mantan kekasih Andre semasa SMA, dan mereka sempat kembali menjalin hubungan sebelum Andre jalan dengan Surti, dan sekarang denganku.
"Udah sana, pada maem dulu. Boleh pilih yang mana aja, papi mau ada kerja dulu, ya. Oma, maaf aku mau ada urusan dulu, ya," kata Andre.
Foodcourt ini bentuknya leter L. Aku dan ibuku berjalan menyusuri tiap warung untuk melihat makanan apa yang mereka jual. Cio, seperti biasa, berlarian kesana kemari. Ibuku masih berhenti di depan salah satu warung, sementara aku sibuk meneliti wajah-wajah yang ada di dalam sana. Aku masih ingat wajah Wati ketika memeriksa ponsel Andre. Wajah itulah yang aku cari di sepanjang foodcourt, tetapi nihil.
Akhirnya aku memutuskan untuk makan seafood, karena Cio suka udang dan cumi. Mama memilih soto ayam. Sejak memesan makanan hingga kami mulai makan, aku gelisah. Sepertinya Andre menyembunyikan sesuatu.
Benar saja, ketika aku sampai pada suapan terakhir, tiba-tiba aku melihat di arah jam 12, seorang wanita bertumbuh mungil yang mengenakan gamis warna abu-abu bergerak dengan lincahnya, menyapa kanan kiri, menggoda seorang bayi, dan berjalan kian kemari.