Februari 2023
Andre berencana untuk membawa keluargaku jalan-jalan ke kebun binatang mumpung belum bukan puasa dan mumpung si Putih masih ada di tangan—Andre memang berencana menjualnya karena si Putih sudah beberapa kali keluar masuk bengkel.
Hari ini kami sedang ada di satu tempat wisata keluarga naik sepeda motor—aku yang memintanya agar lebih hemat. Cio sedang asyik mengendarai motor trail kecil. Aku bangga, di usianya yang baru lima tahun, dia sudah piawai mengendarai kendaraan bermotor roda dua. Mungkin karena Cio sudah terbiasa menaiki sepeda roda dua sejak empat tahun, jadi, dia tidak kesulitan beradaptasi.
Aku dan Andre menunggunya di saung sambil memesan makanan. Aku masih membahas soal Surti dan Wati terutama kasus "sayang-sayangan" dengan Surti yang sampai kapanpun akan tetap menjadi poin besar bagiku.
Andre lantas mengulang kembali permintaannya tentang surat pernyataan. Dia menuntutku untuk segera menyelesaikan urusan dengan Vino agar kami bisa menikah, sebab ketiga kakaknya sudah setuju dan mereka tidak mempermasalahkan perbedaan kami, apalagi Mbak Shanty, kakak sulung Andre, dia juga beragama Kristen.
Aku tahu. Aku percaya itu. Aku telah membuktikannya sendiri saat menghadiri pernikahan Arthur, anak Mas Rian dan Mbak Dessy—kakak ketiga Andre dan istrinya—beberapa minggu lalu. Aku disambut dengan baik dan hangat oleh keluarga besarnya, termasuk Mbak Shanty yang tampaknya menyukaiku.
Aku juga sudah beberapa kali datang ke rumah Mas Rian. Ah. Tak terasa hubungan kami sudah berjalan hampir setahun. Wajar jika Andre menuntut keseriusanku.
Aku bingung. Pikiranku ruwet. Bagaimana kalau Vino tidak mau memberikan surat pernyataan itu? Atau, sekalipun urusan dengan Vino beres, masih ada urusan dengan ayah mertuaku yang selama ini juga ikut menyokong kebutuhan Cio walau tidak konsisten. Bagaimanapun, aku harus bicara padanya.
Satu lagi, aku tak boleh lupa bawa Andre punya anak-anak yang sudah dewasa. Tidak mudah untuk masuk ke dalam kehidupan mereka yang notabene akan membela ibunya, seburuk apapun dia. Aku ingin—kalau memang bisa menikah lagi—pernikahanku berlangsung secara terhormat, tanpa sengketa, tanpa keributan, tanpa kericuhan.
Lalu, masih ada urusanku dengan gereja, juga keyakinanku. Bagaimanapun juga, hati kecilku tetap memberontak, karena ayat dari firman Tuhan yang ku pegang berkata bahwa aku tidak boleh menikah lagi dengan orang lain sebelum pasanganku meninggal dunia, dan aku juga tidak boleh menikah dengan orang yang masih memiliki pasangan walaupun secara agama dan negara mereka sudah bercerai.
Aku lelah disindir-sindir di dalam khotbah meskipun seharusnya aku memahami bahwa khotbah seorang pembuka agama tidaklah ditujukan kepada satu atau dua gelintir orang saja, tetapi batinku tertuduh.
Aku paham semua yang mereka katakan, bahkan semenjak aku masih beribadah di Sekolah Minggu, tetapi pada kenyataannya, anakku butuh ayah, dan tumbuh kembangnya tidak akan pernah terulang. Aku tak ingin menyesal di kemudian hari, dan aku tidak pernah menyesal menghadirkan Andre di tengah kami. Setidaknya mental anakku sedikit terjaga.
Kalau dengan Tuhan, aku—tak seorang manusia pun bisa menyelami pikiran-Nya. Yang kutahu, Dia penuh kasih sayang dan selalu memaafkan. Aku sering bertanya pada Tuhan, mengapa Dia menghadirkan Andre, sebab, Andre sering bilang bahwa pertemuan kami adalah karena kehendak Tuhan.
Mama Aca pernah bilang, mungkin Papi adalah gogoda, artinya godaan di saat Vino sudah mau jadi orang benar, atau memang Tuhan yang memberikan sebagai pengganti Vino. Kemungkinannya hanya dua itu. Ah. Aku jadi ingat firasat ketika aku jatuh dan bagian belakangku basah dan kotor. Tidak. Aku tidak selingkuh. Kami sama-sama sendirian.
"Ma, Ma. Kok, bengong?" Andre membuyarkan lamunanku.
"Eh, iya, enggak. Lagi ngelihatin Dede, takut kenapa-napa," sahutku gugup
"Halah, nggak apa-apa, Dede, mah, bisa. Itu gimana, surat pernyataannya? Udah berbulan-bulan papi minta, loh. Jangan nanti papi yang kena masalah, apalagi bapak-bapak di gang kamu itu mukanya nggak enak semua."