Malam sudah berlalu, hari hampir pagi. Dua kesayanganku sudah tidur. Saatnya aku bicara dengan Tuhan. Aku menyampaikan kegalauanku pada-Nya dalam tangisan. Tak ada kata terucap, sebab aku tak tahu harus meminta apa. Aku mungkin menangisi jalan hidupku. Aku hanya ingin bahagia bersama anak dan orang yang tepat untuk mengayomi.
Benar kata Andre, kalau aku tidak mengambil sikap, hubungan kami akan berputar-putar di sini saja. Aku harus memberanikan diri untuk bicara pada Ayah Vino, bahwa Gracio kini punya Papi. Aku juga harus mulai mengumpulkan nyali untuk kembali berinteraksi dengan orang yang paling ingin kuhindari.
Sekarang pukul tiga pagi, waktu di mana Vino biasanya masih membuka mata. Kalau matahari mulai terbit, Vino pasti mulai tenggelam, dan masih akan lama lagi dia merespons pesanku. Aku harus bicara sekarang.
[Selamat pagi. Saya mau kamu buat surat pernyataan bahwa memang benar kamu sudah menceraikan saya pada tanggal 23 Januari tahun 2020, supaya jelas status saya dan tidak jadi masalah ke depannya.]
[Ow, kamu mau nikah? Ya, nanti, kalau saya pulang.]
Tak kusangka Vino membalas pesanku. Entah kenapa air mataku mengalir. Bukan, bukan menangisi Vino atau merindukan dia, sama sekali tidak. Namun, harapan di masa lalu untuk sekali saja menikah dan memiliki satu pasangan hingga menua bersama pupus sudah. Ah. Kenapa Tuhan tidak mempersatukanku dengan Andre saja sejak dulu?
Aku benar-benar tidak tidur hingga manusia lain beraktivitas di luar rumah. Aku harus menelpon Ayah Vino sekarang.
"Ya, Nduk."
"Ayah, aku mau bicara," kataku dengan suara bergetar. Aku takut padanya.
"Ya."
Pelan-pelan kusampaikan bahwa Cio tidak mungkin besar tanpa ayah, dan telah dua tahun lebih Vino menceraikanku. Sekarang Cio dekat dengan seseorang yang dia panggil "Papi". Mereka sangat cocok. Cio bisa kembali ceria. Mereka dekat satu sama lain. Semua kebutuhan Cio dipenuhi oleh Papi.
Aku telanjur menggelontorkan perkataan-perkataan yang mungkin menyakiti hatinya, tetapi mulut ini agaknya susah direm. Aku tak lagi memikirkan risiko ke depan, sebab Ayah Vino adalah orang yang dingin. Dia tidak punya bahasa kasih selain memberi uang.
"Ayah ndak menyalahkan kamu. Daripada kamu bertahan dengan Vino dan hanya berujung celaka, ya, bagus lepaskan saja. Ya syukur kalau Cio bisa dekat dengan orang lain. Ayah mendukung apapun keputusanmu," katanya dengan suara berat.
Kukira beliau akan murka dan menuduhku yang tidak-tidak. Ternyata Ayah juga paham siapa Vino, dan beliau tidak bisa berbuat apa-apa.
Air mataku berderai saat menutup telepon. Dadaku sesak sekali. Luka yang lama terpendam kini kembali menyayat hati.
Terbayang kembali luka demi luka yang Vino tebarkan untuk kami berdua, dan aku kembali mempertanyakan kepada Tuhan, kenapa Dia membiarkan manusia seperti itu hidup lebih lama di dunia? Kenapa harus ada orang-orang yang tersakiti sepertiku di luar sana?