Akhirnya kesampaian juga. Ini hari Kamis. Andre mengajak keluargaku pergi ke kebun binatang. Jam delapan pagi dia sudah datang menjemputku. Kami lantas maju 80 meter untuk menjemput Ziva dan kedua anaknya, lalu, kami menyeberang ke rumah Oma yang berbeda blok dari rumah kami. Setelah itu kami mundur sekitar 300 meter untuk menjemput Yos dan anak istrinya. Tak lengkap memang, karena adik-adik kami yang lain tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, lagi pula si Putih hanya mampu menampung tak lebih dari 10 orang.
"Mas. Nggak apa-apa, kan, aku pakai celana pendek ini? Kan, kemarin kamu bilang boleh." Aku memastikan, sebab Andre sama sekali tidak memuji penampilanku hari ini.
"Iya, boleh, Sayang. Yang penting ada akunya. Kalau nggak sama aku, awas, ya, jangan berani-berani pakai pakaian begini. Aku nggak mau kamu digodain orang." Telunjuk Andre teracung ke arahku.
Aku mengenakan baju putih lengan pendek dan celana warna krem sebatas setengah paha. Cara berpakaian yang bukan seleranya Andre sebab Dia selalu membelikanku baju tertutup lengan panjang dan juga celana panjang. Dia bilang, tidak boleh ada yang melihat tubuhku. Semuanya hanya untuk dia saja nantinya.
Andre pernah marah melihat aku pakai celana di atas paha dan daster tali satu. Dia mengira aku keluar rumah dengan pakaian seperti itu. Tentu saja tidak. Aku maklum Andre bersikap demikian, sebab memang itulah aturan di dalam keyakinannya, dan aku berusaha menyesuaikan diri, sebab, apa yang dia katakan itu baik bagiku.
"Ayo, jangan lupa bawa plastik. Siapa, nih, yang suka mabok?" Ziva yang duduk di bangku paling belakang bersama kedua anaknya meledek Yos yang masih suka pusing dan terus meminta permen kalau sedang naik mobil.
Ibuku tak ingin kalah. Beliau menceritakan bagaimana repotnya menghadapi tukang mabuk ketika diajak pergi rekreasi bersama dua anak kecilnya, Ziva dan Yos—Geo belum ada—sekarang kami semua sudah berkeluarga.
"Sekarang kesampaian lagi, ya, Oma, pergi sama anak-anak ini," timpal Andre.
"Lha iyo, to. Aduh, kasihan ini, papinya. Duitnya jor-joran terus ini," sahut Mama.
"Nggak apa-apa, Oma, lagi ada rezeki," ucap Andre.
"Loh, emang Papi bajunya kebalik, Ma?" Cio bertanya dengan wajah bingung.
"Lah enggak, De. Itu, baju Papi nggak kebalik, kok," jawabku.
"Ya katanya, kalau pakai baju kebalik, dapat lezeki," sahut anak itu dengan polosnya, mengundang tawa seisi mobil.
Kujelaskan dengan bahasa sederhana bahwa itu hanya mitos, boleh percaya, boleh juga tidak. Cio mengerti. Dia melanjutkan lagi aktivitasnya menyuapi papinya telur gabus, camilan yang dia beli di Bang Uhuy—tukang kue keliling.
Andre mengenakan kemeja coklat yang dia pakai saat pertama kali menemui kami di playground Ceria. Dia benar-benar ganteng saat sedang menyetir mobil. Aku mengamati setiap gerakannya, tatapan matanya, lirikannya, semua terlihat seksi. Menurutku, laki-laki akan tampak semakin seksi saat dia melakukan lima hal ini, menyetir, merokok, berkeringat, bermain drum—Andre tidak bisa—dan satu lagi, ketika mencapai puncaknya. Aku sudah melihat semuanya dari Andre meski yang terakhir hanya melalui panggilan video.
Kalau untuk bermain sendiri, dia masih bisa, sebab, tidak perlu "bangun" untuk bisa melakukan aktivitas pribadi. Sebenarnya agak kecewa, tetapi, cukup aku saja yang tahu. Masih banyak hal lain yang bisa kami lakukan bersama setelah menikah nanti. Pokoknya aku menerima semua yang ada di diri Andre—kelebihan juga kekurangannya.
Sebenarnya masih ada satu lagi dari Andre yang membuatku kecanduan melihat ekspresi wajahnya—ketika dia sedang nongkrong di WC. Aneh? Aneh memang, dan itu tidak berlaku bagi semua orang kecuali Andre. Pokoknya dia berbeda. Salah sendiri, dia sering video call saat sedang berada di bilik termenung.