Satu minggu berlalu. Andreku sudah mencoba untuk bangkit lagi. Dia pelan-pelan mencoba berjualan lagi walau belum berani pergi jauh, hanya di sekitar area komplek saja. Itupun tak lama. Hanya satu jam saja.
Andre berangkat sore hari, sebab dia sering bilang bahwa rezekinya datang di sore hari, dan dia sudah beberapa kali membuktikan bahwa pergi sejak pagi pun, rezekinya baru ada menjelang sore. Kataku, itulah imanmu.
"Aku makan dulu, ya," katanya lemah dan lambat.
Aku memperhatikan gerakannya. Memang tangan kanannya kaku. Makannya belepotan. Cara mengunyahnya berantakan. Aku mempertanyakan bagaimana cara dia membawa sepeda motor, dan dia menunjukkan telapak tangan dan juga sela-sela antara ibu jari dan telunjuk. Bayangkan saja bagaimana hancurnya perasaanku.
Andre terbatuk di tengah makannya, sepertinya tersedak. Dia sering begitu semenjak sakit.
"Sayang, pelan-pelan, dong."
Andre mengangguk. Dia lantas menyudahi makannya yang pakai telur bulat. Dia memang penyuka telur. Tak ada kata bosan walau setiap hari makan telur. Aku yang sebah melihatnya.
"Mana bolanya, Sayang. Ayo, terapi dulu, biar cepat sembuh," kataku bak bicara pada anak umur tiga tahun.
"Ini," sahutnya sambil memamerkan bola warna biru di tangannya.
"Iya, pintar. Semangat, ya. Nanti mau bobo jangan lupa minum madunya."
"Iya, Ma," sahutnya, mirip seperti Cio ketika kunasihati.
"Ma," panggilnya lagi.
"Apa, Sayang?" sahutku sabar.
"Mama, sayang. Papi, sayang," katanya seperti anak kecil bicara.
"Iya, dong. Sayang bangets, deh, sama Papi."
Andre tertawa tanpa suara. Lemas tubuhku melihat bibir kirinya seperti agak tertarik ke atas sehingga tampak miring. Andre benar-benar kena stroke ringan dan dia tidak mendapatkan penanganan. Tabungannya terus terpakai untuk cicilan rumah Kosambi—aku sudah pernah melihat rumah itu dulu, jauh sebelum bertemu dengan Wati.
Andre memamerkan sesendok madu hitam di tangan kanannya yang tampak susah diangkat. Kusuruh dia untuk segera meminumnya dan dia pun menurut. Manis sekali sikapnya. Kucurahkan perhatian dan kasih sayangku walau dari jauh. Aku tahu betul, Andre sedang membutuhkan itu.
"Ma, papi bobo dulu, ya." Andre merebahkan tubuhnya, dengan kedua tangan di atas dada.
"Sayang, bobonya jangan gitu, ah. Ayo, tangannya turunin. Jangan buat aku takut, loh," kataku panik. Aku tidak ingin melihat itu, sebab pikiranku jadi ke mana-mana.
Andre menuruti perkataanku. Dia menjatuhkan kedua tangannya ke samping. Matanya sudah terpejam. Kumatikan panggilan video. Sudah kupesankan padanya agar tetap meletakkan ponsel di situ saja agar tiap kali aku menelepon dia tinggal memencet tombol "Yes".
***
Sudah dua minggu Andre sakit. Kulihat belum ada perubahan berarti kecuali dia semakin jauh dan semakin lama berjualan, memang masih di sekitaran Puri Cakra, rumah Mas Rian.