Juli 2023
Aku membuka grup SenCi. Ada berita duka, teman kami, Nessa, meninggal dunia pukul 6 pagi karena sakit asam lambung. Sekarang sudah pukul 8 pagi, berarti dua jam yang lalu. Berita itu juga sudah dibaca oleh Andre yang langsung menyampaikan ucapan bela sungkawa. Teman-teman lain sudah menjadwalkan kedatangan mereka ada yang pukul 11, ada juga yang selepas zuhur, karena jenazah akan dimakamkan sore hari.
Andre meneleponku setelah kukirimkan chat, menanyakan kapan akan datang melayat. Segera kuangkat panggilan video darinya.
"Selamat pagi, cintaku," sapanya ramah.
"Pagi, Sayang. Kita mau melayat jam berapa, nih?"
"Habis Zuhur aja, ya, Sayang. Papi kerja dulu," sahutnya.
Kami terdiam, saling menatap, saling melemparkan senyuman. Tak lama Andre mengedipkan kedua matanya. Dia memang begitu sejak dulu, tak bisa berkedip satu mata. Bukannya romantis, malah jadi lucu. Aku terbahak.
"Sayang Papi cantik banget, sih, pagi ini," katanya dengan senyuman khasnya. Dia sudah rapi dan sudah mandi.
Aku bersyukur Andre sudah sehat lagi. Tangan kanannya sudah bisa menggenggam dengan baik dia bahkan juga sudah bisa menulis lagi. Hanya satu yang tak bisa hilang sulit bibirnya yang naik sebelah. Aku heran, yang diserang tangan kanan tetapi kenapa bibirnya yang miring justru sebelah kiri? Ah, biarlah. Yang penting Andreku sudah kembali, walau kini dia lebih galak dan sensitif, tetap kusyukuri.
Aku kembali merenung setelah Andre menutup telepon. Betapa tipisnya jarak antara hidup dan mati seseorang. Seperti Nessa yang baru kemarin berbicara di grup, hari ini sudah tinggal nama. Bagaimana dengan aku, juga Andre? Berapa lama lagi kami dapat bertahan melawan penyakit kami yang juga tak main-main?
Ah. Yang sakit belum tentu mati, yang mati juga belum tentu karena sakit. Lagi-lagi, hidup ini misteri. Siapa yang bisa membaca jalan hidup kita beberapa menit ke depan?
Suara remote mobil mengusik pagiku. Aku masih belum beranjak dari tempat tidur. Ada suara ketukan di balik pintu. Kata-kata terkejutnya aku ketika mengetahui siapa yang datang. Kini di hadapanku ada sosok tinggi kurus berkulit hitam dibakut hoodie warna putih dan celana jeans biru—penampilan yang modis. Sudah kaya dia rupanya.
"Cio mana?" tanyanya sebelum aku sempat bereaksi.
Aku langsung membalikkan badan, beranjak menuju ke dapur tanpa tahu apa yang akan kuperbuat. Beberapa detik kemudian, kudengar pekikan anakku. Tak lama dia merintih di sela kantuknya, sebab semalam dia begadang, menghabiskan waktu bersama Papi Andre hingga pukul 11 malam di Musik yang buka 24 jam.
Kuintip dari belakang, tampak Cio hanyut dalam pelukan dan belaian orang yang telah dua tahun meninggalkannya. Dadaku sesak dan kepalaku sakit melihat anakku.
Untuk beberapa saat aku tidak bisa berpikir. Ini bagaikan mimpi. Kebencian yang dulu menggunung sekarang terpendam jauh ke dalam. Aku tidak merasakan apa-apa. Ya. Aku mati rasa.
Terbayang lagi momen-momen di mana dia memandikan Cio, menyuapi Cio, menggantikan popok Cio, dan menggendong Cio ketika bayi itu rewel. Ke mana dia selama ini? Lagi pula kenapa dia harus datang sekarang, saat batin Cio telanjur luka?
Kubiarkan mereka berdua saling melepas rindu. Kuambil handuk dan pakaian di dalam lemari sambil melihat manusia itu dari belakang. Cio masih terbenam dalam pelukannya.
Aku sempat meraih ponsel dan mengirimkan pesan kepada Ziva.
[Kribo pulang!]
[Astagaaa!] Ini balasan Ziva.
Di dalam kamar mandi aku terus memutar otak. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana kalau dia pulang untuk seterusnya? Bagaimana kalau Andre tahu soal ini? Bagaimana cara memberitahu Andre kalau Vina datang? Bagaimana kalau Andre juga datang dan mereka ribut di sini?
Selesai mandi dan berpakaian, aku berdandan. Sengaja kupercantik diriku dengan menggunakan riasan tipis-tipis dan menggerai rambutku yang sepunggung. Aku ingin dia tahu bahwa tanpanya aku bisa jadi lebih baik.
"Mama mau ke lumah Mama Ipa?" tanya Cio—yang dia maksud Mama Ipa adalah Ziva.