Dia Pergi

Dina Ivandrea
Chapter #22

Aku Memilih Cio

"Ma, Dede pengen mainan mobil," kata Cio. Dia menunjuk mobil besar warna putih yang terparkir di depan rumah.

"Ya udah, bilang aja sama Papa," sahutku, sengaja kukeraskan suaraku agar Vino yang sedang bermain ponsel sambil merokok di teras itu dengar.

"Ah nggak belani Dede. Mama aja yang bilang." Tatapan mata Cio seolah mengintervensi.

Vino mendengar apa yang Cio katakan. Dia lantas bertanya Cio ingin apa. Saat itu, barulah anakku berani menyampaikan keinginannya. Sungguh miris. Sebegitu asingnya Cio kepada ayah kandungnya.

Vino membukakan pintu depan. Cio langsung masuk dan duduk di belakang setir sambil bertingkah seolah-olah dia sedang membawa mobil itu di jalan besar. Aku menyuapinya dengan ikan dan sayur lodeh pemberian Ziva—tadi Freya yang mengantarkannya pakai sepeda—sebab dia belum makan malam.

Dalam perjalanan pulang dari rumah duka tadi, Andre menuntutku untuk segera meminta surat pernyataan dari Vino, tetapi aku tidak berani. Aku tahu watak Vino. Lagi pula aku sungguh malas berinteraksi dengannya. 

Belum setengah jam aku di rumah, Andre menelepon dan memintaku untuk menemaninya di warung Padang. Dia mengancam akan datang kalau aku tidak mau. Kuiyakan perintahnya, tetapi aku minta waktu beberapa menit lagi karena sedang menyuapi Cio.

"De, Mama mau ke warung sebentar, ya," pamitku. "Dede di sini aja sama Papa, mainan mobil. Mama cuma sebentar, kok."

"Iya, Ma."

Kubiarkan anak itu bermain di dalam mobil besar berwarna putih tanpa memberikan ketakutanku kalau Cio akan dibawa lari oleh Vino. Aku menitipkan Cio kepada Mama Aca dan ibu Usy melalui pesan, jangan sampai Cio dibawa oleh ayahnya. Mereka mengiyakan dan berjaga-jaga di ujung gang.

Dalam perjalanan menuju warung Padang pikiranku kacau. Di salah satu bagian otakku, aku bertanya-tanya, kenapa Vino harus datang hari ini? Bukankah dia hanya ingin menengok anakku saja? Bahkan meninggalkan sepeser uang untuk keperluan anak pun tidak. Dia hanya mementingkan penampilannya saja. Aku yakin mobil itu bukan miliknya—berkali-kali kejadian, mengaku pinjam, ternyata sewa.

Sebagian otakku lagi memikirkan Cio. Kurasa wajar kalau dia sampai merengek minta pulang dari rumah duka untuk bertemu dengan Vino. Dia tahu waktunya terbatas, tidak seperti kepada Papi yang bisa dia temui kapan saja. Kurasa wajar juga jika aku menuruti keinginannya. Namun, Andre marah besar. Andre menyangka bahwa Cio hanya mementingkan ayah kandungnya saja.

Andre bahkan sampai meminta Cio untuk memilih dia atau Vino. Jelas aku menghardiknya. Kukatakan Cio itu anak kecil, umurnya baru 5 tahun. Dia belum mengerti apa-apa, dan dia hanya rindu kepada ayahnya. Itu saja. Cio sampai tak berani bicara di sepanjang jalan karena takut mendengar omelan Andre.

Lalu, ada bagian lain lagi dari otakku yang memikirkan kenapa Andre sampai bereaksi seperti itu, dan kenapa Andre sampai memintaku untuk pergi lagi menemuinya setelah aku tiba di rumah.

Kurasa wajar jika Andre cemburu. Andai aku berada di posisinya, aku juga pasti kalut karena sedang berada di ambang kehilangan.

"Udah pulang, dia?" tanya Andre ketika aku sampai di depan mejanya.

Lihat selengkapnya