Agustus 2023
Beberapa minggu berlalu sejak kedatangan Vino yang tak meninggalkan bekas. Dia sama sekali tidak menanyakan bagaimana sekolah Cio, bagaimana perkembangannya, bagaimana makannya. Padahal, banyak ayah-ayah lain di luar sana yang masih terus men-support anak-anaknya, seperti Andre. Namun, entah terbuat dari apa hati Vino sehingga dia buta.
Sekarang Cio sudah sekolah. Ya, dia sudah memasuki fase baru dalam kehidupannya, sebulan belakangan. Sekilas tak ada yang berbeda, dia tampak sama dengan teman-teman lain yang memakai seragam batik hijau, putih-putih, juga kaos olahraga. Namun, aku sering curi-curi pandang ketika menemaninya di sekolah. Matanya nanar tiap kali melihat ada teman yang diantar ke sekolah oleh ayahnya.
Aku juga pernah tidak sengaja mendengar percakapannya dengan teman di arena bermain pada jam istirahat. Dia menanyakan apakah temannya itu punya ayah, dan temannya menjawab iya. Lalu, dia bilang bahwa dia juga punya ayah, tetapi ayahnya tidak pulang-pulang.
Ah. Betapa besarnya duka lara yang Vino wariskan di hati Cio. Entahlah, mungkin Cio juga sudah lelah. Dia tak pernah lagi meminta panggilan video dengan Vino. Dia juga tak pernah lagi berdoa untuk ayah kandungnya itu. Tak seperti dulu, tiap kali rindu, dia bisa menangis keras-keras, lalu tiba-tiba melipat tangan dan berdoa. Tangisnya bisa berhenti dalam sekejap, berganti kesungguhan hati yang tampak dari sikapnya yang serius, mata yang tertutup, tangan yang terlipat juga mulut yang komat-kamit meminta.
Nyatanya, tak satupun doa Cio yang terjawab. Aku tak mau berkomentar. Takut salah bicara.
Kini, Cio sudah bisa kutinggal di luar. Tak seperti awal masuk sekolah yang tak bisa lepas dari tanganku. Aku banyak menyimpan foto-foto kejadian itu untuk kenangan, juga untuk alat bukti, bahwa Vino telah melukai hati anaknya.
Hanya Cio yang teramat bergantung pada ibunya. Aku sangat memaklumi hal itu, karena hanya aku yang dia punya. Andaikan aku bisa menghadirkan Papi di momen pertamanya menginjakkan kaki di sekolah.
Sebentar lagi ada kegiatan manasik haji. Non muslim pun diwajibkan ikut. Semua murid dibolehkan membawa serta keluarganya. Andai aku bisa membawa Andre sebagai ayahnya Cio. Namun, apakah Cio bisa menerimanya? Aku khawatir Cio mengalami krisis identitas. Mungkin aku berlebihan, tetapi inilah yang kulihat dari anakku. Kalau ada dia, Mama, dan Papa, lantas, Papi itu siapa?
Ada satu hal yang membuatku tidak habis pikir. Satu kali, Andre pernah menghampiriku ke sekolah untuk mengambil makan siangnya. Waktu itu kami janjian di gerbang sekolahan.
Ketika kuceritakan hal itu pada Cio sewaktu kami dalam perjalanan pulang, jawaban mengejutkan kudengar dari bibir mungilnya. "Ngapain, sih? Nanti dikira udah nikah, loh!"
Cukup lama aku memikirkan perkataan Cio tanpa menyampaikannya pada Andre. Ternyata selama ini Cio juga berada dalam kebingungan. Dia bingung menempatkan keberadaan Papi. Dia sering menggambar empat orang di bukunya. Dia bilang itu Mama, Dede, Papa, sama Papi.
Aku sendiri belum sanggup untuk menjelaskan apa dan bagaimana seharusnya kami ini. Andai ayahku masih ada, beliau tentu akan memutuskan yang terbaik bagi anak sulungnya ini.